Selang beberapa menit, dia kembali dan duduk di tempat semula lalu melanjutkan makannya. Aku ingin bertanya apa yang terjadi tapi lidahku tiba-tiba seperti kaku. Aku belum terbiasa bertanya apapun mengenai perasaannya ataupun aktivitasnya.Akhirnya aku pun kembali melanjutkan makan sambil sesekali melirik ke arahnya. Dia nampak masih gelisah dan sesekali membuang napas berat."Bang .... " Aku memulai lagi percakapan."Iya, kenapa sa .... " Dia menggantung kalimatnya kemudian kami menoleh secara bersamaan. Aku menautkan alisku untuk mewakili pertanyaanku.Bang Fyan mengangkat satu tangannya lalu mengusap tengkuknya sambil mengangkat alis dan tersenyum tipis."Abang kenapa, sih?" "Mau bilang sayang tapi disini tidak ada Rey ataupun Nindy, jadi nggak jadi deh," jawabnya ragu."Memangnya harus?""Semalam kamu protes. 'Cukup Bang. Disini tidak ada Rey, tidak ada Nindy. Jadi nggak usah sok-sokan manggil sayang lagi!' Kamu ingat kan?"Ya, semalam kan, Ara ... masih ... emosi ... jadi .... "
Kami baru saja sampai di rumah setelah duhur. Beristirahat sebentar lalu membersihkan badan dan melaksanakan shalat Dzuhur berjamaah. Ada rasa tak biasa ketika aku melakukan aktivitas di rumah bersamanya. Tanpa rasa canggung dan sungkan, saling bercanda. Seperti beberapa tahun yang lalu, dan sekarang tanpa batas untuk saling memeluk dan memandang.Aku mulai bisa menggeser posisi hatiku, dari merasa sebagai adik menjadi nyaman sebagai istri. Lagipula tak ada alasan lagi untuk menolak pernikahan ini. Rey sudah tidak bisa diharapkan dan aku terlanjur kecewa pada Rey.Memilih untuk menerima Bang Fyan adalah pilihan terbaik untukku. Bukankah kami sudah terbiasa menghabiskan waktu bersama sejak dulu. Meskipun dalam konteks yang berbeda. Setidaknya kami sudah tahu sifat satu sama lain. Hanya perlu merubah rasa dari sayang sebagai saudara menjadi cinta suami istri."Kamu tidak akan tahu patahnya hati Abang dulu ketika harus meninggalkan kota ini. Meninggalkan cinta Abang untuk laki-laki lain
ReyPov ReyGadis bertubuh mungil itu pertama kali aku lihat ketika berkunjung ke rumah salah satu temanku. Teman satu fakultas ketika aku menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Juga teman satu perjuangan ketika memulai karir. Sama-sama diterima bekerja pada sebuah perusahaan.Namanya Mutiara Putri Baskara, tapi aku mendengar Fyan sahabatku lebih sering memanggilnya dengan sebutan Ara. Nama yang bagus, simpel seperti orangnya. Ara termasuk gadis yang mudah beradaptasi dengan orang baru. Sehingga bisa cepat kenal dan akrab.Gadis manis yang kerap mengganggu Fyan itu dikenalkan sebagai adiknya. Tapi belakangan aku tahu kalau Ara anak tetangga sebelah Fyan yang sudah seperti adiknya sendiri.Aku melihat tatapan Fyan berbeda pada Ara, sepertinya dia menyimpan perasaan lain. Muncul niat iseng di dalam hatiku untuk memancing Fyan mau mengakui perasaannya pada Ara.Siang itu ketika aku menyampaikan pada Fyan bahwa aku suka pada Ara, Fyan nampak terkejut meskipun dia berusaha untuk menyembu
Setelah mengetahui bahwa Maya punya andil yang sangat besar dibalik pernikahanku dengan Bang Fyan, aku sangat bersyukur bahwa Allah telah menghadirkan orang-orang terbaik di sekitarku.Sore ini ketika Bang Fyan menjemputku, aku mengajak Maya, Iren serta Rasti makan bersama di sebuah restoran yang cukup mahal. Sekali-kali mengajak mereka makan memang kerap aku lakukan, hanya saja biasanya aku memilih tempat yang lebih sederhana, yang penting kebersamaannya."Ra, kenapa masuk ke sini? Ini mahal loh," bisik Maya ketika kami mencari tempat duduk."Ya, sekali-kali lah.""Aku tahu nih, emang orang kalau lagi seneng apa aja bisa dilakukan ya. Termasuk orang yang lagi kasmaran," goda Maya seraya menjauh dariku."Sok tahu!" Aku memutar bola mata."Kalian ini, tidak malu apa? Udah gede masih becanda ala anak sekolah." Bang Fyan mengusap kepalaku sedang aku hanya tersenyum tipis.Sikap Bang Fyan masih sama seperti itu, sukanya mengacak rambutku ketika aku masih SMA. Setelah aku kuliah dan berhij
Tidak lama setelah dia pergi, ponselnya yang ternyata tertinggal di dalam mobil tiba-tiba menyala. Nama Ajeng kembali terpampang sedang memanggil. Ada rasa tidak suka ketika lagi-lagi melihat dia menelepon. Di dorong oleh rasa penasaran dan rasa kurang suka, membuat aku memberanikan diri menggeser tombol hijau dilayar ponsel suamiku. Lalu mendekatkan benda pipih ini ke telingaku.Hening beberapa saat, karena aku sengaja tidak bersuara."Assalamualaikum Mas," terdengar suara seorang wanita dari seberang telepon. Aku masih diam tak bersuara."Maaf mengganggu Mas, saya tahu ini waktunya Mas Fyan bersama istri Mas. Saya cuma mau menyampaikan terima kasih, alhamdulillah uangnya sudah masuk rekening. Minta do'anya besok Bimo mau operasi dan jika sempat saya mohon Mas mau menjenguk dia."Uangnya masuk rekening? Sepertinya Bang Fyan diam-diam mengirim sejumlah uang pada Ajeng untuk biaya operasi Bimo. Tapi siapa Bimo? Aku menahan nafas supaya tidak terdengar ke seberang sana. Karena kini ak
Jangan tanya lagi bagaimana keadaan hatiku. Sebab berbagai macam prasangka sedang berkumpul di sana. Bagiamana kalau malam ini dia meminta haknya sedang hatiku tengah diliputi berbagai macam pertanyaan mengenai Ajeng."Apakah Abang ada salah?" Rupanya pertanyaan itu yang keluar dari bibirnya."Ti-tidak ada kok, kenapa Abang bertanya seperti itu?""Abang merasa ada yang beda. Kalau ada apa-apa ngomong saja. Abang siap mendengarkan kok." Dia menggenggam tanganku dengan kedua tangannya.Aku tersenyum tipis mendengarnya, sebenarnya ingin sekali bertanya perihal nama wanita yang sejak tadi mengganggu pikiranku."Besok Abang pergi ke Surabaya untuk beberapa hari, kalau kamu tidak berani tinggal sendirian di sini, kamu boleh nginep di rumah Mama. Atau minta Endra tidur di sini saja, dia kan sedang libur semester."Deg!Jadi benar dia akan menemui wanita itu besok? Dan dia tidak mengajakku ikut ke Surabaya? Ini patut dicurigai."Ada urusan apa?""Abang ada sedikit keperluan, paling dua hari k
."Tidak ada yang aneh, kenapa takut dibully?""Memang tidak ada," jawabnya enteng.Aku mencebik lalu meraih koper dan mulai menata baju di dalam lemari."Kamu istirahat, ya! Abang ada perlu sebentar. Nanti sore kita jalan-jalan keliling Surabaya." "Abang mau kemana?" "Ada urusan sebentar, bukankah Abang sudah bilang kalau Abang ke sini ada urusan.""Baiklah." Aku pasrah dengan perintahnya."Abang pergi dulu ya!" ucapnya seraya menghampiri dan mengecup keningku.Manis memang, tapi aku tidak bisa merasakan manisnya. Setelah dia keluar kamar aku berpikir keras bagaimana caranya aku bisa mengikutinya. Sedangkan aku baru pertama kalinya datang ke Surabaya.Terdengar suara mobil meninggalkan rumah, aku berlari ke balkon mengikuti dengan mata ini hingga mobil itu keluar dari pintu gerbang dan berbelok ke arah kanan.Tiba-tiba aku mendapat ide dan segera berlari ke luar kamar setelah sebelumnya menyambar tas di atas kasur."Bunda, apa bang Fyan berpamitan sama Bunda?" tanyaku ketika bertem
"Kamu mau ke suatu tempat, Ra?" Akhirnya dia bersuara meski tanpa melihatku."Kok, nanya Ara?""Siapa tahu kamu ada keinginan atau impian kalau ke Surabaya mau berkunjung ke mana, gitu.""Nggak ada," jawabku singkat, padahal aku pernah penasaran dengan Taman Bungkul. Tapi kali ini aku sedang tidak ingin mengungkapkan isi hatiku."Nanti kalau sudah di Bandung kamu ngomel-ngomel, pengin ke sini pengin ke sana.""Ya kita tinggal pergi ke Surabaya lagi, beres 'kan?""Kalau keseringan ke Surabaya juga nggak ada waktu kan. Abang pikir mumpung kita di sini jadi apa yang sempat terpikir apa salahnya sekarang di wujudkan.""Sekarang juga kerjaan Abang lagi banyak di Bandung 'kan? Tapi Abang sempet-sempetin pergi ke sini," sindirku.Kulirik Bang Fyan mengalihkan pandangan ke arah samping sambil membuang napas panjang. Mobil berbelok dan berhenti di pinggir jalan. Tanpa diperintah lagi aku mengikuti ketika lelaki halalku itu turun dan berjalan.Taman Bungkul, begitu kubaca aksara yang terbuat da