Aku fokus pada pekerjaanku dan karirku. Uang yang kudapatkan selama bekerja dari awal tak pernah aku gunakan. Pertanyaan Bunda tentang menantu perempuan sudah tidak aku hiraukan lagi. Aku akan menikah tapi entah kapan. Mungkin jika suatu saat nanti ada wanita yang benar-benar bisa menggeser Ara dari hatiku."Fyan, kakakmu menyerahkan perusahaan yang dia kelola pada Ayah. Mereka membuka usaha baru dan khawatir tidak bisa menjalankan perusahaan dengan baik. Mungkin sudah saatnya kamu pulang ke sana dan mengelola perusahaan milikmu sendiri," kata Ayah ketika malam ini kami berkumpul di ruang tengah."Perusahaan Fyan? Maksud Ayah?""Perusahaan itu sudah atas nama kamu. Ayah yakin sekarang kamu sudah bisa dipercaya untuk memimpinnya. Pergilah!" Aku sampai lupa kalau Ayah pernah bilang. Melupakan kota Bandung dan berusaha melupakan gadis pujaanku. Kenapa semua hal tentang kota itu ikut raib."Nggak, Fyan disini saja." "Kalau kamu disini terus, kapan Bunda punya mantu?" Bunda menimpali."Bu
"Mama juga tidak yakin, sebab Ara masih bersikeras menuggu Rey. Kami akan coba meyakinkan dia tapi kami juga butuh bantuan kamu.""Apa yang harus Fyan lakukan, Ma?" Tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar dari mulutku seiring keyakinan dalam hatiku bahwa aku tak mau kehilangan kesempatan untuk yang kedua kalinya."Yakinkan hatimu! Bismillah, ini jalan yang terbaik buat kalian. Masalah Ara biar kami yang mengurus, tidak mengapa jika awalnya kita sedikit memaksa pada Ara. Mama mohon, Fyan. Mama nggak rela kalau Ara jatuh ke tangan orang lain, Mama sangat berharap padamu." Dengan mata berkaca-kaca dan suara bergetar Mama menggenggam tanganku."Iya Ma, Fyan janji akan menjaga dan membahagiakan Ara. Jujur, Fyan nggak mau kehilangan kesempatan untuk kedua kalinya."Mendengar itu Mama tersenyum dan Papa menepuk pundakku."Alhamdulillah, Papa senang mendengarnya. Papa percaya sama kamu. Hubungi Ara, dan sampaikan niatmu."Aku mengangguk, dalam hati tak hentinya mengucap syukur karena aku mendapa
Aku pikir itu awal yang baik bagi hubungan kami. Tapi nyatanya Ara masih menyimpan rasa pada Rey, terbukti dari wallpaper ponselnya yang masih menggunakan poto mereka dan aku cemburu, wajar bukan jika hal itu aku rasakan. Apalagi sekarang aku adalah suaminya, orang yang paling berhak atas dirinya baik lahir maupun batin. Hingga kali ini kesabaranku sudah sampai pada batasnya. Aku mengganti wallpaper ponselnya dengan poto pernikahan kami dan itu memicu perselisihan lagi. Kali ini aku berada di titik jenuh dan rasanya sudah lelah memperjuangkan rasa ini. Kuputuskan untuk bersikap masa bodoh saja, aku menunggu Ara mengambil keputusan setelah ini. Karena aku tahu Rey sudah kembali ke kota ini. Salah satu teman kuliah kami mengatakan bahwa dia bertemu Rey baru-baru ini. Sengaja aku makin mengabaikan dia untuk memberi kesempatan supaya dia bertemu Rey dan segera menyelesaikan masalah mereka. Apapun keputusan Ara aku siap menerimanya. Jika memang mereka ingin kembali menjalani hubungan, ak
Pov AraKejadian semalam ketika bertemu dengan Rey juga Nindy jujur saja sangat menguras emosiku. Meski aku sudah tahu perihal mereka berdua, tapi melihat Nindy bergelayut pada tangan Rey seraya berkata manja tetap saja membuat ada yang teriris di dalam dadaku.Ditambah lagi prasangka terhadap alasan Bang Fyan menikahiku. Meski kata Bang Fyan dia menikahiku bukan karena kasihan padaku. Namun di hatiku masih ada sedikit ganjalan. Akan aku tanyakan nanti, karena mulai saat ini tak mau lagi ada hal yang disembunyikan diantara kami. Untuk bisa saling menerima mungkin harus dimulai dari saling terbuka. Aku belum bisa mencintai Bang Fyan seperti layaknya seorang istri. Namun akan kucoba menerima kenyataan bahwa dia suamiku.Allah telah mematahkan hatiku karena Dia tahu Rey bukan yang terbaik untukku. Dan Bang Fyan adalah lelaki yang dikirim Allah untuk menjagaku dari efek buruk patah hati karena lelaki bernama Rey. Tidak dapat kubayangkan bagaimana jika ketika kutahu kenyataan tentang Rey
Beberapa saat kami berkejaran hingga aku merasa kelelahan dan berhenti. Kemudian dengan napas pendek-pendek aku membungkuk memegangi lutut. Keringat membasahi dahiku dan seluruh wajahku. Perlahan aku mengangkat wajah bersamaan dengan tubuhku yang menegak. Dan dia sudah berada di hadapanku kini sambil berkacak pinggang. Sedikit senyuman terlukis sedangkan aku memasang wajah datar."Sudah Abang bilang kita jalan saja, nggak usah lari-lari," ucapnya tanpa merasa bersalah."Yang lari duluan siapa?" tanyanya geram."Abang bukan lari tapi cuma menghindar saja."Tak mau berdebat lebih jauh lagi aku melangkah mendahuluinya. Meninggalkan dia yang masih berdiri dengan senyum tidak jelas. Setelah beberapa langkah kurasa dia kembali menggenggam jemariku seperti tadi. Aku hanya membiarkanya tanpa banyak bicara. Hingga hampir satu putaran berlalu aku larut dalam pikiranku dan sepertinya lelaki disampingku ini juga larut dalam pikirannya. Sesekali pandangan kami bertemu lalu saling berpaling lagi
Selang beberapa menit, dia kembali dan duduk di tempat semula lalu melanjutkan makannya. Aku ingin bertanya apa yang terjadi tapi lidahku tiba-tiba seperti kaku. Aku belum terbiasa bertanya apapun mengenai perasaannya ataupun aktivitasnya.Akhirnya aku pun kembali melanjutkan makan sambil sesekali melirik ke arahnya. Dia nampak masih gelisah dan sesekali membuang napas berat."Bang .... " Aku memulai lagi percakapan."Iya, kenapa sa .... " Dia menggantung kalimatnya kemudian kami menoleh secara bersamaan. Aku menautkan alisku untuk mewakili pertanyaanku.Bang Fyan mengangkat satu tangannya lalu mengusap tengkuknya sambil mengangkat alis dan tersenyum tipis."Abang kenapa, sih?" "Mau bilang sayang tapi disini tidak ada Rey ataupun Nindy, jadi nggak jadi deh," jawabnya ragu."Memangnya harus?""Semalam kamu protes. 'Cukup Bang. Disini tidak ada Rey, tidak ada Nindy. Jadi nggak usah sok-sokan manggil sayang lagi!' Kamu ingat kan?"Ya, semalam kan, Ara ... masih ... emosi ... jadi .... "
Kami baru saja sampai di rumah setelah duhur. Beristirahat sebentar lalu membersihkan badan dan melaksanakan shalat Dzuhur berjamaah. Ada rasa tak biasa ketika aku melakukan aktivitas di rumah bersamanya. Tanpa rasa canggung dan sungkan, saling bercanda. Seperti beberapa tahun yang lalu, dan sekarang tanpa batas untuk saling memeluk dan memandang.Aku mulai bisa menggeser posisi hatiku, dari merasa sebagai adik menjadi nyaman sebagai istri. Lagipula tak ada alasan lagi untuk menolak pernikahan ini. Rey sudah tidak bisa diharapkan dan aku terlanjur kecewa pada Rey.Memilih untuk menerima Bang Fyan adalah pilihan terbaik untukku. Bukankah kami sudah terbiasa menghabiskan waktu bersama sejak dulu. Meskipun dalam konteks yang berbeda. Setidaknya kami sudah tahu sifat satu sama lain. Hanya perlu merubah rasa dari sayang sebagai saudara menjadi cinta suami istri."Kamu tidak akan tahu patahnya hati Abang dulu ketika harus meninggalkan kota ini. Meninggalkan cinta Abang untuk laki-laki lain
ReyPov ReyGadis bertubuh mungil itu pertama kali aku lihat ketika berkunjung ke rumah salah satu temanku. Teman satu fakultas ketika aku menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Juga teman satu perjuangan ketika memulai karir. Sama-sama diterima bekerja pada sebuah perusahaan.Namanya Mutiara Putri Baskara, tapi aku mendengar Fyan sahabatku lebih sering memanggilnya dengan sebutan Ara. Nama yang bagus, simpel seperti orangnya. Ara termasuk gadis yang mudah beradaptasi dengan orang baru. Sehingga bisa cepat kenal dan akrab.Gadis manis yang kerap mengganggu Fyan itu dikenalkan sebagai adiknya. Tapi belakangan aku tahu kalau Ara anak tetangga sebelah Fyan yang sudah seperti adiknya sendiri.Aku melihat tatapan Fyan berbeda pada Ara, sepertinya dia menyimpan perasaan lain. Muncul niat iseng di dalam hatiku untuk memancing Fyan mau mengakui perasaannya pada Ara.Siang itu ketika aku menyampaikan pada Fyan bahwa aku suka pada Ara, Fyan nampak terkejut meskipun dia berusaha untuk menyembu