"Aku ingin menunjukkan sesuatu," ucap wanita yang usianya tidak jauh berbeda denganku itu. "Sesuatu?" Aku bertanya heran.Ajeng hanya tersenyum dan mengangguk, langkahnya seperti kesulitan karena perutnya yang sudah membesar.Aku jadi membayangkan kalau aku hamil nanti mungkin akan seperti Ajeng. Tapi dibalik itu pasti ada rasa senang karena sebentar lagi akan punya anak, buah cinta bersama suami.Tak terasa aku tersenyum sambil mengusap perutku."Mbak Ara kenapa? Apa sakit perut?" Pertanyaan Ajeng itu sukses membuatku gelagapan, pasalnya aku ketahuan sedang mengusap perut sendiri."Ah, enggak, aku cuma lagi ngebayangin kalau suatu saat perutku seperti perut kamu." Aku menunjuk perutnya malu-malu.Ajeng spontan memasang wajah lucu, ia menautkan alisnya sambil menahan senyum."Kenapa?" Aku ikut menautkan alis."Mudah-mudahan Mbak Ara juga cepet isi, ya.""Aamiin.""Soalnya Mas Fyan udah pengin banget punya anak, sepertinya," jawab Ajeng kemudian tertawa lepas.Kami berjalan berdamping
"Mbak Ara mau minum apa?" Pertanyaan Ajeng membuat pandanganku beralih dari poto-poto itu kepada wanita yang kerap mengusap perut buncitnya itu."Tidak usah merepotkan, nanti saya ambil sendiri," tolakku halus."Enggak merepotkan, kok, Mbak. Sekalian aku juga pengin minum.""Terserah saja, deh." "Oke, Mbak Ara tunggu sebentar, ya."Setelah berkata demikian, Ajeng keluar dari ruangan ini. Sementara aku memilih duduk di sofa. Karena untuk melanjutkan melihat-lihat poto di dinding rasanya enggan.Tak lama Ajeng sudah kembali dengan dua buah gelas teh panas. Terlihat dari asapnya yang masih mengepul."Pria dan wanita yang datang itu siapa?" Karena tak tahan akhirnya aku bertanya pada Ajeng.Ajeng menyeruput teh miliknya, kemudian menaruh kembali gelas itu diatas meja. Ia nampak ragu dan menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab."Mereka Pak Rahman dan Bu Silvia. Setiap bulan datang ke sini untuk memberikan sumbangan." Ajeng menjelaskan."Pak Rahman itu, Bapaknya Silvia?" tanyaku ragu. M
Rencana untuk tinggal satu hari lagi di Surabaya akhirnya batal. Dengan segala alasan dan rengekan akhirnya aku berhasil mengajak Bang Fyan pulang.Bunda sempat menahanku dengan alasan masih kangen. Tapi hatiku terlanjur kesal pada Bang Fyan."Bunda masih kangen, Ra. Kata Fyan kalian akan tinggal di sini satu hari lagi." Bunda merangkul pundakku sementara aku melirik priaku yang duduk tak jauh dari kami.Kedua alisnya terangkat dengan raut dingin. Sedetik kemudian tangannya terangkat dan jari-jarinya memijit pangkal hidungnya. "Maafkan Ara, Bun. Tapi Ara ada kerjaan mendadak. Insha Allah nanti kami rencanakan lagi, deh.""Iya, Sayang. Bunda ngerti. Lain kali kalian rencanakan lagi ke sini, ya. Kalian di sana yang akur, ya. Namanya orang berumah tangga itu pasti ada saja perbedaan pendapat. Kalau ada masalah segera diselesaikan, jangan dibiarkan berlarut-larut." Bunda memberikan nasehat yang terasa pas banget kena di hatiku. "Siap, Bun." Aku berusaha terlihat baik-baik saja di depan
"Deuh ... yang habis honeymoon-an dari Surabaya sampai lupa bawa oleh-oleh buat kita." Maya menggerutu ketika aku memasuki toko pagi ini."Namanya juga honeymoon, Mbak. Pasti fokusnya sama yang ono bukan sama oleh-oleh," timpal Iren sambil membersihkan rak pajangan."Kalian ini ngomong apa, sih? Kemarin itu bukan honeymoon, tapi ...." jawabku sambil menaruh tas ke atas meja setengah dilempar."Ya, namanya pengantin baru terus jalan berdua tetap saja judulnya honeymoon," sahut Maya sambil tertawa disusul suara cekikikan Iren dan Rasti."Iya deh, terserah kalian. Asal kalian tahu selama aku ke Surabaya kemarin, aku tersiksa perasaan."Maya mendekat begitupun Iren. Hanya Rasti saja yang tidak ikut-ikutan, mungkin karena dia karyawan baru. Jadi belum begitu akrab dan masih ada rasa sungkan."Memangnya ada apa?" Jiwa kepo Maya langsung meronta.Aku menghela nafas panjang sebelum bersuara. Mengingat aku telah berburuk sangka pada Ajeng dan menyangka yang tidak-tidak pada Bimo."Ih ... Ara .
Pulang dari rumah Mama aku kembali ke toko. Maya dan anak-anak sudah sibuk mengepak barang untuk dikirim ke para pelanggan online-ku. Bicara soal pelanggan online-ku, aku jadi teringat Nindy."May, Nindy masih suka belanja ke sini, enggak?" Entah mengapa pertanyaan itu tiba-tiba muncul dalam otakku."Hem ... kok jadi bahas Nindy?" Maya menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lagi."Ish, kenapa jadi balik nanya?""Santai, Neng. Enggak usah sewot gitu, aku cuma heran saja karena sebelumnya kamu engga pernah peduli dengan nama itu," kekeh Maya."Ck.""Apa karena sekarang sudah tahu kalau dia itu istrinya Rey?""Bisa jadi." Aku membuang nafas berat. Tentang Rey, meski aku sudah membuang nama itu, tetap saja jejak pria berambut gondrong itu masih ada yang tertinggal dalam hatiku."Masih saja dikenang." Meski aku tak melihat wajahnya, tapi aku yakin mimik wajah Maya sedang mencibir."Bukan dikenang. Tapi jejak itu tidak akan terhapus begitu saja. Apalagi nama Rey pernah begitu kuat menancap
"Kalau enggak enak badan, enggak usah ke toko. Di rumah saja, istirahat." Bang Fyan mendekat, membuat gerakanku yang sedang mempersiapkan bekal untuknya terpaksa berhenti, lantaran tanganku diraihnya. "Ara enggak apa-apa, kok, Bang. Nanti juga kalau sudah di toko pasti merasa baikan, soalnya ada Maya dan anak-anak yang suka bercanda." Aku berusaha menarik tanganku guna menyelesaikan pekerjaanku. Tetapi, lelakiku ini membuatku tidak bisa berkutik lagi."Atau perlu abang temenin di rumah?" ucapnya lembut. Saat kuangkat wajah, teduh tatapan matanya begitu menenangkan jiwa."Abang "kan harus kerja," sahutku manja."Pekerjaan di kantor itu enggak bakalan ada habisnya. Lagian, Abang punya asisten untuk mengatasinya. Sementara mengurus dan memperhatikan istri Abang ini,.tidak bisa diwakilkan pada siapapun." Aku merasakan usapan lembut di pundakku."Iya, tapi Ara enggak apa-apa, kok. Abang pergi kerja aja, ya. Ara juga mau ke toko. Nggak ada tawaran-tawaran lagi." Kutarik paksa tangan yang m
Mataku sontak melebar meski detik berikutnya aku mencoba menormalkan raut wajahku. Supaya tidak terlihat terlalu kaget. Jadi, rupanya Nindy juga sedang hamil?"Jadi, Mbak Nindy sedang hamil lagi?" Kuredakan perasaan kaget dengan sebuah pertanyaan."Iya nih, Mbak Ara. Alhamdulillah aku sedang mengandung anak kedua, mudah-mudahan cowok. Baru jalan delapan minggu. Jadi belum ketahuan jenis kelaminnya." Nindy kembali mengusap perutnya yang masih terlihat rata, sementara senyumnya mengembang sempurna. Mau tidak mau, aku pun ikut tersenyum. "Selamat ya, mudah-mudahan sesuai dengan yang diharapkan, biar jadi sepasang." "Sebenarnya saya sudah pingin hamil lagi sejak kami di Surabaya. Tapi Mas Rey bilang, dia ingin anak keduanya lahir di Bandung. Saya juga nggak ngerti, kenapa Mas Rey se-cinta itu sama Bandung, hingga anak keduanya harus lahir di sini." Nindy menggeleng pelan dengan senyum yang belum terlepas."Bandung memang selalu membuat rindu. Orang yang pernah tinggal di Bandung pasti a
Sampai di rumah, Bang Fyan segera menyiapkan air hangat. Pria itu meletakkan tas kerjanya di atas kasur lalu masuk kamar mandi. Ia pun keluar dan kondisi tangan baju yang sudah dilipat."Kamu berendam dulu, ya, biar biar rileks!" pintanya lembut."Nanti aja, Bang." "Kalau nanti keburu ngantuk, lebih baik sekarang. Atau perlu Abang temenin?" Raut mukanya sontak berubah ketika ia mengucapkan kalimat terakhir. Aku pun tersenyum samar. Bang Fyan begitu baik, menyiapkan segala sesuatunya tanpa kuminta."Abang mau turun, mau bikin minuman hangat. Kamu mandi dulu, ya!" Pria itu pun mengusap lembut pundakku lalu berlalu tanpa berganti pakaian. Tuhan memberiku suami yang nyari sempurna. Tapi sejak awal aku sudah menulis namanya sebagai kakakku. Menyayanginya sebagai saudara. Seluruh hatiku sudah kuserahkan pada pria bernama Rey. Tidak mudah memang untuk mengubah keadaan itu jadi berubah 180 derajat. Selama beberapa tahun ini aku sudah berusaha memaksimalkan peranku sebagai seorang istri dan