Sehari sebelumnya di Pintu Hutan Jalur Selatan Rinjani.Unyil bejalan gontai menuju pos pengawasan pendakian taman nasional untuk melaporkan insiden yang terjadi di atas sana. Setiba di pos pengawasan, ternyata warga sudah berkerumun membicarakan kejadian yang akan Unyil laporkan. Mereka sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dugaan-dugaan begitu santer terdengar.Tanpa menunggu lama, Unyil segera membuat laporan. Di pos pengawasan, laporannya dicatat dan direkam oleh seorang petugas Balai Taman Nasional Gunung Rinjani bernama Pak Yamin.Kepada Pak Yamin, Unyil memberikan keterangan bahwa dua hari lalu, tepatnya menjelang magrib ada rombongan pendaki hendak kembali melalui jalur selatan, tetapi leader-nya terjatuh dari tebing saat menuju pelawangan. Ia juga menambahkan bahwa mereka turun bertiga, tetapi salah satu penyintas yang ia dampingi mengalami patah kaki. "Kalian satu tim?" tanya Pak Yamin."Bukan, Pak. Tim saya masih di atas, di pelawangan. Kalau tim yang patah
Mereka berhenti sejenak sambil memastikan penyebab hal aneh itu. Unyil mendongak menyapukan pandangan pada siluet-siluet pohon raksasa. Begitu pun dengan Pak Junet dan timnya, cahaya-cahaya senter dan lampu sorot diarahkan ke setiap sudut hutan dan sumber suara-suara itu, tetapi mereka tak mendapati sesuatu yang janggal sama sekali.Unyil merapatkan diri karena ada rasa khawatir pada dirinya. Begitu juga dengan beberapa orang lainnya yang terlibat dalam misi evakuasi itu. Mereka seakan diawasi.Suara pepohonan tumbang dan kayu-kayu yang patah bergemuruh dalam gelapnya hutan. Kejadian demi kejadian aneh terus mengiringi perjalanan mereka, seolah tim itu tak diberikan jalan untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang ada di dasar kawah. Sekali lagi mereka memastikan, tetapi tetap saja tak ada satu pohon pun yang tumbang atau patah, terlebih angin berembus cukup tenang."Tetap tenang, fokus pada tujuan kita!" tegas Pak Junet mengarahkan timnya.Mereka tetap melanjutkan perjalanan den
Mendengar suara orang-orang bicara di luar, Dini dan Luris pun terbangun."Ada yang datang, Bang?" tanya Dini dari dalam tenda."Iya, tim SAR baru nyampe," jawab Bang Ochi.Anggota tim SAR yang juga tampak lelah, segera mencari posisi untuk beristirahat. Mereka harus mengumpulkan tenaga agar proses evakuasi dapat berjalan dengan lancar. Sepertinya, hari ini akan menjadi hari yang panjang dan melelahkan bagi mereka yang terlibat."Eh, rame di luar. Alhamdulillah, datang juga bantuan," ucap Luris setelah membuka resleting tenda. "Unyil mana, Bang?" tanya kemudian."Tuh, di tenda sana. Dia tepar," jawab Bang Ochi."Hm, terus dua orang yang dianterin itu, mana, ya?" Luris bertanya lagi."Jeko sama Opik? Katanya, sih, mereka dapet musibah. Nanti aja kita tanya Unyil pas bangun.""Innalillahiwainnailaihiroji'un." Dini dan Luris kompak."Din, bisa minta tolong ambilkan botol air di dalam tendamu?" pintak Bang Ochi sambil meletakkan dahan-dahan cemara kering pada perapian agar semakin menghan
Situasi seketika berubah tegang. Sesuatu terjadi di bawah sana dan tak dapat terpantau langsung walau dengan alat. Awan kelabu bergulungan memenuhi kawah Rinjani."Pada tim evakuasi, mohon laporkan kondisi ... tim evakuasi laporkan kondisi, ganti," perintah Pak Najam.Tak ada jawaban apa pun. Sepi. Sunyi.Pak Najam segera berlari ke arah Bang Ochi dengan raut wajah panik. "Teropongnya!" Ia mengambil teropong yang tadi ia pinjamkan, lalu fokus meneropong dan memantau kondisi di bawah sana.Pak Najam melepas kembali teropong itu, lalu berlari ke arah katrol dan mencoba melihat ke arah tim yang ada di bawah. Ia tak melihat apa pun kecuali kabut tebal di bawah. Kemudian, matanya tertuju ke arah tali carmantel yang digunakan untuk turun. Tangannya mencoba menggoyang-goyangkan tali itu untuk memastikan sesuatu.Tali masih dalam kondisi tegang karena beban, pertanda masih ada orang yang bergantungan di bawah sana. Namun, tiba-tiba saja talinya mengendur. Pak Najam sedikit menarik tali itu. B
Tim evakuasi yang sudah tiba terlebih dulu, segera menghampiri Pak Junet yang tiba-tiba datang bersama Bang Ochi dan Pak Najam. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi sehingga datang dengan dua tambahan personil.Melihat Pak Junet memegang jarinya yang cedera, tim medis segera memberikan pertolongan pertama dengan memberikan penyangga tulang, lalu dibalut dengan perban agar jari jempol yang menggantung lemas itu tak semakin parah. "Minum obat pereda nyeri ini, Pak Junet, supaya rasa nyerinya berkurang," ucap tim medis segera membuka sling bag mencari obat yang dibutuhkan."Masih tahan, Pak?" tanya Pak Najam menyela."Tahan! Saya baik-baik saja. Hanya agak nyut-nyutan saja rasanya," jawab Pak Junet."Jadi, di mana lokasi jenazahnya?" tanya Pak Junet kepada salah satu rekannya.Pak Junet benar-benar tangguh. Karena tugas dan tanggung jawab, ia tak menghiraukan tulang jarinya yang remuk dan lemas."Mari, Pak, di sana! Jasadnya sudah terbungkus plastik," jawab salah satu anggota tim evak
Salat Magrib telah ditunaikan, Pak Junet datang menghampiri, lalu duduk di samping Bang Ochi. Ia bersandar pada batu besar, lalu sedikit merosotkan badannya."Chi, terima kasih sudah membantu kami. Jujur saja, saya asli kaget liat kamu ikut turun," ujar Pak Junet dengan suara seraknya."Iya, sama-sama, Pak. Kebetulan udah pernah belajar dan ngisi materi rappelling di kampus. Jadi, udah paham gimana caranya." Bang Ochi menimpali."Oh gitu. Siapa yang sempat ajari rappelling dulu?" tanya Pak Junet."Senior, Bang Ogot namanya. Dia keras, Pak. Tapi ajarannya membekas.""Salam sama Ogot ya, saya seangkatan sama dia, tapi beda fakultas.""Oh, nggih, innsyaallah, Pak."Saat asik mengobrol, Pak Najam datang ke arah kami dengan gelas plastik di kedua tangannya."Pak Net, sebaiknya Bapak istirahat saja, biar saya yang ambil alih sementara." Pak Najam datang menyela pembicaraan dalam Bahasa Sasak."Ndak apa-apa. Saya masih bisa tahan, Pak." Pak Junet meyakinkan."Oh, nggih kalau gitu. Silaq kopi
Pak Junet berlari mengejar bocah perempuan yang semakin menarik kantung jenazah itu menuju gelap.Jingga tampak berusaha keras agar bisa menyeret jasad itu dengan kedua tangan mungilnya. Tampak tubuhnya sedikit condong ke belakang karena beban yang ditarik cukup berat. Namun, melihat Pak Junet mendekati, Jingga melepas kantung jenazah itu, lalu berlari seorang diri ke dalam gelap meninggalkan kantung jenazah."Hei, berhenti!" Pak Junet sedikit meneriaki sambil mengarahkan cahaya headlamp ke arah jingga berlari.Bocah perempuan itu berlari dalam gelap tak tentu arah. Jejak langkahnya terdengar begitu jelas.Bang Ochi, Pak Najam, dan Alit menyusul ke arah jenazah."Masa iya itu anaknya Bang Ipul?" tanya Bang Ochi pada Pak Junet yang masih mengarahkan cahaya ke arah gelap."Pak Junet, di sini dari awal memang banyak kejadian aneh. Anaknya Bang Ipul itu kemarin malam juga sempat hilang, lalu balik sendiri dari arah sini," tutur Alit menceritakan."Ayo kita temui bapaknya, mungkin saja bap
Kayu bakar semalam telah habis menjadi abu, ia berserah kepada api, menyisakan asap tipis yang masih mengudara. Di timur sana, sinar matahari mulai membersit dari balik puncak gunung setinggi 3726 meter di atas permukaan air laut. Lansekap yang terhampar pagi itu begitu megah dengan tebing raksasa setinggi ribuan meter menjulang di arah timur.Embusan dingin angin gunung menerpa wajahnya dengan lembut, membawa bau khas asap kayu yang terbakar. Bang Ochi membuka mata, lalu menggeliat merenggangkan badan. Pandangan matanya langsung menghadap ke arah langit yang mulai membiru. Dari tempatnya berbaring, jalur menuju puncak tampak serupa anak tangga menuju negeri di atas awan. Di pinggir danau, tenda-tenda berjejer dengan warna-warni cemerlang.Di tepi danau, seorang bocah perempuan cantik melempar kerikil kecil ke tengah danau, menciptakan riak air berbentuk lingkaran kecil, lalu membesar.Tiga orang berseragam oranye tampak mengitari api unggun. Mereka mendekatkan kedua telapak tangann