"Nungguin apa, Su?" tanya Supri. Kedua alisnya menukik tajam lantaran merasa dibohongi.
"Sst! Aku pingin ero, mereka mau makan-makan di mana, Pri. Mau tak tunjukin, kalo kita juga bisa makan enak di tempat yang sama."
Mendengar jawaban Ari, Supri pun menghela napas panjang. "Oh, jadi kita nguping ini ceritanya? Niat amat, Su!"
"Ojok rame ae, Pri! Arep ora?"
Supri menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia mengangguk lemah. Demi apa pun atas nama keuntungan dan kesetiakawanan, ia rela berlama-lama.
Sementara itu, selain menguping Ari sibuk mengutak-atik ponselnya. Sesekali ia tersenyum, sedetik kemudian menggeleng sembari menepuk jidat pelan.
"La--"
"Sstt!!" Ari memonyongkan bibir dan memposisikan telunjuk tegak sejajar mulut, saat mulai terdengar suara dari dalam bengkel.
Lincak yang berada di balik penyek
Lara jahatttt benerrrr! Tim Ari mana nih komennya?
Beberapa kali, Ari merasa ada sepasang mata yang memperhatikan mereka. Sayangnya, meski ia mengedar pandang ke segala penjuru arah, tetap saja tak ditemukan apa yang salah. Selain tak adanya Lara di bangkunya. Ari mencoba terus menelisik. Bagaimanapun juga, ia tak akan tega membuat perempuan menangis. "Apa aku keterlaluan, ya?" Hampir saja ia beranjak, saat dilihatnya Lara masuk dengan seringai. Kedua ttaapant matanya tampak tajam nan lekat. Terlebih saat jarak mereka kian dekat. Tanpa sadar, ponsel spesifikasi tinggi milik Lara mengarah padanya. Hingga beberapa kali gambarnya diambil tanpa sepengetahuan. "Mau ke mana, Su?" Sadar ia dalam posisi setengah berdiri, Ari kembali mengenyakkan bokongnya ke kursi. "Nggak jadi, Pri." Hidangan Supri telah tandas. Hanya bersisa saus keju yang belepotan di jemarinya. Dengan telaten pria paruh baya itu menjilati satu per satu jarin
Dua pria berbeda usia itu melenggang pergi dari sebuah toko perbelanjaan. Wajah mereka kuyu, terlebih makin terlihat lunglai saat keduanya menarik napas panjang. "Gini banget, yo, Su, jadi orang kaya! Bingung apa yang mau dibeli. Eman-eman!" "Iyo, Pri, kukira punya kuasa dan harta itu bisa enak. Ternyata cuma fatamorgana." "Andai aku punya nurani orang baik kek gitu, duitmu nggak mungkin habis buat belanja sempak seharga setengah jutaan!" Setelah Supri menyelesaikan kalimatnya, lantas mereka terbahak bersama. Tak lupa pula mereka saling beradu tinju di dada. Banyaknya tas kertas dalam genggaman tak membuat mereka menyudahi acara belanja. Beberapa potong pakaian mahal, serta sepatu dan juga sandal telah di tangan. Namun, rasanya masih belum cukup untuk sekadar menjadi obat penasaran. "Bau barang mahal emang bedo, yo, Pri?" Su
"Argh!!" Seorang pria yang tengah menuruni eskalator tampak kehilangan kontrol diri. Tangannya menutup mulut dengan cepat saat ada zat asing yang membuatnya mual hingga hampir muntah. Tak ada pilihan lain, seturunnya dari eskalator ia langsung memuntahkan isi perutnya ke arah luar pagar pembatas. Tanpa sadar, saat usahanya hendak mengeluarkan isi perut, tubuhnya menegang seketika. Napasnya berhenti hendak muntah. Dalam posisi demikian, tak banyak yang tahu bahwa ia telah berpulang. Hingga seorang petugas keamanan mencoba menegur, riuhlah plaza lima lantai. "Su!" panggil Supri mengejutkan, sesaat setelah teriakan para pengunjung mal menggema. "Opo seh, Pri? Mbengak-mbengok ae!" "Ada orang meninggal pas muntah. Kamu jangan muntah dulu." Supri berbisik pada Ari, saat keduanya melewati kejadian tempat perkara. Menyeruak beberapa kerumunan. "Ediaan! Di
Ari terpekur menatap cuplikan video yang ada. Gadis dengan kemeja oversize dan celana jin panjang itu benar-benar tak asing di matanya. "Tolong berhenti di sana, Pak," pintanya pada sang kepala toko. Lantas, ia memicing. Sedetik kemudian rahangnya mengeras. "Lara?" "Anda mengenal pelakunya?" Bersamaan dengan itu, ia juga baru sadar bahwa pria berhoodie tadi sedikit menabrak kursinya dari sisi lain. Ari kembali memicing tatkala melihat sebuah benda yang tampak berkilau dalam genggaman si pria asing. "Minta tolong kirimkan videonya ke email ini, Pak," pintanya. Segera ia menuliskan alamat kotak surat elektroniknya pada selembar kertas yang diberi sang kepala toko. Setelah memastikan cuplikan video itu dikirim, Ari segera beranjak ke lantai teratas. Tenang penjual pelbagai macam barang elektronik menjadi tujuan keduanya. Tanpa memilah, ia segera menu
Di sebuah mal besar khusus toko elektronik terkemuka, sepasang muda-mudi tak saling cinta tengah asyik beradu mulut. Beberapa kali, si pria tampak menggoda sang gadis. Sementara si gadis enggan untuk mengulas senyum meski sedikit. "Yang ini," pinta si pria, tak ingin kalah. "Yang biasa, aja." "Nggak usah sok ngatur!" seru pria berambut plontos. Ari yang melewati mereka hanya terkikik dalam diam. Ia tahu betul, nantinya akan berakhir demikian. Lara masih enggan buka suara meski Ari terus mengekor padanya. Ia pergi ke lantai dua, tempat berbagai furniture mewah. Tanpa disangka, Ari juga mengikutinya. "Ngapain ngikut?" "Lah, kan kamu yang bayarin. Kalo aku beli sendiri, siniin kartunya!" Lara mencebik, lantas memutar haluan hendak ke gerai aneka ponsel. Sekali lagi, keduanya melewati pasang
"Buka ini kartu kredit!" pinta Ari setelah mengenyakkan bokongnya di kursi samping."Jangan seenaknya! Elu nggak punya hak!""Oh, aku nggak ada hak, ya?" Ari meraih sesuatu dalam tasnya, lantas ditunjukkan pada Lara, "kalo gitu, password yang ini apa?"Lara melotot tak keruan saat mendapati kartu tabungannya berada di tangan Ari. Ia sama sekali tak sadar bahwa telah benar-benar dirampok sedemikian rupa."Pencuri!" Lara mencoba mengambil kembali kartunya, tapi gagal."Aku cuma mau ngeganti harga diri," pungkas Ari dengan tenang. Dimasukkannya kartu berwarna emas dalam tas.Lara mulai menjalankan mobilnya sembari mendengkus. "Nggak kaget kalo elu bisa dibeli."Ari terkekeh, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Jalanan ibu kota memang tak pernah sepi peminatnya. Apalagi saat jam pulang kerja. "Aku nggak akan terprovokasi, Ra. Aku e
Lara baru saja tiba di kampus saat banyak mata dan mulut yang bergerak dalam senyap. Meski kasak-kusuk terdengar lantang, mereka masih enggan untuk buka suara. Bukan hanya untuk kepentingan bersama, tapi juga demi keberlangsungan mengejar ilmu tanpa aral melintang.MINI Cooper telah terparkir rapi di lapangan khusus staf dan dosen perguruan tinggi. Untuk ketiga kalinya, ia hadir ke UKLAKA tanpa harus bersusah payah mengikuti kegiatan orientasi studi pengenalan kampus.Hampir saja ia ke luar dari mobil mewahnya, saat Lara teringat ponsel merek ternama dalam dashboard yang terus berbunyi tanpa henti. Tentu saja grup salah satu aplikasi perpesanan dengan nama A4 yang menjadi biang keladinya.Lara mengernyit heran saat didapatinya lebih dari 200 chat dari ketiga kawannya. Padahal, lima belas menit yang lalu tak seramai sekarang. Biasanya, ia enggan untuk memanjat pesan-pesan kurang penting itu. Namun, untuk kali pertama ia y
Lara beranjak, lantas menuju sumber suara. Tanpa ba-bi-bu, dilayangkannya tapak tangan ke arah pipi pria berkemeja merah.Plak!Suara tamparan Lara pada Rendi terdengar cukup nyaring hingga memecah banyak kebisuan. Hanya butuh waktu sepuluh detik, hingga semua orang yang berada tak jauh dari sana mulai merapat. Mereka mulai menikmati sajian amarah gadis berusia delapan belas tahun dengan seksama."Nggak usah sok nuduh! Gue nggak kenal Ari! Lagian, siapa juga yang mau pacaran ama montir nggak kompeten macem dia!"Sontak saja, Rendi ternganga. Ia menggeleng pelan sembari mengelus pipinya yang ternoda. "Gue bahkan belom ngomong kalo Ari itu montir, 'kan?"Lara mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia baru sadar, lidah tak bertulang memang lemas. Mudah sekali membelok meski berusaha mengelak.Gadis berampung sepinggang itu mengedar pandang pada banyak mahasiswa yang mena