“Kalau kamu marah sama Ayah, jangan pernah lampiaskan kemarahan kamu sama makanan. Apa kamu tidak ingat, dulu kecil kepingin makan bolu seperti itu saja Ayah harus berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan uang untuk membelinya. Apa kamu lupa kalau dulu kita sering menahan lapar karena nggak punya makanan sama sekali, Kevin? Jangan karena sekarang sudah hidup berkecukupan kamu bisa seenaknya memubazirkan makanan. Ayah paling tidak suka!” “Kalau Ayah ke sini Cuma mau ceramah mendingan pulang saja. Aku nggak butuh ceramah Ayah. Aku maunya bebas dari penjara dan bisa menikmati hidup.”“Ayah tidak bisa membebaskan kamu, Nak. Kamu bersalah dan harus dihukum, supaya kamu jera dan bisa menyadari kesalahan kamu. Lembutkan hati kamu, Kevin. Jadilah laki-laki yang baik, karena kamu itu seorang pemimpin di keluarga kamu. Apalagi sebentar lagi Lisa melahirkan dan kamu akan menjadi seorang Ayah!”Kevin beranjak dari duduknya, mencengkeram erat kerah baju Sadewa seraya menatap wajah ayahnya dengan
“Kamu mau ngapain datang ke sini?” tanya Kevin tanpa ekspresi.“Mau nengokin anak Mama, lah. Kangen.” Veronika menghampiri putranya, mengusap lembut pipi Kevin, namun, dengan kasar pria berkaus hitam itu menepis tangan ibunya.“Kangen? Baru sekarang kamu bilang kangen sama aku? Dari dulu ke mana aja?”“Vin, tolong jangan dengerin omongan Adit, Sayang. Semua yang dia ucapkan itu tidak benar. Bohong. Mama itu selalu menyayangi kamu dan bahkan terus berjuang untuk mendapatkan hak asuh kalian berdua. Kamu jangan ikut-ikutan seperti Ica. Membenci Mama tanpa alasan yang jelas, hanya karena mendengar omongan segelintir orang saja!”“Memperjuangkan? Apanya yang diperjuangkan, Nyonya Vero? Apa kamu nggak ingat saat aku datang ke istana kamu dan memohon ingin bertemu, tapi dengan congkaknya kamu mengusir aku dari rumah kamu. Aku tidak pernah lupa dengan itu, Nyonya. Bahkan kamu juga selalu menyuruh aku dan Kak Ica manggil kamu nyonya saat bertemu di jalan.Sekarang, setelah tau Ayah kaya dan hu
“Maaf, Sayang. Aku tadi udah lelah banget. Makanya langsung tidur.” Sadewa menggeser tubuhnya lebih mendekat, mendekap badan mungil Sania dan mengusap lembut rambutnya yang tergerai.“Lagian, tau bininya nggak bisa tidur kalau nggak dipeluk, malah dicuekin.”“Iya bumilku. Maaf.”Dalam keremangan kamar Sadewa menatap wajah istrinya yang sudah mulai tertidur, menerbitkan senyuman kala mengingat saat pertama dia meminta haknya kepada Sania dan wajah perempuan itu memerah luar biasa. Apalagi ketika dia menciumnya untuk pertama kali, respons malu-malunya tidak pernah dia lupa hingga saat ini.Ada rasa bangga serta bahagia tersendiri karena dia memang yang mempertamai Sania. Bahkan dari bahasa tubuh Sania yang terlihat kaku serta sedikit ketakutan, menandakan kalau perempuan itu memang belum pernah bersentuhan dengan lawan jenis.“Aku mencintai kamu, Sayang. Maaf karena belum bisa membahagiakan kamu. Tapi aku berjanji, tidak akan melukai hati kamu dan akan selalu menjaga kamu semampuku, hin
“Ma—maksud Si Mbok, susah dihubungi!” ralat Darmi tergagap, membuat Clarissa bertambah curiga terhadap perempuan berkulit hitam manis yang ada di hadapannya.“Ya sudah, Mbok. Aku jalan lagi. Apa Mbok aja yang mau belanja. Mbok kan setiap hari di rumah. Jarang-jarang keluar. Siapa tau pengen refreshing.”Darmi terlihat berpikir.“Boleh deh kalo Neng Ica mengizinkan. Nanti dicatat aja apa yang mau dibeli, biar si Mbok nggak keder. Sekalian Mbok mau main ke rumah temen boleh, Neng?”“Silakan, Mbok. Nginep juga boleh.”Clarissa meletakkan Angel di sofa, mencatat apa yang hendak di beli sambil menunggu Darmi siap-siap.“Nanti kunci dari dalam saja rumahnya, Neng. Takut si Mbok pulangnya malam.”Clarissa menerbitkan senyuman, berusaha sebiasa mungkin terhadap Darmi.[Sen, lo bica pasang CCTV di rumah gue sekarang, gak? Tapi lo diem-diem aja. Jangan sampe ada yang tau.]Perempuan dengan postur tubuh tinggi semampai itu segera mengirimkan pesan kepada salah seorang teman kuliahnya, ingin mema
“Saya hanya menjalankan tugas, Pak. Dan saya tidak terlibat!” ucap sang driver bertambah ketakutan.“Saya tidak menuduh Bapak terlibat. Cuma saya mau minta alamat rumah atau kantor tempat Bapak mengambil paket tersebut, sebab saya penasaran, siapa sebenarnya orang yang berani meneror istri saya. Saya janji tidak akan melibatkan Bapak dalam kasus ini, dan akan memberikan apa saja yang Bapak minta asalkan Bapak mau membantu.”“Nama jalannya saya lupa, tapi saya masih ingat rutenya. Kalau Bapak mau nanti saya anter ke sana, tapi beneran ya, Pak, jangan libatkan saya.”“Bapak tenang saja. Oh, iya. Bapak mau makan apa, biar saya pesankan makanan.”“Apa saja, Pak. Terserah Bapak.”Sang pemilik perusahaan ekspor impor daging itu akhirnya memesankan menu yang sama seperti yang tengah ia nikmati.Selesai makan, sopir ojek yang pernah mengantar paket berisi boneka bersimbah darah itu mengantar Sadewa ke rumah yang dimaksud, lalu pamit pergi karena merasa takut.“Terima kasih, Pak. Kalau butuh s
Dia terus saja memantau rekaman CCTV melihat sang asisten rumah tangga berlalu pergi meninggalkan rumah.Menggendong Angel yang sedang terlelap, Clarissa segera keluar dari kamar dan mengintip dari balik tirai memastikan kalau asisten rumah tangganya telah keluar dan segera mengikuti Darmi.Mata perempuan berambut ikal itu menyipit ketika mobil taksi yang Darmi tumpangi menepi di depan sebuah rumah, dan dari balik kaca mobil ia melihat asisten rumah tangganya sedang berbicara dengan seorang lelaki bertubuh tinggi besar.Kenapa jadi banyak sekali teka-teki? Sebenarnya siapa kamu, Mbok. Kenapa di dalam rumah kamu terlihat polos dan selalu berdandan sederhana, sedangkan saat di luar kamu tidak kalah cetar dandanannya dari Mama.Tidak lama kemudian sebuah mobil Honda jazz berwarna merah berhenti tidak jauh dari tempatnya memarkirkan kendaraan, Clarissa kembali dikejutkan karena ternyata justru ibunya yang keluar dari mobil tersebut, membuat Darmi langsung menatap Veronika dengan pindaian
“Ya Allah, Ayah. Tolong angkat teleponnya.” Clarissa terus saja berusaha menghubungi Sadewa, akan tetapi masih tetap saja tidak ada jawaban.“Neng, neng Ica!” Tok! Tok! Tok!Terdengar suara Darmi mengetuk pintu, membuat perempuan berambut ikal itu semakin disemuti rasa takut.Dengan erat dia memeluk Angel, berharap malam segera berlalu dan bisa segera keluar dari rumah.Lamat-lamat terdengar suara sang Muadzin mengumandangkan azan subuh. Sania membuka mata perlahan, menyibak selimut lalu duduk di tepi tempat tidur seraya mengumpulkan informasi yang dia bawa dari alam mimpi.“Sudah bangun, Bunda Cantik?” tanya Sadewa seraya menggosok rambutnya yang basah dan menatap wajah istrinya.“Ayah mau ke masjid apa salat di rumah?”“Di rumah aja, Sayang. Nggak tau perasaan Ayah nggak enak banget dari semalam. Kepikiran Ica sama Enjel. Habis salat Ayah ke rumah langsung ya? Mau nengokin mereka.”Sania menjawab dengan anggukan kepala, segera beranjak dari duduknya dan lekas membasuh tubuh di kamar
Sadewa segera menghentikan laju mobilnya, mengikuti mobil yang tengah ditumpangi oleh si perempuan hingga menepi di depan rumah kemarin.Darmi, apa itu benar-benar kamu? Tapi, kenapa kamu terlihat berbeda? Dan, kalau dia memang Darmi asisten rumah tanggaku, ke mana Ica dan Enjel? Sadewa bertanya sendiri dalam hati, sembari terus mengintai rumah perempuan tersebut.“Sapror! Segera ke tempat kemarin sekarang juga dan bawa anak buah. Jangan datang sendiri,” perintah lelaki dengan rahang tegas itu kepada salah seorang anak buahnya melalui sambungan telepon.“Siap, Bos. Saya segera meluncur!” jawab Sapror.Pria bertubuh tegap itu memutuskan sambungan telepon, duduk dengan gelisah menunggu para anak buahnya datang ingin memastikan kalau wanita yang berada di dalam rumah tersebut bukan Darmi—Asisten Rumah Tangganya.Setelah menunggu beberapa puluh menit akhirnya mobil hitam milik orang suruhan Sadewa menepi di belakang mobil miliknya.Buru-buru Sadewa keluar, menyuruh anak buahnya standby di