Sudah dua hari Lara tak terlihat di kampus. Ia lebih memilih untuk menenangkan diri setelah bersitegang dengan Tarissa pada ruang obrolan.
Beberapa kali, Lalita dan Derisca datang ke rumah Lara dan Tarissa secara bergantian. Nahas, bukan sambutan baik yang mereka terima. Keduanya kompak enggan menemui siapa pun yang datang.
Terang saja keduanya terlibat perang dingin usai saling serang dalam grup perpesanan. Hanya karena sosok Ari, kedua bisniswoman kawakan itu saling diam sekarang.
"Jaga tuh jari, Tar," balas Lara setelah merasa disudutkan. Ia bahkan tak habis pikir, Tarissa mengetahui banyak hal.
"Nggak usah munak, Ra. Gue tau sendiri, elu sering nelponin dia. Nggak tau siaap yang kegatelan. Tapi yang pasti, keknya dia lebih suka ke gue daripada elu yang arogan."
"Kalian pada ngomong apaan?" tanya Derisca.
"Iya, loh. Kita kan cuma becanda Tar, Jan diambil h
Senja sudah tampak di ufuk barat saat teriknya matahari tak lagi menyengat. Pada rumah industrial minimalis, Lara masih enggan beranjak dari ranjang.Ponsel yang diletakkan pada holder masih menampakkan deretan daftar harga saham yang sering naik turun seiring perkembangan informasi. Belum lagi, pada jendela layar lainnya, terpampang jelas deretan kurs dollar yang juga mengalami banyak perubahan.Baru kali ini, melihat bertambahnya kapita keuangan tak membuat Lara senang. Harga saham yang anjlok pun tak segera diselamatkan olehnya.Benar, pandangannya menuju layar ponsel. Namun, pikirannya entah berkelana ke mana. Diembuskannya napas kasar saat perutnya terasa lapar.Mbak Dina, sedari pagi memang sudah menyiapkan makanan. Asisten rumah tangga panggilan itu sudah dua hari bekerja di rumah Lara.Sudah dua hari pula, Lara enggan ke luar rumah. Bahkan, untuk memesan makanan dari luar
Lara telah kembali merebahkan diri di ranjang minimalisnya. Diusapnya layar ponsel yang masih menampakkan dua jendela melayang pada bagian atas: satu bursa saham, yang lain BEI.Gadis delapan belas tahun itu merasakan sensasi aneh, setelah makan bersama ART panggilannya. Meski sudah dua hari di sana, Lara bahkan tak pernah menyapa sebelumnya. Namun, kali ini entah mengapa ia ingin ditemani makan.Lantas, Lara kembali mengingat bagaimana Mbak Dina merasa begitu terharu kala diajak makan bersama. "Beneran polos atau pura-pura polos, gue nggak bisa bedain."Lara ingat betul bagaimana ia menggoda Mbak Dina agar mau menemaninya makan. Bukan sekadar hanya menyajikan dan memperhatikannya dari jarak dekat."Astaghfirullah, Neng, nggak ada, atuh. Semua masakan ini handmade, Neng. Buatan mbak sendiri. Mana mungkin dikasih racun," kilah Mbak Dina, dengan wajah memelas."Lah, kalo nggak ada
Ari sudah hampir sampai di pos penjagaan sebuah kompleks perumahaan setengah jam selepas pulang kerja. Seorang penjaga yang melihatnya turun dari kendaraan ojek online, berusaha mendekat."Ada perlu apa, ya?" tanyanya."Oh, aku temennya si Lara. Bapak itu pasti kenal. Tempo hari pernah ke sini juga soalnya."Sang penjaga pun mengernyit heran, lantas bersiul demi memanggil partner kerjanya. Entah menggunakan bahasa apa keduanya berinteraksi, yang jelas hanya mereka berdua yang mengerti--atau mungkin semua para penjaga kompleks perumahan ini."Oke, masuk. Tapi, kalo boleh tau, kamu siapanya, Mas?"Ari menyungging senyum, lantas menjawabnya pelan. "Saya montir ples ples, Pak."Tanpa menunggu reaksi atau jawaban, Ari telah berlalu melewati sang penjaga keamanan. Ia masih ingat betul sebelah mana rumah Lara berada. Terlebih, hanya kediaman sang bos besarlah yang p
"Ya nggak gitu juga, Rii!"Ari kembali duduk sembari mendecih. Lantas, ia mengutarakan maksudnya datang ke rumah sang kekasih."Semuanya udah pada tau hubungan kita?"Lara menggeleng, lantas ia mengambil duduk di seberang Ari. "Gue nggak pernah mau ngakuin elu! Mana mungkin mereka tau!""Buktinya, Lalita tau, Ra!""Dia cuma mau mancing elu, Begok!"Dikatai sedemikian rupa oleh Lara, tak membuat Ari marah. Ia malah mencondongkan badan, mengikis jarak pada idaman banyak pria. "Kamu ... nyembunyiin sesuatu?"Lara pun tergemap sebentar, sebelum akhirnya mampu menguasai keadaan. Ia mengulas senyum pada Ari. "Eng-gak!""Lalita ngasih semua buktinya, Ra. Mana mungkin dia nggak tau.""Mungkin itu semua gegara elu yang ngedeketin Tarissa!""Aku nggak ngedeketin dia, Ra. Emang pas
"Elu ngomong aja muter-muter! Belajar lagi sono!" maki Lara. Kedua matanya telah mendelik tak keruan, sedangkan tangannya melipat di dada."Ra ..., aku suka sama Tarissa," aku Ari sembari nyengir kuda.Sontak saja, Lara mengeratkan rahang. Ini kali pertamanya marah karena hak yang tak jelas. Apalagi ini berkaitan dengan sosok yang telah lama mengganggu ketenangannya.Untuk beberapa saat, keduanya masih saling diam. Posisi mereka tak berubah meski sejengkal. Ari yang mendongak pada Lara, sedangkan gadis itu memelototi karyawannya.Lara masih susah mencerna apa yang telah dikatakan Ari. Ada debuman, hantaman, bahkan terasa seperti ledakan kecil dalam dadanya. Sadar suda terlalu lama tergemap, ia mulai berdeham. Mencoba menetralkan keadaan yang sempat canggung akibat ucapan pria tak tau diuntung."Elu beneran?"Ari enggan menjawab. Kedua matanya menatap lurus pa
Sepeninggal kepergian Ari, Lara masih menangis sesenggukan. Seluruh tubuhnya masih bergetar di sofa dudukan tiga. Ia sendiri bahkan tak menyangka, jika beginilah akhirnya.Ditatapnya selembar sticky notes legam yang bertuliskan tinta keperakan dalam genggamannya. Sudah dua jam ia berdiam diri, memikirkan banyak kemungkinan yang terjadi. Lara masih dipasung kebisuan, pun dalam langkah selanjutnya juga penuh keraguan.Padahal, atas inisiatif Ari sendiri, ia mengambilkan Lara laptop dari kamarnya. Pun demikian, dashboard pada kamputer jinjing itu sudah berganti dengan badan surel yang telah terbuka.Kendati demikian, Lara masih enggan untuk menghapus segalanya. Ia masih menatap tulisan yang ada namanya."Gu-e eng-gak habis pi-kir kalo e-mail dan san-dinya ada na-ma gue," ucapnya terguguk.Sesekali diliriknya layar laptop yang tertidur karena lama tak mendapat perintah. Namun, Lara p
Dalam ruangan yang didominasi warna putih gading itu tampak seorang gadis yang tengah tertidur pulas setelah diberi obat penenang. Ia yang tak pernah merasa kekurangan, tiba-tiba menjerit tak keruan karena kehilangan pendengaran.Apalagi setelah kepergian pria yang membawanya ke rumah sakit, Lara makin tak terkendali. Meski atau catatan ditinggalkan oleh yang bersangkutan, ia tetap tak ingin ditinggalkan.Ada perasaan takut, cemas, dan kesepian saat ia sama sekali tak mampu mendengarkan. Untuk pertama kalinya, Lara merasa ia benar-benar sendiri meski hartanya dalam genggaman.Hari hampir menjelang pagi saat kedua mata Lara terbuka perlahan. Sayup-sayup ia mendengar dentang jarum jam. Sontak saja ia terduduk, bersila.Perlahan, ia melebarkan telapak tangannya di belakang telinga. Mencoba mendengarkan beberapa suara yang semalam ia rindukan.Lara tersenyum saat tahu, pendengarannya
"Ari! Buka pintu!"Ari melirik pada jarum jam yang menunjuk ke angka enam, saat gedoran pada pintu kamarnya makin keras."Cah gemblung!"Ari tak mau peduli, ia kembali menarik selimut tinggi-tinggi sembari memasang earphone pada masing-masing telinga. Tak dihiraukannya suara Rendi yang naik beberapa oktaf, pun dering ponsel yang terus menyalak."Ari! Gue mau tanya banyak hal! Buka pintunya!"Ari kembali membuka mata, menatap langit-langit kamar sembari mengumpulkan niat untuk sekadar menerima tamu. Ditatapnya Lara yang masih tertidur pulas di sampingnya."Terus, aku kudu piye iki, Ra?" tanya Ari sembari menekuri tiap lekuk wajah Lara.Bulu mata Lara yang lentik seolah-olah tengah memanggil Ari untuk mendekat. Pun bibir Lara yang penuh terisi meski masih terlihat pucat pasi, seakan-akan punya magnet tersendiri hingga mampu membuat Ari memu