"Kita akan menikmati syurga dunia. Sekarang pejamkan matamu dan jangan membukanya sebelum Abang suruh. Kalau tidak, maka kamu akan menerima hukuman," tuturnya membuat aku semakin heran. Pikiran negatif semakin memenuhi kepalaku. Apakah Bang Fyan akan memaksa meminta haknya malam ini? Terus aku harus bagaimana? Aku belum siap dan tidak mungkin bisa dipaksakan. Aku bergidik dan mengerjap, lalu menatap wajah lelaki yang sedang menggendongku ini. Dalam posisi seperti ini hidung mancungnya terlahir jelas, ada perasaan aneh menyelusup ke dalam rongga dadaku."Oke!" kataku kemudian mulai menutup mata sesuai permintaannya. Dalam hati aku berdoa semoga dugaanku salah. Tapi apakah Tuhan akan mengabulkan doa seorang istri yang dzolim. Istri yang masih menolak melayani suaminya."Nggak boleh ngintip!""Iya!"Selanjutnya kurasakan Bang mulai melangkah entah kemana. Semoga tidak terjadi hal yang tidak aku inginkan."Santai saja, jangan tegang," bisiknya."Nggak kok," bantahku."Kamu kira Abang tida
Hanya beberapa langkah di belakang, Rey tengah berdiri menatap kami. Disampingnya, wanita yang aku lihat tempo hari di tokoku bergelayut pada tangan Rey. Nindy.Sejenak aku terkesiap tapi sedetik kemudian berusaha untuk lebih tenang, karena ini tidak bisa lagi dihindari. Siap tidak siap aku harus siap. Kulirik Bang Fyan yang masih merengkuh pundakku. Dia mengangguk menatapku, sementara tangannya yang berada di bahuku perlahan bergerak mengusap seakan memberikan kekuatan dan ketenangan untukku."Tenanglah! Abang bersamamu!" bisiknya seakan mengerti apa yang kurasakan. Mungkin dia mengira aku belum tahu perihal Rey dan Nindy.Aku balas menatap dan mengangguk, lalu melangkah bersama mendekati Rey dan Nindy."Hey Rey! Apa kabar?" sapa Bang Fyan seraya mengulurkan tangannya dan disambut antusias oleh Rey."Baik, selamat ya Bro! Semoga langgeng," keduanya berpelukan sesaat layaknya dua orang sahabat yang lama tidak bertemu."Apa kabar, Ra?" tanya Rey padaku setelah mereka melepas pelukann
"Pokoknya mau sekarang, titik!" Gadis yang duduk di ruang tengah rumahku itu menatapku garang."Tapi ini sudah sore, udah gituh mendung," jawabku mencoba bernegosiasi."Ara bilangin Bunda kalau Abang jahat," katanya seraya bangkit."Eit jangan! Oke, tapi sebentar saja. Cuma beli coklat terus pulang. Lihat, Abang lagi banyak tugas," ucapku sambil menunjuk laptop yang masih menyala.Tanpa menjawab perkataanku, dia bangkit dan berjalan ke arah dapur. Aku tahu pasti akan berpamitan pada Bunda. Sementara aku mematikan laptop kemudian menyambar kunci motorku lalu menunggunya di depan.Namanya Mutiara Putri Baskara, anak kedua Om Baskara, teman Ayah yang rumahnya persis di sebelah rumah orang tuaku. Kami pindah ke sini semenjak aku duduk di bangku sekolah dasar. Hubungan keluarga kami sangat dekat bahkan sudah seperti saudara.Sejak pindah ke sini aku sangat dekat dengan Ara. Aku yang bungsu dari dua bersaudara seperti menemukan sosok seorang adik pada dirinya. Begitu pun Ara yang hanya puny
"Kebiasaan sekali kamu tuh Fyan! Bawa motor nggak bawa jas hujan. Adikmu sampai basah gituh," tegur Bunda begitu kami turun dari motor."Ara-nya juga suka hujan-hujanan, kok Bunda yang heboh," jawabku seraya melirik Ara. Yang dilirik malah senyum-senyum nggak jelas dengan pasang wajah sok imut."Udah, mandi sana! Nanti masuk angin, Abang juga yang diomelin Mama." titahku."Biasa aja kali, nggak usah pasang wajah jutek gituh," jawabnya seraya cemberut.Aku memalingkan wajah menahan gemas melihat dia cemberut seperti itu. Kubuang napas kasar menormalkan gejolak di dalam sini."Ara pamit dulu, ya, Bun," ucapnya pada Bunda yang masih memperhatikan kami dari teras."Iya, cepetan mandi pake air hangat!""Oke, Bunda!" jawabnya kemudian berlari menuju rumahnya yang hanya beberapa meter dari sini."Makasih coklatnya, Bang Fyan!" Dia berteriak setelah sampai di pintu pagar rumahnya sambil mengacungkan cup coklat.Hingga tak terasa ujung bibirku terangkat dan rasanya ada kebahagiaan yang tak bis
"Iya tapi kan beda, Bang. Ada hal-hal yang tidak bisa Rey lakukan seperti Abang. Nanti kalau Ara telat sholat, siapa yang cerewetin Ara. Kalau Ara lupa makan, siapa yang ngingetin. Terus kalau Ara bandel siapa yang mengacak rambut Ara?" Kemudian dia diam dan detik berikutnya aku hanya mendengar isaknya tertahan.Kutarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, ini memang berat. Hampir dua puluh tahun kami bersama. Melakukan apapun bersama, dan aku sudah menduga perpisahan ini memang akan terjadi. Memberanikan diri menoleh dan menatap wajahnya yang basah, aku ingin merengkuh dan membawanya ke dalam pelukan. Tanganku terangkat tapi segera aku turunkan kembali. Bahkan untuk memeluknya saja aku tak berani, karena meski sedekat apapun hubungan kami aku dan dia tetap tidak halal bersentuhan."Kamu percaya pepatah bahwa setinggi-tingginya burung terbang dia akan kembali ke kubangan. Anggap saja sekarang Abang adalah burung itu. Jika Allah berkehendak suatu saat Dia akan mengembalik
Aku fokus pada pekerjaanku dan karirku. Uang yang kudapatkan selama bekerja dari awal tak pernah aku gunakan. Pertanyaan Bunda tentang menantu perempuan sudah tidak aku hiraukan lagi. Aku akan menikah tapi entah kapan. Mungkin jika suatu saat nanti ada wanita yang benar-benar bisa menggeser Ara dari hatiku."Fyan, kakakmu menyerahkan perusahaan yang dia kelola pada Ayah. Mereka membuka usaha baru dan khawatir tidak bisa menjalankan perusahaan dengan baik. Mungkin sudah saatnya kamu pulang ke sana dan mengelola perusahaan milikmu sendiri," kata Ayah ketika malam ini kami berkumpul di ruang tengah."Perusahaan Fyan? Maksud Ayah?""Perusahaan itu sudah atas nama kamu. Ayah yakin sekarang kamu sudah bisa dipercaya untuk memimpinnya. Pergilah!" Aku sampai lupa kalau Ayah pernah bilang. Melupakan kota Bandung dan berusaha melupakan gadis pujaanku. Kenapa semua hal tentang kota itu ikut raib."Nggak, Fyan disini saja." "Kalau kamu disini terus, kapan Bunda punya mantu?" Bunda menimpali."Bu
"Mama juga tidak yakin, sebab Ara masih bersikeras menuggu Rey. Kami akan coba meyakinkan dia tapi kami juga butuh bantuan kamu.""Apa yang harus Fyan lakukan, Ma?" Tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar dari mulutku seiring keyakinan dalam hatiku bahwa aku tak mau kehilangan kesempatan untuk yang kedua kalinya."Yakinkan hatimu! Bismillah, ini jalan yang terbaik buat kalian. Masalah Ara biar kami yang mengurus, tidak mengapa jika awalnya kita sedikit memaksa pada Ara. Mama mohon, Fyan. Mama nggak rela kalau Ara jatuh ke tangan orang lain, Mama sangat berharap padamu." Dengan mata berkaca-kaca dan suara bergetar Mama menggenggam tanganku."Iya Ma, Fyan janji akan menjaga dan membahagiakan Ara. Jujur, Fyan nggak mau kehilangan kesempatan untuk kedua kalinya."Mendengar itu Mama tersenyum dan Papa menepuk pundakku."Alhamdulillah, Papa senang mendengarnya. Papa percaya sama kamu. Hubungi Ara, dan sampaikan niatmu."Aku mengangguk, dalam hati tak hentinya mengucap syukur karena aku mendapa
Aku pikir itu awal yang baik bagi hubungan kami. Tapi nyatanya Ara masih menyimpan rasa pada Rey, terbukti dari wallpaper ponselnya yang masih menggunakan poto mereka dan aku cemburu, wajar bukan jika hal itu aku rasakan. Apalagi sekarang aku adalah suaminya, orang yang paling berhak atas dirinya baik lahir maupun batin. Hingga kali ini kesabaranku sudah sampai pada batasnya. Aku mengganti wallpaper ponselnya dengan poto pernikahan kami dan itu memicu perselisihan lagi. Kali ini aku berada di titik jenuh dan rasanya sudah lelah memperjuangkan rasa ini. Kuputuskan untuk bersikap masa bodoh saja, aku menunggu Ara mengambil keputusan setelah ini. Karena aku tahu Rey sudah kembali ke kota ini. Salah satu teman kuliah kami mengatakan bahwa dia bertemu Rey baru-baru ini. Sengaja aku makin mengabaikan dia untuk memberi kesempatan supaya dia bertemu Rey dan segera menyelesaikan masalah mereka. Apapun keputusan Ara aku siap menerimanya. Jika memang mereka ingin kembali menjalani hubungan, ak