"Berangkat sekarang?" tanya Fyan sambil melirik ke arah Rey. Raut wajah yang semula berubah jadi kembali tenang, lebih tepatnya berusaha dibuat tenang."Ayo. Lagian ini sudah memasuki jam makan siang. Kalau kita tidak gercep, pasti tidak akan kebagian tempat duduk." Melihat hal yang tidak biasa pada raut sahabatnya itu, Rey sontak bangkit. Dirinya semakin yakin kalau Fyan memang punya perasaan yang istimewa pada Ara.Keduanya lalu keluar setelah berpamitan pada Bunda. Sementara Ara tidak banyak bicara, gadis itu mengekor dua pemuda yang berjalan di depannya.Di dalam mobil pun, Ara tetap berdiam diri. Dia yang duduk di kursi belakang hanya menyimak obrolan dua pemuda di barisan depan.Rey kerap mengomentari tempat-tempat yang mereka lalui. Tempat di mana dulu dia dan Fyan menghabiskan waktu bersama sewaktu kuliah dulu. Ara jadi menyimpulkan, meski Fyan mengaku tidak bersahabat dengan Rey, tetapi yakin kalau keduanya cukup dekat terutama bagi Fyan yang sudah jelas tidak punya banyak t
"Kok, pada diem?" tanya Ara sambil menatap keduanya secara bergantian. Sadar kalau Ara menyadari, Rey pun mengusap tengkuknya perlahan sambil tersenyum miring."Kan lagi makan, masa sambil lari-lari," jawab Rey sambil tersenyum kaku. Kemudian ia melirik Fyan. Pemuda itu tidak ada tanda-tanda akan berbicara, dia asik mengaduk-aduk soto yang masih tersisa separuhnya.Ara mengangkat bahunya sambil duduk di tempat semula. "Ya bukan begitu juga, Bang. Maksudnya, 'kan biasanya kalian asik ngobrol," sahut Ara lagi sambil menggeser mangkok soto yang sama sekali belum disentuhnya keburu kebelet ke belakang."Kalau makan jangan sambil bicara. Habiskan sotomu, setelah itu kita pulang," ucap Fyan lembut sambil terus menyuap, pemuda itu sama sekali tidak mau melirik ke arah adik angkatnya."Lho, kok, buru-buru, Bang. Habis makan nggak jalan dulu, ya?" Ara menatap wajah pria di sampingnya, sementara tangannya masih sibuk mengaduk."Kamu 'kan lagi ngerjain skripsi, nanti kalau kita jalan, pulangny
"Bunda! Bang Fyan sudah punya pacar!" teriak Ara tiba-tiba membuat Fyan sontak melebarkan bola matanya."Jangan berisik!" ucapnya kemudian sambil tetap melebarkan bola matanya. Tetapi, gadis itu tidak terpengaruh oleh sikap Fyan yang sedikit mengintimidasi itu. "Bunda! Bang Fyan chating sambil senyum-senyum sendiri!"Ara berteriak kembali. Kali ini dia tidak mau menoleh ke arah Fyan karena tahu apa yang sedang dilakukan pria itu.Fyan pun hanya mencebik mendengar ucapan Ara yang ditujukan pada Bunda. Seandainya dia punya keberanian untuk mengatakan bahwa dirinya memang sedang jatuh cinta dan gadis yang berada di hadapannya itu adalah alasan kenapa Fyan semyum-ssnyum sendiri. Tetapi semua itu hanya bisa Fyan katakan dalam hati, ia tidak mau mengambil resiko dijauhi gadis itu hanya karena kejujurannya."Ada apa, sih, kalian ribut-ribut?" Bunda muncul di balik pintu. Bukan hal yang aneh sebenarnya mendengar dua remaja ini terlibat perdebatan ataupun percekcokan."Ada yang aneh dari Ban
Pulang dari rumah Fyan, Rey langsung ke rumah lalu masuk kamar. Pemuda itu tidak pergi kemana-mana seperti yang dia katakan tadi pada Fyan dan Ara. Itu hanya alasannya untuk berpamitan.Pemuda dengan rambut sedikit gondrong itu menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang berukuran besar di dalam kamarnya yang mewah. Pikirannya tak lepas dari sahabatnya. Rey yakin pria bernama lengkap Sofyan Daud itu memiliki perasaan lebih kepada gadis bernama Ara. Gadis yang sebenarnya membuat Rey juga pangling, lantaran dulu sewaktu dirinya berpamitan ke Surabaya, Ara masih terlihat ke-kanakan dan lugu.'Kenapa si Fyan tidak punya keberanian untuk mengatakan perasaannya pada Ara?' Gumam Rey sambil mengubah posisi tidurnya, dari terlentang menjadi miring ke kanan'Aku harus membantu mereka. Fyan bukan tipe benda yang mudah diatur, tetapi aku punya cara lain untuk membuatnya mau mengakui perasaannya. Tunggu saja, kurang dari satu bulan, lu akan jadian dengan Ara.' Rey bangkit kemudian berjalan menuju kama
Hari ini ayah Daud pulang, setelah selama 10 hari berada di Surabaya. Ada masalah di anak cabang perusahaannya yang perlu diselesaikan. Akan tetapi, kedatangan Ayah membawa kabar yang kurang menyenangkan, khususnya bagi Fyan. "Ayah memutuskan kalau kita akan pindah ke Surabaya," ucap Ayah tenang."Jadi selama 10 hari ini belum selesai, Yah?" tanya Bunda sambil meletakkan cangkir yang berisi teh hangat di hadapan Ayah yang baru saja selesai membersihkan diri. Mereka tengah berkumpul di ruang keluarga."Perlu waktu lebih dari 10 hari, Bun. Kalau harus bolak-balik, Ayah tidak sanggup. Berhubung kondisi Ayah yang sudah tua, jadi ayah memutuskan kita akan pindah ke Surabaya. Termasuk kamu Fyan." Ayah beralih pada anak bungsunya."Tapi, Yah." Fyan mengangkat wajah. Jujur saja untuk menuruti Ayah supaya pindah ke Surabaya, hatinya menolak mentah-mentah."Tapi apa?""Fyan nggak bisa.""Kamu itu masih perlu bimbingan, sementara Ayah harus tinggal di Surabaya. Malahan nanti di sana kamu bisa b
"Tenang saja. Bu Daud tidak perlu khawatir, Fyan dan Ara itu seperti perangko dan surat, tidak bisa dipisahkan apa pun yang terjadi. Jadi akan lebih mudah menjaga mereka secara bersamaan.""Alasan itulah yang membuat saya tidak begitu khawatir meninggalkan Fyan di sini sendirian. Selain dia sudah dewasa, saya juga percaya kalau Bu Baskara bisa menjaganya." Bunda tersenyum optimis."Tenang saja, Bu Daud, Nak Fyan sudah saya anggap sebagai anak saya sendiri." "Saya juga sebenarnya tidak mau pergi dari sini. Tapi bagaimana, ya, Ayahnya harus menyelesaikan masalah di Surabaya dan katanya itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Sebagai seorang istri l, saya tidak bisa jauh darinya.""Saya mengerti, Bu Daud. Urusan Fyan di sini percayakan sama saya."Keduanya lalu tersenyum. Setelah itu bunda Fatimah berpamitan karena masih harus mempersiapkan mengemas barang-barang. Meskipun tidak semua barang akan dibawa, hanya pakaian dan beberapa barang penting yang muat di mobil. Bunda Fatimah dan Ay
Sore itu juga Rey terbang ke Surabaya. Kerinduannya pada gadis bernama Nindy tidak bisa ditunda lagi. Acara lamaran itu sendiri akan berlangsung besok malam di kediaman rumah orang tua Nindy, tetapi Rey memilih berangkat lebih awal. Nindy menolak mengadakan pesta yang mewah di ballroom hotel meski awalnya Rey mengusulkan seperti itu. Tetapi Nindy mengatakan sayang uangnya. Hal itulah yang membuat Rey yakin bahwa dia adalah calon istri sekaligus ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak.Nindy yang cantik berkulit putih, mampu membuat petualangan cinta Rey berhenti. Lebih dari setahun ini mereka menjalin hubungan. Didorong oleh rasa tidak ingin kehilangan,. Rey memutuskan untuk melamar gadis itu. Sebenarnya Rey ingin langsung menikah, namun Nindy menolak. Alasannya karena memang studinya belum selesai. Gadis itu merupakan mahasiswi tingkat akhir sebuah universitas ternama di Surabaya. Boleh dibilang Nindy dan Ara ini seumuran. [Aku kangen. Apa bisa kita bertemu sekarang?]Tulis Rey mal
Keesokan harinya, sesuai dengan permintaan Ara, Fyan tidak menunggu gadis itu untuk pergi ke kampus bersama dengannya. Padahal Fyan tahu hari ini jadwal Ara bertemu dosen pembimbing pagi hari. Pemuda itu hanya ingin tidak membuat Ara tertekan. Kebetulan ketika Fyan bersiap-siap berangkat dan sudah ada di dalam mobil. Kendaraan gadis itu pun keluar dari pekarangan rumahnya dan melintas melewati pintu pagar rumah Fyan. Karena takut terlambat, Fyan pun melajukan kendaraannya di belakang mobil yang dikendarai oleh Ara. Hingga teleponnya berdering dan gadis itu menelepon."Kan sudah Ara bilang kalau hari ini Ara pergi sendirian. Jadi Abang tidak usah membuntuti!"Fyan meminjamkan matanya, gadis itu salah paham. Sama sekali Fyan tidak bermaksud membuntutinya, hanya saja, kebetulan mereka berangkat secara bersamaan."Kamu salah paham, Ra.Abang nggak membuntuti kamu, kok.""Kalau Abang tidak mengikuti Ara, kenapa mobil Abang ada di belakang mobil Ara?!"Kali ini Fyan menepuk keningnya sendiri