Ari terpekur menatap cuplikan video yang ada. Gadis dengan kemeja oversize dan celana jin panjang itu benar-benar tak asing di matanya.
"Tolong berhenti di sana, Pak," pintanya pada sang kepala toko. Lantas, ia memicing. Sedetik kemudian rahangnya mengeras. "Lara?"
"Anda mengenal pelakunya?"
Bersamaan dengan itu, ia juga baru sadar bahwa pria berhoodie tadi sedikit menabrak kursinya dari sisi lain. Ari kembali memicing tatkala melihat sebuah benda yang tampak berkilau dalam genggaman si pria asing.
"Minta tolong kirimkan videonya ke email ini, Pak," pintanya. Segera ia menuliskan alamat kotak surat elektroniknya pada selembar kertas yang diberi sang kepala toko.
Setelah memastikan cuplikan video itu dikirim, Ari segera beranjak ke lantai teratas. Tenang penjual pelbagai macam barang elektronik menjadi tujuan keduanya.
Tanpa memilah, ia segera menu
Hayoloh, di depan Pak Pol udah ada buktinyaaaa, Raaaa! Tim Ari menang lagi, deh. Hihi
Di sebuah mal besar khusus toko elektronik terkemuka, sepasang muda-mudi tak saling cinta tengah asyik beradu mulut. Beberapa kali, si pria tampak menggoda sang gadis. Sementara si gadis enggan untuk mengulas senyum meski sedikit. "Yang ini," pinta si pria, tak ingin kalah. "Yang biasa, aja." "Nggak usah sok ngatur!" seru pria berambut plontos. Ari yang melewati mereka hanya terkikik dalam diam. Ia tahu betul, nantinya akan berakhir demikian. Lara masih enggan buka suara meski Ari terus mengekor padanya. Ia pergi ke lantai dua, tempat berbagai furniture mewah. Tanpa disangka, Ari juga mengikutinya. "Ngapain ngikut?" "Lah, kan kamu yang bayarin. Kalo aku beli sendiri, siniin kartunya!" Lara mencebik, lantas memutar haluan hendak ke gerai aneka ponsel. Sekali lagi, keduanya melewati pasang
"Buka ini kartu kredit!" pinta Ari setelah mengenyakkan bokongnya di kursi samping."Jangan seenaknya! Elu nggak punya hak!""Oh, aku nggak ada hak, ya?" Ari meraih sesuatu dalam tasnya, lantas ditunjukkan pada Lara, "kalo gitu, password yang ini apa?"Lara melotot tak keruan saat mendapati kartu tabungannya berada di tangan Ari. Ia sama sekali tak sadar bahwa telah benar-benar dirampok sedemikian rupa."Pencuri!" Lara mencoba mengambil kembali kartunya, tapi gagal."Aku cuma mau ngeganti harga diri," pungkas Ari dengan tenang. Dimasukkannya kartu berwarna emas dalam tas.Lara mulai menjalankan mobilnya sembari mendengkus. "Nggak kaget kalo elu bisa dibeli."Ari terkekeh, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Jalanan ibu kota memang tak pernah sepi peminatnya. Apalagi saat jam pulang kerja. "Aku nggak akan terprovokasi, Ra. Aku e
Lara baru saja tiba di kampus saat banyak mata dan mulut yang bergerak dalam senyap. Meski kasak-kusuk terdengar lantang, mereka masih enggan untuk buka suara. Bukan hanya untuk kepentingan bersama, tapi juga demi keberlangsungan mengejar ilmu tanpa aral melintang.MINI Cooper telah terparkir rapi di lapangan khusus staf dan dosen perguruan tinggi. Untuk ketiga kalinya, ia hadir ke UKLAKA tanpa harus bersusah payah mengikuti kegiatan orientasi studi pengenalan kampus.Hampir saja ia ke luar dari mobil mewahnya, saat Lara teringat ponsel merek ternama dalam dashboard yang terus berbunyi tanpa henti. Tentu saja grup salah satu aplikasi perpesanan dengan nama A4 yang menjadi biang keladinya.Lara mengernyit heran saat didapatinya lebih dari 200 chat dari ketiga kawannya. Padahal, lima belas menit yang lalu tak seramai sekarang. Biasanya, ia enggan untuk memanjat pesan-pesan kurang penting itu. Namun, untuk kali pertama ia y
Lara beranjak, lantas menuju sumber suara. Tanpa ba-bi-bu, dilayangkannya tapak tangan ke arah pipi pria berkemeja merah.Plak!Suara tamparan Lara pada Rendi terdengar cukup nyaring hingga memecah banyak kebisuan. Hanya butuh waktu sepuluh detik, hingga semua orang yang berada tak jauh dari sana mulai merapat. Mereka mulai menikmati sajian amarah gadis berusia delapan belas tahun dengan seksama."Nggak usah sok nuduh! Gue nggak kenal Ari! Lagian, siapa juga yang mau pacaran ama montir nggak kompeten macem dia!"Sontak saja, Rendi ternganga. Ia menggeleng pelan sembari mengelus pipinya yang ternoda. "Gue bahkan belom ngomong kalo Ari itu montir, 'kan?"Lara mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia baru sadar, lidah tak bertulang memang lemas. Mudah sekali membelok meski berusaha mengelak.Gadis berampung sepinggang itu mengedar pandang pada banyak mahasiswa yang mena
Mendengar jawaban Rendi, Lara teringat akan khayalannya mengenai pertanyaan Rendi. Seketika, gadis itu berpaling. Ia tak lagi ingin meneruskan hal ini. Tanpa sepatah kata, ia menutup pintu aula rapat seolah-olah tak boleh ada yang datang bahkan untuk sekadar mengetuk pintunya jika masih ingin selamat.Mendadak, Dimas dan Saka terbahak tanpa henti. Keduanya lalu merangkul bahu Rendi dari masing-masing sisi. Lantas, membawanya pergi menuju ke tempat lain.Rendi yang tak tahu menahu tentang apa yang lucu pun hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sementara Dimas dan Saka masih tak habis pikir dengan jawaban yang Rendi berikan."Mastiin apa elu, Ren?" tanya Saka antusias dalam sela tawanya."Ya,mas--""Mastiin dia cocok apa nggak jadi bahan nganu!" timpal Dimas yang memotong pengakuan Rendi."Gila, ya, elu pada!" Rendi mulai geram. Entah mengapa kali ini ia me
Matahari belum naik setengahnya saat Supri yang mengeluh lelah, menerima lemparan handuk keringat sang kawan. Alih-alih marah, ia malah terkekeh melihat tampang Ari yang tak keruan."Mukamu kusut, Su! Nggak seganteng kartu kreditmu kemaren!"Beberapa montir yang mendengar kelakar Supri, cengar-cengir tak tahu akar musababnya. Sementara Ari, ia malah mencebik pada pria setengah baya itu."Muka boleh blentong oli, Pri, pokok kartun nganti iso ngeragati!"Terang saja para montir makin tertawa. Lelucon di tengah keseriusan bekerja adalah pelebur bosan. Namun, bagi Ari itu bukan guyonan semata."Kalo gitu, Su, aku mau pinjem duit! Lumayan buat nyenengin istri!"Ari menyimpul senyum sejenak. "Lah, kuwi bojomu opo bojoku? Kok, minta uang buat nyenengin dia pake uangku?""Berbagi itu banyak pahalae, Su!""Iyo, wis, gampang ik
Ruangan bernuansa hitam putih yang tampak elegan nan mewah sama sekali tak membuatnya tenang. Terlebih, saat ia membaca pesan yang baru saja ia terima."Dia membeli banyak buku, baju, sepatu, dan makanan ringan, Bos. Lalu membawa semuanya ke sebuah panti asuhan.""Gue kira, dia bakalan seneng-seneng pake itu kartu! Gue pikir, dia meres gue buat nyenengin diri sendiri," gumam Lara.Ada rasa sesal yang mengusik saat tahu, pria yang dianggapnya bajingan malah mempunyai sisi kemanusiaan yang tak mampu dibayangkan. Ia mengusap kepalanya sebentar, sebelum akhirnya kembali meraih ponsel dan outer Velvet burgundy dari hanger standing.Tanpa meretouch make up atau mengganti pakaian, ia segera menuju ke garasi setelah mengirim pesan singkat. "Share lok."Secepat kilat Lara membelah jalanan ibu kota. Meski jam pulang kerja telah lewat, tapi kepadatan laju kendaraan tak mampu ia perkirakan.
"Kemasin semua barangmu, Brai, kita ngungsi!"Rendi yang baru saja tiba tampak mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Ia terkejut. Bahkan, untuk sekadar bertanya pun ia tak sanggup."Aku ada uang. Nggak banyak. Mo renov rumah, biar nyaman. Jadi, kita kos dulu. Lumayan, dapet murah di tengah. Deket ama UKLAKA ples deket bengkel buat kerja."Renda mengedar pandangannya. Rumah peninggalan orang tuanya itu memang perlu diperbaiki pada beberapa bagian. Terlebih, pondasi yang tak lagi simetris akibat gempa beberapa tahun silam, membuat rumahnya sedikit miring ke kanan. Belum lagi masalah keran air yang bocor saban harinya.Mereka punya tempat tinggal, saja, sudah sebuah keberuntungan tersendiri bagi kakak beradik itu."Elu dapet cuan dari mana, Kak?"Pertanyaan Rendi membuat Ari menghentikan langkah. Dua kotak dus air mineral berisi pakaian masih berada dalam pangkuan