“Sania mana, Mam?” tanya Sadewa sedikit ragu, merasa bersalah sekaligus tidak enak kepada kedua mertuanya.“Di teras belakang, Wa. Kamu ke mana saja? Ditelepon katanya nggak pernah diangkat. Dichat nggak dibalas. Tolonglah jangan bikin Sania nangis terus. Dia lagi hamil, Dewa. Kamu nggak kasian sama istri dan calon anak kamu? ‘Kan kalau ibunya stres anaknya ikutan stres. Memangnya apa susahnya menghubungi istri dan mengabari, memberitahu kalau kamu nggak pulang. Sania juga punya perasaan Dewa. Apalagi dia sifatnya memang belum terlalu dewasa!” sungut Romi dengan wajah terlihat kesal.“Saya minta maaf, Pak!”“Ya sudah. Sana temui istri kamu. Dia sudah duduk di sana dari jam delapan dan nggak mau ditemani oleh siapa pun.”Sadewa kembali mengayunkan kaki menuju teras, melihat istrinya sedang duduk melamun sendiri dengan wajah sembab serta kuyu.“Sayang,” sapanya pelan, mengusap bahu lalu mencium puncak kepala istrinya namun, Sania tetap tidak bergeming sama sekali bahkan menoleh pun rasa
Sejenak mereka saling diam dalam pikiran masing-masing.Ponsel dalam genggaman Sadewa kembali berdering. Ada panggilan masuk dari Aditya, membuat pria dengan jambang tipis itu semakin bingung.“Pergi aja. Aku nggak apa-apa kok kalau Om pergi. Asalkan kabari aku kalau udah sampai, dan pulangnya bawain aku makanan.” Sania merangkul lengan suaminya, menyandarkan kepala di pundak Sadewa melepas rindu yang sejak kemarin dia tahan.“Kamu serius ‘kan, Sayang?” tanya Sadewa memastikan.Sania menjawab dengan menganggukkan kepala dan lengkungan bibir.“Terima kasih atas pengertiannya.” Pria beralis tebal itu menarik wajah istrinya, menautkan bibir di tempat yang sama membuat mata Sania terpejam menahan hasrat yang sudah lama tidak disalurkan.“Jangan cium dulu, Om. Nyiumnya nanti aja kalau Om udah nggak sibuk.” Tangan perempuan itu mendorong tubuh kekar Sadewa, memalingkan wajah menghindari tatapan sang suami yang selalu menghadirkan gelenyar aneh dalam sanubari.“Kamu mau?” Tatapan Sadewa terl
“Semoga saja Ica dan Enjel baik-baik saja. Saya belum bisa tenang kalau belum bertemu dengan mereka, Dit. Saya merasa sangat bersalah karena sudah lalai menjaga anak serta cucu!”“Insya Allah Mereka akan baik-baik saja. Positif thinking saja. Oh iya. Apa kamu sudah mencari Ica di rumahnya?”“Ya Tuhan, Aditya. Kenapa sampe lupa.”“Ya sudah. Sekarang kita ke sana, siapa tahu mereka bersembunyi di sana, Wa!” ajak Aditya seraya menghabiskan teh hangat buatannya lalu segera masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraan roda empat milik sahabatnya menuju kediaman Clarissa.Kenapa tidak kepikiran sampai ke sana? Sudah berhari-hari aku berkeliling menyusuri kota Jakarta hingga mendatangi semua teman Ica juga kerabat, tapi, kenapa malah rumah Ica terlewatkan? Batin Sadewa.Setelah hampir setengah jam menempuh perjalanan, mobil yang Aditya dan Sadewa tumpangi akhirnya menepi di depan rumah yang dihadiahkan untuk Clarissa sebulan setelah pernikahannya dengan David. Mereka berdua segera turun dari
Pintu kamar Sadewa diketuk. Seraut wajah cantik dengan hijab merah mudah serta gamis berwarna hampir senada muncul seraya mengulas senyum tipis dan segera menghampiri lelaki dengan garis wajah tegas itu, menyalami tangan Sadewa serta mencium bagian punggungnya dengan khidmat sebelum akhirnya memeluk erat tubuh kekar itu sembari menangis tersedu.“Jangan nangis, Sayang. Aku tidak apa-apa, kok. Hanya pusing sedikit dan sekarang liat kamu aku langsung merasa sehat,” ucap pria itu dengan intonasi sangat lembut, mengusap kepala sang istri yang terbungkus kerudung kemudian mencium puncak kepalanya dengan penuh cinta.Sania menarik kursi di samping ranjang, mengenyakkan bokongnya perlahan menggenggam jemari sang suami seraya menatap wajahnya yang terlihat pucat.“Maafkan aku ya, Ayah. Gara-gara aku sekarang Ayah jadi banyak sekali masalah. Dulu sebelum aku masuk di kehidupan Ayah, semuanya terlihat damai. Ayah dedek perut nggak pernah dapat masalah sampai seperti ini,” lirih si pemilik bulu
“Ada apa sih, Yah?” tanya Sania penasaran melihat wajah suaminya terlihat pias.“Ada yang menghubungi aku dan mengabari kalau Ica lagi sama dia. Aku disuruh ke sana tapi tidak boleh membawa orang lain. Apa itu tidak aneh? Menurut kamu bagaimana, Sayang?” Sadewa meminta pendapat kepada istrinya, sebab dia tidak mau gegabah apalagi sampai salah mengambil keputusan.“Ajak Bang Adit saja, Yah. Aku takut terjadi sesuatu sama Ayah. Apalagi keadaannya sekarang sedang genting begini.”“Aku telepon Adit dulu, biar dia bawa orang-orangnya juga. Siapa tahu Darmi ada di sana juga, biar sekalian dibawa tu perempuan meresahkan.”“Mbok Dar? Memangnya ada apa dengan Mbok Dar, Yah? Apa dia terlibat kasus ini juga?” Dahi perempuan bermata bulat dengan bulu mata lentik bernaung di atasnya itu berkerut-kerut, sedikit tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh suaminya.“Semua bukti mengerucut ke dia, Sayang. Baik teror yang kamu terima, orang yang hampir melecehkan kamu malam itu juga minyak tumpah di
“Kamu tidak usah takut, Seno. Kamu tidak bersalah dan kami akan membela kamu nanti!” sambung Aditya yang ternyata sejak tadi menguping di dekat pintu.“Maaf, saya datang ke sini tidak sendirian. Soalnya tadi saya takut kalau kamu salah satu dari orangnya Darmi yang sengaja ingin menjebak saya. Jadi saya bawa Aditya dan beberapa orang polisi, juga bersama para anak buah saya.” Sadewa berujar sambil menunjuk beberapa mobil yang terparkir tidak jauh dari rumah Seno.“Tadi saya meminta Om untuk tidak membawa orang lain sebab semenjak kejadian penusukan itu saya juga sering mendapatkan teror. Kemarin di kios ada yang tiba-tiba datang dan mengobrak-abrik dagangan saya. Saya juga sering mendapatkan ancaman dari nomor tidak dikenal, makanya saya langsung ganti nomor, Om. Saya benar-benar takut, apalagi saat ini istri saya sedang mengandung. Maaf juga kalau sudah hampir dua minggu saat kejadian itu tetapi saya baru menghubungi Om. Itu semua atas permintaan Ica dan karena keadaan Ica sekarang s
‘Ingat, Kevin. Kamu sudah berjanji akan berubah dan menjadi manusia yang lebih baik lagi. Jangan nodai kepercayaan ayah kamu dan jangan sakiti perasaannya.’ Hati kecilnya berbisik, membuat dia langsung melepaskan tubuh Sania yang terlihat gemetar dari pelukannya. “Maaf. Tadi spontan karena kamu mau jatuh. Aku tidak mau terjadi sesuatu sama calon adik aku, San.” Susah payah dia mengurai kata, menepis rasa sakit yang tiada terperi dalam dada. Andai saja dulu dia menjadi seorang penurut dan mau mendengarkan nasihat sang ayah untuk tidak mendekati zina, mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti ini. Sania akan menjadi pendamping hidupnya, bukan ibu tirinya. Kini, hanya tinggal penyesalan yang selalu menghakimi hati, apalagi setelah mendapati bahwa anak yang dikandung Lisa bukan darah dagingnya. Dia hanya dijadikan tameng karena ayah bayi yang dikandung Lisa tidak mau bertanggung jawab. Berbuat zina satu kali, tapi sial yang ia dapatkan berkali-kali dan hampir tidak pernah berhenti.
Brak!Tanpa basa-basi lagi ia menendang pintu dan memejamkan mata mendapati pemandangan yang begitu menyesakkan dada. David tengah menggagahi Lisa yang terbaring dengan tali mengikat kaki serta tangannya.“Bajingan kamu, David. Biadab!” Sebuah tinju mendarat di rahang suami Clarissa hingga lelaki bertato itu jatuh tersungkur.David berusaha bangkit dan membalas tinjuan Kevin, namun, karena dia dalam pengaruh minuman keras membuat tenaganya tidak lebih kuat dari sang adik ipar. Tanpa ampun ditendangnya perut David hingga terbatuk sementara Lisa tengah menangis dan mencoba melepas ikatan yang melilit tangan serta kakinya.“Apa yang terjadi, Lisa?” tanya Kevin dengan suara parau.Lisa hanya bisa menangis tanpa mampu menjawab pertanyaan dari suaminya. Tubuhnya yang sudah penuh dengan luka lebam bergetar hebat. Ada ketakutan luar biasa yang terpancar di sorot mata beningnya.“Lisa.” Pelan-pelan tangan Kevin terulur, mengusap pipi istrinya yang basah menghapus air matanya dan melepas lilita