Sadewa segera menghentikan laju mobilnya, mengikuti mobil yang tengah ditumpangi oleh si perempuan hingga menepi di depan rumah kemarin.Darmi, apa itu benar-benar kamu? Tapi, kenapa kamu terlihat berbeda? Dan, kalau dia memang Darmi asisten rumah tanggaku, ke mana Ica dan Enjel? Sadewa bertanya sendiri dalam hati, sembari terus mengintai rumah perempuan tersebut.“Sapror! Segera ke tempat kemarin sekarang juga dan bawa anak buah. Jangan datang sendiri,” perintah lelaki dengan rahang tegas itu kepada salah seorang anak buahnya melalui sambungan telepon.“Siap, Bos. Saya segera meluncur!” jawab Sapror.Pria bertubuh tegap itu memutuskan sambungan telepon, duduk dengan gelisah menunggu para anak buahnya datang ingin memastikan kalau wanita yang berada di dalam rumah tersebut bukan Darmi—Asisten Rumah Tangganya.Setelah menunggu beberapa puluh menit akhirnya mobil hitam milik orang suruhan Sadewa menepi di belakang mobil miliknya.Buru-buru Sadewa keluar, menyuruh anak buahnya standby di
“Kenapa mencurigai dia?” Aditya menatap wajah sahabatnya yang semakin terlihat awet muda serta penuh kharisma.Sadewa menyodorkan ponselnya, menyuruh Aditya melihat video yang dikirimkan oleh Sapror kemarin.“Saya juga sedang berusaha membuka ponsel Clarissa. Kemarin anggota juga nemu satu unit CCTV tergeletak di depan rumah kamu,” kata Aditya kemudian.“Apa sudah ada kabar tentang Ica, Dit? Aku benar-benar tidak bisa tenang jika dia belum ditemukan.”“Belum. Tapi kami mencurigai ada orang lain masuk ke dalam rumah kamu. Mungkin dia penjahat sebenarnya, atau bisa jadi justru dia yang menyelamatkan Clarissa. Kami juga sedang menyusuri setiap rumah sakit di kota ini untuk mencari keberadaan putri kamu karena kemungkinan dia terluka. Kita berdoa saja semoga segera mendapatkan kabar baik tentang Ica dan cucu kamu.”Sadewa mengangguk serta mengaminkan.Mobil lelaki berparas tampan itu menepi di parkiran sebuah rumah sakit. Buru-buru dia dan Aditya turun, berjalan menuju unit gawat darurat
Sadewa menguyar rambut frustrasi. Pusing dengan semua masalah yang mendera.“Siapa sebenarnya kamu, Darmi? Kenapa kamu malah kabur dari rumah sakit setelah mengetahui aku mencurigai kamu?” kata Sadewa seraya mengayunkan kaki cepat menuju kamar rawat asisten rumah tangganya untuk mengecek.“Kita minta rekaman CCTV rumah sakit, siapa tahu asisten rumah tangga kamu masih di sekitaran sini, Wa,” usul Aditya, dan kedua lelaki yang sudah bersahabat semenjak sama-sama gagal berumah tangga itu berjalan bersisian menemui scurity dan meminta pria berseragam hitam tersebut untuk memperlihatkan rekaman CCTV hari ini.Dahi Sadewa berkerut-kerut ketika melihat ada dua orang berpakaian hitam-hitam masuk dan berjalan cepat menuju kamar rawat Darmi, satu orang diantaranya terlihat mengajak polisi yang berjaga bercengkerama sementara yang lainnya mendorong kursi roda membawa Darmi keluar dari dalam kamar.Di parkiran, terekam jelas sebuah mobil APV berwarna silver membawa perempuan itu pergi entah ke m
“Sania mana, Mam?” tanya Sadewa sedikit ragu, merasa bersalah sekaligus tidak enak kepada kedua mertuanya.“Di teras belakang, Wa. Kamu ke mana saja? Ditelepon katanya nggak pernah diangkat. Dichat nggak dibalas. Tolonglah jangan bikin Sania nangis terus. Dia lagi hamil, Dewa. Kamu nggak kasian sama istri dan calon anak kamu? ‘Kan kalau ibunya stres anaknya ikutan stres. Memangnya apa susahnya menghubungi istri dan mengabari, memberitahu kalau kamu nggak pulang. Sania juga punya perasaan Dewa. Apalagi dia sifatnya memang belum terlalu dewasa!” sungut Romi dengan wajah terlihat kesal.“Saya minta maaf, Pak!”“Ya sudah. Sana temui istri kamu. Dia sudah duduk di sana dari jam delapan dan nggak mau ditemani oleh siapa pun.”Sadewa kembali mengayunkan kaki menuju teras, melihat istrinya sedang duduk melamun sendiri dengan wajah sembab serta kuyu.“Sayang,” sapanya pelan, mengusap bahu lalu mencium puncak kepala istrinya namun, Sania tetap tidak bergeming sama sekali bahkan menoleh pun rasa
Sejenak mereka saling diam dalam pikiran masing-masing.Ponsel dalam genggaman Sadewa kembali berdering. Ada panggilan masuk dari Aditya, membuat pria dengan jambang tipis itu semakin bingung.“Pergi aja. Aku nggak apa-apa kok kalau Om pergi. Asalkan kabari aku kalau udah sampai, dan pulangnya bawain aku makanan.” Sania merangkul lengan suaminya, menyandarkan kepala di pundak Sadewa melepas rindu yang sejak kemarin dia tahan.“Kamu serius ‘kan, Sayang?” tanya Sadewa memastikan.Sania menjawab dengan menganggukkan kepala dan lengkungan bibir.“Terima kasih atas pengertiannya.” Pria beralis tebal itu menarik wajah istrinya, menautkan bibir di tempat yang sama membuat mata Sania terpejam menahan hasrat yang sudah lama tidak disalurkan.“Jangan cium dulu, Om. Nyiumnya nanti aja kalau Om udah nggak sibuk.” Tangan perempuan itu mendorong tubuh kekar Sadewa, memalingkan wajah menghindari tatapan sang suami yang selalu menghadirkan gelenyar aneh dalam sanubari.“Kamu mau?” Tatapan Sadewa terl
“Semoga saja Ica dan Enjel baik-baik saja. Saya belum bisa tenang kalau belum bertemu dengan mereka, Dit. Saya merasa sangat bersalah karena sudah lalai menjaga anak serta cucu!”“Insya Allah Mereka akan baik-baik saja. Positif thinking saja. Oh iya. Apa kamu sudah mencari Ica di rumahnya?”“Ya Tuhan, Aditya. Kenapa sampe lupa.”“Ya sudah. Sekarang kita ke sana, siapa tahu mereka bersembunyi di sana, Wa!” ajak Aditya seraya menghabiskan teh hangat buatannya lalu segera masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraan roda empat milik sahabatnya menuju kediaman Clarissa.Kenapa tidak kepikiran sampai ke sana? Sudah berhari-hari aku berkeliling menyusuri kota Jakarta hingga mendatangi semua teman Ica juga kerabat, tapi, kenapa malah rumah Ica terlewatkan? Batin Sadewa.Setelah hampir setengah jam menempuh perjalanan, mobil yang Aditya dan Sadewa tumpangi akhirnya menepi di depan rumah yang dihadiahkan untuk Clarissa sebulan setelah pernikahannya dengan David. Mereka berdua segera turun dari
Pintu kamar Sadewa diketuk. Seraut wajah cantik dengan hijab merah mudah serta gamis berwarna hampir senada muncul seraya mengulas senyum tipis dan segera menghampiri lelaki dengan garis wajah tegas itu, menyalami tangan Sadewa serta mencium bagian punggungnya dengan khidmat sebelum akhirnya memeluk erat tubuh kekar itu sembari menangis tersedu.“Jangan nangis, Sayang. Aku tidak apa-apa, kok. Hanya pusing sedikit dan sekarang liat kamu aku langsung merasa sehat,” ucap pria itu dengan intonasi sangat lembut, mengusap kepala sang istri yang terbungkus kerudung kemudian mencium puncak kepalanya dengan penuh cinta.Sania menarik kursi di samping ranjang, mengenyakkan bokongnya perlahan menggenggam jemari sang suami seraya menatap wajahnya yang terlihat pucat.“Maafkan aku ya, Ayah. Gara-gara aku sekarang Ayah jadi banyak sekali masalah. Dulu sebelum aku masuk di kehidupan Ayah, semuanya terlihat damai. Ayah dedek perut nggak pernah dapat masalah sampai seperti ini,” lirih si pemilik bulu
“Ada apa sih, Yah?” tanya Sania penasaran melihat wajah suaminya terlihat pias.“Ada yang menghubungi aku dan mengabari kalau Ica lagi sama dia. Aku disuruh ke sana tapi tidak boleh membawa orang lain. Apa itu tidak aneh? Menurut kamu bagaimana, Sayang?” Sadewa meminta pendapat kepada istrinya, sebab dia tidak mau gegabah apalagi sampai salah mengambil keputusan.“Ajak Bang Adit saja, Yah. Aku takut terjadi sesuatu sama Ayah. Apalagi keadaannya sekarang sedang genting begini.”“Aku telepon Adit dulu, biar dia bawa orang-orangnya juga. Siapa tahu Darmi ada di sana juga, biar sekalian dibawa tu perempuan meresahkan.”“Mbok Dar? Memangnya ada apa dengan Mbok Dar, Yah? Apa dia terlibat kasus ini juga?” Dahi perempuan bermata bulat dengan bulu mata lentik bernaung di atasnya itu berkerut-kerut, sedikit tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh suaminya.“Semua bukti mengerucut ke dia, Sayang. Baik teror yang kamu terima, orang yang hampir melecehkan kamu malam itu juga minyak tumpah di