Pulang dari rumah Fyan, Rey langsung ke rumah lalu masuk kamar. Pemuda itu tidak pergi kemana-mana seperti yang dia katakan tadi pada Fyan dan Ara. Itu hanya alasannya untuk berpamitan.Pemuda dengan rambut sedikit gondrong itu menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang berukuran besar di dalam kamarnya yang mewah. Pikirannya tak lepas dari sahabatnya. Rey yakin pria bernama lengkap Sofyan Daud itu memiliki perasaan lebih kepada gadis bernama Ara. Gadis yang sebenarnya membuat Rey juga pangling, lantaran dulu sewaktu dirinya berpamitan ke Surabaya, Ara masih terlihat ke-kanakan dan lugu.'Kenapa si Fyan tidak punya keberanian untuk mengatakan perasaannya pada Ara?' Gumam Rey sambil mengubah posisi tidurnya, dari terlentang menjadi miring ke kanan'Aku harus membantu mereka. Fyan bukan tipe benda yang mudah diatur, tetapi aku punya cara lain untuk membuatnya mau mengakui perasaannya. Tunggu saja, kurang dari satu bulan, lu akan jadian dengan Ara.' Rey bangkit kemudian berjalan menuju kama
Hari ini ayah Daud pulang, setelah selama 10 hari berada di Surabaya. Ada masalah di anak cabang perusahaannya yang perlu diselesaikan. Akan tetapi, kedatangan Ayah membawa kabar yang kurang menyenangkan, khususnya bagi Fyan. "Ayah memutuskan kalau kita akan pindah ke Surabaya," ucap Ayah tenang."Jadi selama 10 hari ini belum selesai, Yah?" tanya Bunda sambil meletakkan cangkir yang berisi teh hangat di hadapan Ayah yang baru saja selesai membersihkan diri. Mereka tengah berkumpul di ruang keluarga."Perlu waktu lebih dari 10 hari, Bun. Kalau harus bolak-balik, Ayah tidak sanggup. Berhubung kondisi Ayah yang sudah tua, jadi ayah memutuskan kita akan pindah ke Surabaya. Termasuk kamu Fyan." Ayah beralih pada anak bungsunya."Tapi, Yah." Fyan mengangkat wajah. Jujur saja untuk menuruti Ayah supaya pindah ke Surabaya, hatinya menolak mentah-mentah."Tapi apa?""Fyan nggak bisa.""Kamu itu masih perlu bimbingan, sementara Ayah harus tinggal di Surabaya. Malahan nanti di sana kamu bisa b
"Tenang saja. Bu Daud tidak perlu khawatir, Fyan dan Ara itu seperti perangko dan surat, tidak bisa dipisahkan apa pun yang terjadi. Jadi akan lebih mudah menjaga mereka secara bersamaan.""Alasan itulah yang membuat saya tidak begitu khawatir meninggalkan Fyan di sini sendirian. Selain dia sudah dewasa, saya juga percaya kalau Bu Baskara bisa menjaganya." Bunda tersenyum optimis."Tenang saja, Bu Daud, Nak Fyan sudah saya anggap sebagai anak saya sendiri." "Saya juga sebenarnya tidak mau pergi dari sini. Tapi bagaimana, ya, Ayahnya harus menyelesaikan masalah di Surabaya dan katanya itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Sebagai seorang istri l, saya tidak bisa jauh darinya.""Saya mengerti, Bu Daud. Urusan Fyan di sini percayakan sama saya."Keduanya lalu tersenyum. Setelah itu bunda Fatimah berpamitan karena masih harus mempersiapkan mengemas barang-barang. Meskipun tidak semua barang akan dibawa, hanya pakaian dan beberapa barang penting yang muat di mobil. Bunda Fatimah dan Ay
Sore itu juga Rey terbang ke Surabaya. Kerinduannya pada gadis bernama Nindy tidak bisa ditunda lagi. Acara lamaran itu sendiri akan berlangsung besok malam di kediaman rumah orang tua Nindy, tetapi Rey memilih berangkat lebih awal. Nindy menolak mengadakan pesta yang mewah di ballroom hotel meski awalnya Rey mengusulkan seperti itu. Tetapi Nindy mengatakan sayang uangnya. Hal itulah yang membuat Rey yakin bahwa dia adalah calon istri sekaligus ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak.Nindy yang cantik berkulit putih, mampu membuat petualangan cinta Rey berhenti. Lebih dari setahun ini mereka menjalin hubungan. Didorong oleh rasa tidak ingin kehilangan,. Rey memutuskan untuk melamar gadis itu. Sebenarnya Rey ingin langsung menikah, namun Nindy menolak. Alasannya karena memang studinya belum selesai. Gadis itu merupakan mahasiswi tingkat akhir sebuah universitas ternama di Surabaya. Boleh dibilang Nindy dan Ara ini seumuran. [Aku kangen. Apa bisa kita bertemu sekarang?]Tulis Rey mal
Keesokan harinya, sesuai dengan permintaan Ara, Fyan tidak menunggu gadis itu untuk pergi ke kampus bersama dengannya. Padahal Fyan tahu hari ini jadwal Ara bertemu dosen pembimbing pagi hari. Pemuda itu hanya ingin tidak membuat Ara tertekan. Kebetulan ketika Fyan bersiap-siap berangkat dan sudah ada di dalam mobil. Kendaraan gadis itu pun keluar dari pekarangan rumahnya dan melintas melewati pintu pagar rumah Fyan. Karena takut terlambat, Fyan pun melajukan kendaraannya di belakang mobil yang dikendarai oleh Ara. Hingga teleponnya berdering dan gadis itu menelepon."Kan sudah Ara bilang kalau hari ini Ara pergi sendirian. Jadi Abang tidak usah membuntuti!"Fyan meminjamkan matanya, gadis itu salah paham. Sama sekali Fyan tidak bermaksud membuntutinya, hanya saja, kebetulan mereka berangkat secara bersamaan."Kamu salah paham, Ra.Abang nggak membuntuti kamu, kok.""Kalau Abang tidak mengikuti Ara, kenapa mobil Abang ada di belakang mobil Ara?!"Kali ini Fyan menepuk keningnya sendiri
Selesai mengantarkan teman-temannya, Ara langsung pulang. Begitu memarkirkan mobil di garasi rumahnya, arah tidak langsung masuk. Gadis itu kembali keluar dari pintu pagar menuju rumah Fyan. Waktu sudah menunjukkan hampir jam 08.00 malam, Ara yakin kalau saat ini Fyan sudah ada di rumah.Akan tetapi, gadis itu heran ketika melihat mobil Fyan tidak terparkir di sana. Tidak mau banyak bertanya-tanya, ia pun langsung memencet bel. Tak berapa lama Bi Nining membukakan pintu."Eh, Neng Ara?! Tumben-tumbenan, Bang Fyan-nya ke mana?" Setahu Bi Nining, Ara dan Fyan selalu berangkat dan pulang bersamaan, makanya wanita paruh baya itu bertanya seperti itu."Beberapa hari ini aku tidak pergi bersama Bang Fyan." "Oh ... begitu, ya?""Jadi, Bang Fyan nggak ada di rumah, Bi? Padahal aku pengen ketemu." Ara celingukan, meskipun ia tahu mobil pria itu tidak ada di depan. Siapa tahu Fyan pulang dengan taksi dan mobilnya bermasalah."Iya, belum pulang. Dari tadi pagi."Ara menghela panjang lalu mengel
Hampir semalaman, baik Fyan maupun Rey, tidak bisa memejamkan mata. Keduanya larut dalam suasana hati yang gelisah. Rey tidak menduga niatnya untuk memancing Fyan malah berujung dengan hal yang sangat tidak diinginkan. 'Kenapa dulu aku hanya kepikiran cara itu? Kenapa tidak mencoba cara lain yang tidak beresiko? Aku pikir dia akan terpancing karena takut kehilangan Ara dan tidak rela gadis itu jatuh ke tangan orang lain. Ternyata prediksiku salah. Terus kalau sudah begini, apa yang harus kulakukan? Tidak mungkin aku berterus-terang pada Fyan kalau aku pura-pura mendekati Ara hanya untuk memancing dirinya. Dia akan semakin marah padaku. Tidak mungkin juga aku mengatakan kalau sudah bertunangan dengan Nindy.'Berkali-kali Rey meyibak selimut lalu duduk di tepi ranjang. Berjalan mondar-mandir, menyibak tirai jendela kamarnya dan memperhatikan suasana di luar yang gelap. Melihat ke bawah, ke arah jalan raya yang tidak jauh dari rumahnya. Dari padat hingga lengang sampai padat lagi, Rey m
Setahu Fyan, dalam seminggu ini, Rey tiga kali mengantarkan Ara. Itu artinya mereka jalan bareng sebanyak tiga kali. Yang jelas selama seminggu ini, Ara tidak pernah berkunjung ke rumah Fyan, tidak ada menelepon juga. Intinya tidak ada komunikasi. Hingga sore ini, Mama menghubungi Fyan. "Aku masih di kantor, Ma. Memangnya ada apa?" tanya Fyan pada wanita yang sudah dianggap sebagai ibunya itu. Mama bertanya tentang keberadaan Fyan."Sebenarnya Mama pengen ketemu sama kamu, tapi kamu kenapa nggak ke rumah-rumah?""Maaf, Ma. Fyan lagi sibuk di kantor, jadi nggak sempet ke rumah mama.""Nggak apa-apa kalau kamu sibuk. Mama takutnya kamu lagi berantem sama Ara, soalnya Ara juga nggak pernah ngebahas kamu. Biasanya sebentar sebentar dia ngomongin Bang Fyan, tapi sekarang, kok, enggak.""Fyan sama Ara gak kenapa-kenapa, kok, Ma. Fyan benar-benar sibuk dan Ara juga sibuk ngerjain skripsi 'kan.""Tapi .... ""Tapi apa, Ma?" Fyan bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju jendela ruangan kan