Setelah mengetahui bahwa Maya punya andil yang sangat besar dibalik pernikahanku dengan Bang Fyan, aku sangat bersyukur bahwa Allah telah menghadirkan orang-orang terbaik di sekitarku.Sore ini ketika Bang Fyan menjemputku, aku mengajak Maya, Iren serta Rasti makan bersama di sebuah restoran yang cukup mahal. Sekali-kali mengajak mereka makan memang kerap aku lakukan, hanya saja biasanya aku memilih tempat yang lebih sederhana, yang penting kebersamaannya."Ra, kenapa masuk ke sini? Ini mahal loh," bisik Maya ketika kami mencari tempat duduk."Ya, sekali-kali lah.""Aku tahu nih, emang orang kalau lagi seneng apa aja bisa dilakukan ya. Termasuk orang yang lagi kasmaran," goda Maya seraya menjauh dariku."Sok tahu!" Aku memutar bola mata."Kalian ini, tidak malu apa? Udah gede masih becanda ala anak sekolah." Bang Fyan mengusap kepalaku sedang aku hanya tersenyum tipis.Sikap Bang Fyan masih sama seperti itu, sukanya mengacak rambutku ketika aku masih SMA. Setelah aku kuliah dan berhij
Tidak lama setelah dia pergi, ponselnya yang ternyata tertinggal di dalam mobil tiba-tiba menyala. Nama Ajeng kembali terpampang sedang memanggil. Ada rasa tidak suka ketika lagi-lagi melihat dia menelepon. Di dorong oleh rasa penasaran dan rasa kurang suka, membuat aku memberanikan diri menggeser tombol hijau dilayar ponsel suamiku. Lalu mendekatkan benda pipih ini ke telingaku.Hening beberapa saat, karena aku sengaja tidak bersuara."Assalamualaikum Mas," terdengar suara seorang wanita dari seberang telepon. Aku masih diam tak bersuara."Maaf mengganggu Mas, saya tahu ini waktunya Mas Fyan bersama istri Mas. Saya cuma mau menyampaikan terima kasih, alhamdulillah uangnya sudah masuk rekening. Minta do'anya besok Bimo mau operasi dan jika sempat saya mohon Mas mau menjenguk dia."Uangnya masuk rekening? Sepertinya Bang Fyan diam-diam mengirim sejumlah uang pada Ajeng untuk biaya operasi Bimo. Tapi siapa Bimo? Aku menahan nafas supaya tidak terdengar ke seberang sana. Karena kini ak
Jangan tanya lagi bagaimana keadaan hatiku. Sebab berbagai macam prasangka sedang berkumpul di sana. Bagiamana kalau malam ini dia meminta haknya sedang hatiku tengah diliputi berbagai macam pertanyaan mengenai Ajeng."Apakah Abang ada salah?" Rupanya pertanyaan itu yang keluar dari bibirnya."Ti-tidak ada kok, kenapa Abang bertanya seperti itu?""Abang merasa ada yang beda. Kalau ada apa-apa ngomong saja. Abang siap mendengarkan kok." Dia menggenggam tanganku dengan kedua tangannya.Aku tersenyum tipis mendengarnya, sebenarnya ingin sekali bertanya perihal nama wanita yang sejak tadi mengganggu pikiranku."Besok Abang pergi ke Surabaya untuk beberapa hari, kalau kamu tidak berani tinggal sendirian di sini, kamu boleh nginep di rumah Mama. Atau minta Endra tidur di sini saja, dia kan sedang libur semester."Deg!Jadi benar dia akan menemui wanita itu besok? Dan dia tidak mengajakku ikut ke Surabaya? Ini patut dicurigai."Ada urusan apa?""Abang ada sedikit keperluan, paling dua hari k
."Tidak ada yang aneh, kenapa takut dibully?""Memang tidak ada," jawabnya enteng.Aku mencebik lalu meraih koper dan mulai menata baju di dalam lemari."Kamu istirahat, ya! Abang ada perlu sebentar. Nanti sore kita jalan-jalan keliling Surabaya." "Abang mau kemana?" "Ada urusan sebentar, bukankah Abang sudah bilang kalau Abang ke sini ada urusan.""Baiklah." Aku pasrah dengan perintahnya."Abang pergi dulu ya!" ucapnya seraya menghampiri dan mengecup keningku.Manis memang, tapi aku tidak bisa merasakan manisnya. Setelah dia keluar kamar aku berpikir keras bagaimana caranya aku bisa mengikutinya. Sedangkan aku baru pertama kalinya datang ke Surabaya.Terdengar suara mobil meninggalkan rumah, aku berlari ke balkon mengikuti dengan mata ini hingga mobil itu keluar dari pintu gerbang dan berbelok ke arah kanan.Tiba-tiba aku mendapat ide dan segera berlari ke luar kamar setelah sebelumnya menyambar tas di atas kasur."Bunda, apa bang Fyan berpamitan sama Bunda?" tanyaku ketika bertem
"Kamu mau ke suatu tempat, Ra?" Akhirnya dia bersuara meski tanpa melihatku."Kok, nanya Ara?""Siapa tahu kamu ada keinginan atau impian kalau ke Surabaya mau berkunjung ke mana, gitu.""Nggak ada," jawabku singkat, padahal aku pernah penasaran dengan Taman Bungkul. Tapi kali ini aku sedang tidak ingin mengungkapkan isi hatiku."Nanti kalau sudah di Bandung kamu ngomel-ngomel, pengin ke sini pengin ke sana.""Ya kita tinggal pergi ke Surabaya lagi, beres 'kan?""Kalau keseringan ke Surabaya juga nggak ada waktu kan. Abang pikir mumpung kita di sini jadi apa yang sempat terpikir apa salahnya sekarang di wujudkan.""Sekarang juga kerjaan Abang lagi banyak di Bandung 'kan? Tapi Abang sempet-sempetin pergi ke sini," sindirku.Kulirik Bang Fyan mengalihkan pandangan ke arah samping sambil membuang napas panjang. Mobil berbelok dan berhenti di pinggir jalan. Tanpa diperintah lagi aku mengikuti ketika lelaki halalku itu turun dan berjalan.Taman Bungkul, begitu kubaca aksara yang terbuat da
"Kirain kalian nggak lapar," ledek Bunda sambil tersenyum jail ketika kami baru turun pagi ini. Aku membalas senyum Bunda malu-malu. Bagiamana tidak, ini pertama kalinya aku tidur di rumah mertuaku, bukannya bantuan masak, bangun saja kesiangan.Semua ini gara-gara perbuatan Bang Fyan yang semalam membobol benteng pertahananku setelah beberapa bulan kami menikah. Pagi harinya badanku serasa remuk. Hampir saja aku tak mau bangun kalau tidak ingat sedang berada di rumah Bunda."Maaf, Bun. Ara jadi malu di rumah mertua malah nggak bantuan bunda masak," ucapku merasa tidak enak hati."Gagal dong mau jadi menantu teladan." Bang Fyan terkekeh sambil menarik kursi."Nggak lah, Ara kan menantu idaman. Iya, kan, Bun?" Aku beralih menatap Bunda."Mana ada menantu idaman bangun kesiangan?" ledeknya lagi yang segera kuhadiahi cubitan."Sudah, sudah! Kalian ini sudah jadi suami istri masih saja seperti dulu! Tapi Bunda seneng banget liat kalian rukun seperti ini. Soal masak dan pekerjaan lain 'ka
Mobil berhenti di depan sebuah bangunan sederhana tapi terlihat rapi dan asri. Ada taman kecil dan berbagai sarana bermain anak-anak. Mirip sekolah TK. Tapi tidak ada papan namanya, aku mengedarkan pandangan."Alhamdulillah sampai. Ayo, turun!" Pria di sampingku berseru."Ah, iya." Aku terperanjat ketika Bang Fyan memintaku untuk turun."Ini panti asuhannya?" tanyaku sambil memandang sekitar."Iya, tempatnya sederhana tapi lumayanlah buat anak-anak berlindung." Bang Fyan berdiri memandang bangunan itu dengan kedua tangan berada di saku celananya.Ya Tuhan, kenapa sekarang setiap kali aku memandangnya dalam posisi apapun, dia selalu terlihat sempurna. Hatiku berdesir apalagi kalau bertaut pandang."Ayo, Mbak?" Suara Ajeng mengagetkanku. Dia sudah berada di sampingku sambil mendorong kursi roda Bimo."Ah, iya." Aku segera mengikuti mereka untuk memasuki pintu pagar. Beberapa langkah setelah kami masuk ke halaman panti, tiba-tiba beberapa anak keluar dari dalam panti setengah berlarian.
"Aku ingin menunjukkan sesuatu," ucap wanita yang usianya tidak jauh berbeda denganku itu. "Sesuatu?" Aku bertanya heran.Ajeng hanya tersenyum dan mengangguk, langkahnya seperti kesulitan karena perutnya yang sudah membesar.Aku jadi membayangkan kalau aku hamil nanti mungkin akan seperti Ajeng. Tapi dibalik itu pasti ada rasa senang karena sebentar lagi akan punya anak, buah cinta bersama suami.Tak terasa aku tersenyum sambil mengusap perutku."Mbak Ara kenapa? Apa sakit perut?" Pertanyaan Ajeng itu sukses membuatku gelagapan, pasalnya aku ketahuan sedang mengusap perut sendiri."Ah, enggak, aku cuma lagi ngebayangin kalau suatu saat perutku seperti perut kamu." Aku menunjuk perutnya malu-malu.Ajeng spontan memasang wajah lucu, ia menautkan alisnya sambil menahan senyum."Kenapa?" Aku ikut menautkan alis."Mudah-mudahan Mbak Ara juga cepet isi, ya.""Aamiin.""Soalnya Mas Fyan udah pengin banget punya anak, sepertinya," jawab Ajeng kemudian tertawa lepas.Kami berjalan berdamping