"Deuh ... yang habis honeymoon-an dari Surabaya sampai lupa bawa oleh-oleh buat kita." Maya menggerutu ketika aku memasuki toko pagi ini."Namanya juga honeymoon, Mbak. Pasti fokusnya sama yang ono bukan sama oleh-oleh," timpal Iren sambil membersihkan rak pajangan."Kalian ini ngomong apa, sih? Kemarin itu bukan honeymoon, tapi ...." jawabku sambil menaruh tas ke atas meja setengah dilempar."Ya, namanya pengantin baru terus jalan berdua tetap saja judulnya honeymoon," sahut Maya sambil tertawa disusul suara cekikikan Iren dan Rasti."Iya deh, terserah kalian. Asal kalian tahu selama aku ke Surabaya kemarin, aku tersiksa perasaan."Maya mendekat begitupun Iren. Hanya Rasti saja yang tidak ikut-ikutan, mungkin karena dia karyawan baru. Jadi belum begitu akrab dan masih ada rasa sungkan."Memangnya ada apa?" Jiwa kepo Maya langsung meronta.Aku menghela nafas panjang sebelum bersuara. Mengingat aku telah berburuk sangka pada Ajeng dan menyangka yang tidak-tidak pada Bimo."Ih ... Ara .
Pulang dari rumah Mama aku kembali ke toko. Maya dan anak-anak sudah sibuk mengepak barang untuk dikirim ke para pelanggan online-ku. Bicara soal pelanggan online-ku, aku jadi teringat Nindy."May, Nindy masih suka belanja ke sini, enggak?" Entah mengapa pertanyaan itu tiba-tiba muncul dalam otakku."Hem ... kok jadi bahas Nindy?" Maya menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lagi."Ish, kenapa jadi balik nanya?""Santai, Neng. Enggak usah sewot gitu, aku cuma heran saja karena sebelumnya kamu engga pernah peduli dengan nama itu," kekeh Maya."Ck.""Apa karena sekarang sudah tahu kalau dia itu istrinya Rey?""Bisa jadi." Aku membuang nafas berat. Tentang Rey, meski aku sudah membuang nama itu, tetap saja jejak pria berambut gondrong itu masih ada yang tertinggal dalam hatiku."Masih saja dikenang." Meski aku tak melihat wajahnya, tapi aku yakin mimik wajah Maya sedang mencibir."Bukan dikenang. Tapi jejak itu tidak akan terhapus begitu saja. Apalagi nama Rey pernah begitu kuat menancap
"Kalau enggak enak badan, enggak usah ke toko. Di rumah saja, istirahat." Bang Fyan mendekat, membuat gerakanku yang sedang mempersiapkan bekal untuknya terpaksa berhenti, lantaran tanganku diraihnya. "Ara enggak apa-apa, kok, Bang. Nanti juga kalau sudah di toko pasti merasa baikan, soalnya ada Maya dan anak-anak yang suka bercanda." Aku berusaha menarik tanganku guna menyelesaikan pekerjaanku. Tetapi, lelakiku ini membuatku tidak bisa berkutik lagi."Atau perlu abang temenin di rumah?" ucapnya lembut. Saat kuangkat wajah, teduh tatapan matanya begitu menenangkan jiwa."Abang "kan harus kerja," sahutku manja."Pekerjaan di kantor itu enggak bakalan ada habisnya. Lagian, Abang punya asisten untuk mengatasinya. Sementara mengurus dan memperhatikan istri Abang ini,.tidak bisa diwakilkan pada siapapun." Aku merasakan usapan lembut di pundakku."Iya, tapi Ara enggak apa-apa, kok. Abang pergi kerja aja, ya. Ara juga mau ke toko. Nggak ada tawaran-tawaran lagi." Kutarik paksa tangan yang m
Mataku sontak melebar meski detik berikutnya aku mencoba menormalkan raut wajahku. Supaya tidak terlihat terlalu kaget. Jadi, rupanya Nindy juga sedang hamil?"Jadi, Mbak Nindy sedang hamil lagi?" Kuredakan perasaan kaget dengan sebuah pertanyaan."Iya nih, Mbak Ara. Alhamdulillah aku sedang mengandung anak kedua, mudah-mudahan cowok. Baru jalan delapan minggu. Jadi belum ketahuan jenis kelaminnya." Nindy kembali mengusap perutnya yang masih terlihat rata, sementara senyumnya mengembang sempurna. Mau tidak mau, aku pun ikut tersenyum. "Selamat ya, mudah-mudahan sesuai dengan yang diharapkan, biar jadi sepasang." "Sebenarnya saya sudah pingin hamil lagi sejak kami di Surabaya. Tapi Mas Rey bilang, dia ingin anak keduanya lahir di Bandung. Saya juga nggak ngerti, kenapa Mas Rey se-cinta itu sama Bandung, hingga anak keduanya harus lahir di sini." Nindy menggeleng pelan dengan senyum yang belum terlepas."Bandung memang selalu membuat rindu. Orang yang pernah tinggal di Bandung pasti a
Sampai di rumah, Bang Fyan segera menyiapkan air hangat. Pria itu meletakkan tas kerjanya di atas kasur lalu masuk kamar mandi. Ia pun keluar dan kondisi tangan baju yang sudah dilipat."Kamu berendam dulu, ya, biar biar rileks!" pintanya lembut."Nanti aja, Bang." "Kalau nanti keburu ngantuk, lebih baik sekarang. Atau perlu Abang temenin?" Raut mukanya sontak berubah ketika ia mengucapkan kalimat terakhir. Aku pun tersenyum samar. Bang Fyan begitu baik, menyiapkan segala sesuatunya tanpa kuminta."Abang mau turun, mau bikin minuman hangat. Kamu mandi dulu, ya!" Pria itu pun mengusap lembut pundakku lalu berlalu tanpa berganti pakaian. Tuhan memberiku suami yang nyari sempurna. Tapi sejak awal aku sudah menulis namanya sebagai kakakku. Menyayanginya sebagai saudara. Seluruh hatiku sudah kuserahkan pada pria bernama Rey. Tidak mudah memang untuk mengubah keadaan itu jadi berubah 180 derajat. Selama beberapa tahun ini aku sudah berusaha memaksimalkan peranku sebagai seorang istri dan
Fyan meletakkan ponselnya ketika mendengar suara mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Hari minggu ini pemuda berpostur tegap itu tidak kemana-mana. Selain karena harus menemani Ara mengerjakan skripsinya, ia juga mendapatkan kabar kalau teman dekat sewaktu kuliah dulu akan berkunjung ke sini. Hampir dua tahun Fyan tidak bertemu dengan Rey. Saat itu selepas kuliah, mereka sama-sama menjadi pekerjaan di sebuah perusahaan. Keduanya diterima meski bekerja di divisi yang berbeda. Baik Fyan maupun Rey, sebenarnya bisa saja bekerja di kantor orang tua masing-masing tanpa harus melalui tes atau perjuangan lainnya.Akan tetapi, keduanya bersikeras melamar pekerjaan di perusahaan orang lain dengan meninggalkan identitas orang tuanya sebagai pengusaha sukses. Ingin merasakan bagaimana susahnya mencari pekerjaan, keduanya pun akhirnya bekerja di perusahaan orang lain selama kurang lebih satu tahun. Setelah dirasa punya pengalaman yang cukup, keduanya akhirnya memutuskan kembali ke perusahaan o
Untuk beberapa saat, gadis itu hanya menatap ke arah Rey."Ditanya malah bengong!" Fyan mengibaskan telapak tangannya di depan wajah Ara lantaran melihat gadis itu tak bereaksi apapun."Eh, iya. Alhamdulillah baik. Bang Rey sendiri gimana?' jawab Ara dengan suara bergetar serta salah tingkah. Dalam hatinya merasa malu khawatir kalau Rey sadar dirinya gugup.Fyan mengalihkan pandangan. Melihat gadis itu salah tingkah, tiba-tiba ada rasa tidak enak dalam hatinya, meskipun dia belum tahu pasti penyebabnya."Alhamdulillah baik. Kalau nggak, mana bisa ke sini. Gimana kuliahnya, Ra?" Rey adalah pria yang pandai dalam hal komunikasi. Makanya ia bisa membaca situasi dan melanjutkan basa-basinya."Lagi pusing-pusingnya Bang, nyusun skripsi," sahut Ara sambil menunjuk layar laptop yang ada di hadapannya."Kan ada Fyan. Suruh aja dia yang ngerjain," lanjut Rey sembari menaikkan kedua alisnya, kemudian melirik ke arah Fyan yang tengah menghempaskan tubuhnya di sofa."Yang kuliah 'kan Ara. Masa g
"Berangkat sekarang?" tanya Fyan sambil melirik ke arah Rey. Raut wajah yang semula berubah jadi kembali tenang, lebih tepatnya berusaha dibuat tenang."Ayo. Lagian ini sudah memasuki jam makan siang. Kalau kita tidak gercep, pasti tidak akan kebagian tempat duduk." Melihat hal yang tidak biasa pada raut sahabatnya itu, Rey sontak bangkit. Dirinya semakin yakin kalau Fyan memang punya perasaan yang istimewa pada Ara.Keduanya lalu keluar setelah berpamitan pada Bunda. Sementara Ara tidak banyak bicara, gadis itu mengekor dua pemuda yang berjalan di depannya.Di dalam mobil pun, Ara tetap berdiam diri. Dia yang duduk di kursi belakang hanya menyimak obrolan dua pemuda di barisan depan.Rey kerap mengomentari tempat-tempat yang mereka lalui. Tempat di mana dulu dia dan Fyan menghabiskan waktu bersama sewaktu kuliah dulu. Ara jadi menyimpulkan, meski Fyan mengaku tidak bersahabat dengan Rey, tetapi yakin kalau keduanya cukup dekat terutama bagi Fyan yang sudah jelas tidak punya banyak t