“Ma—maksud Si Mbok, susah dihubungi!” ralat Darmi tergagap, membuat Clarissa bertambah curiga terhadap perempuan berkulit hitam manis yang ada di hadapannya.“Ya sudah, Mbok. Aku jalan lagi. Apa Mbok aja yang mau belanja. Mbok kan setiap hari di rumah. Jarang-jarang keluar. Siapa tau pengen refreshing.”Darmi terlihat berpikir.“Boleh deh kalo Neng Ica mengizinkan. Nanti dicatat aja apa yang mau dibeli, biar si Mbok nggak keder. Sekalian Mbok mau main ke rumah temen boleh, Neng?”“Silakan, Mbok. Nginep juga boleh.”Clarissa meletakkan Angel di sofa, mencatat apa yang hendak di beli sambil menunggu Darmi siap-siap.“Nanti kunci dari dalam saja rumahnya, Neng. Takut si Mbok pulangnya malam.”Clarissa menerbitkan senyuman, berusaha sebiasa mungkin terhadap Darmi.[Sen, lo bica pasang CCTV di rumah gue sekarang, gak? Tapi lo diem-diem aja. Jangan sampe ada yang tau.]Perempuan dengan postur tubuh tinggi semampai itu segera mengirimkan pesan kepada salah seorang teman kuliahnya, ingin mema
“Saya hanya menjalankan tugas, Pak. Dan saya tidak terlibat!” ucap sang driver bertambah ketakutan.“Saya tidak menuduh Bapak terlibat. Cuma saya mau minta alamat rumah atau kantor tempat Bapak mengambil paket tersebut, sebab saya penasaran, siapa sebenarnya orang yang berani meneror istri saya. Saya janji tidak akan melibatkan Bapak dalam kasus ini, dan akan memberikan apa saja yang Bapak minta asalkan Bapak mau membantu.”“Nama jalannya saya lupa, tapi saya masih ingat rutenya. Kalau Bapak mau nanti saya anter ke sana, tapi beneran ya, Pak, jangan libatkan saya.”“Bapak tenang saja. Oh, iya. Bapak mau makan apa, biar saya pesankan makanan.”“Apa saja, Pak. Terserah Bapak.”Sang pemilik perusahaan ekspor impor daging itu akhirnya memesankan menu yang sama seperti yang tengah ia nikmati.Selesai makan, sopir ojek yang pernah mengantar paket berisi boneka bersimbah darah itu mengantar Sadewa ke rumah yang dimaksud, lalu pamit pergi karena merasa takut.“Terima kasih, Pak. Kalau butuh s
Dia terus saja memantau rekaman CCTV melihat sang asisten rumah tangga berlalu pergi meninggalkan rumah.Menggendong Angel yang sedang terlelap, Clarissa segera keluar dari kamar dan mengintip dari balik tirai memastikan kalau asisten rumah tangganya telah keluar dan segera mengikuti Darmi.Mata perempuan berambut ikal itu menyipit ketika mobil taksi yang Darmi tumpangi menepi di depan sebuah rumah, dan dari balik kaca mobil ia melihat asisten rumah tangganya sedang berbicara dengan seorang lelaki bertubuh tinggi besar.Kenapa jadi banyak sekali teka-teki? Sebenarnya siapa kamu, Mbok. Kenapa di dalam rumah kamu terlihat polos dan selalu berdandan sederhana, sedangkan saat di luar kamu tidak kalah cetar dandanannya dari Mama.Tidak lama kemudian sebuah mobil Honda jazz berwarna merah berhenti tidak jauh dari tempatnya memarkirkan kendaraan, Clarissa kembali dikejutkan karena ternyata justru ibunya yang keluar dari mobil tersebut, membuat Darmi langsung menatap Veronika dengan pindaian
“Ya Allah, Ayah. Tolong angkat teleponnya.” Clarissa terus saja berusaha menghubungi Sadewa, akan tetapi masih tetap saja tidak ada jawaban.“Neng, neng Ica!” Tok! Tok! Tok!Terdengar suara Darmi mengetuk pintu, membuat perempuan berambut ikal itu semakin disemuti rasa takut.Dengan erat dia memeluk Angel, berharap malam segera berlalu dan bisa segera keluar dari rumah.Lamat-lamat terdengar suara sang Muadzin mengumandangkan azan subuh. Sania membuka mata perlahan, menyibak selimut lalu duduk di tepi tempat tidur seraya mengumpulkan informasi yang dia bawa dari alam mimpi.“Sudah bangun, Bunda Cantik?” tanya Sadewa seraya menggosok rambutnya yang basah dan menatap wajah istrinya.“Ayah mau ke masjid apa salat di rumah?”“Di rumah aja, Sayang. Nggak tau perasaan Ayah nggak enak banget dari semalam. Kepikiran Ica sama Enjel. Habis salat Ayah ke rumah langsung ya? Mau nengokin mereka.”Sania menjawab dengan anggukan kepala, segera beranjak dari duduknya dan lekas membasuh tubuh di kamar
Sadewa segera menghentikan laju mobilnya, mengikuti mobil yang tengah ditumpangi oleh si perempuan hingga menepi di depan rumah kemarin.Darmi, apa itu benar-benar kamu? Tapi, kenapa kamu terlihat berbeda? Dan, kalau dia memang Darmi asisten rumah tanggaku, ke mana Ica dan Enjel? Sadewa bertanya sendiri dalam hati, sembari terus mengintai rumah perempuan tersebut.“Sapror! Segera ke tempat kemarin sekarang juga dan bawa anak buah. Jangan datang sendiri,” perintah lelaki dengan rahang tegas itu kepada salah seorang anak buahnya melalui sambungan telepon.“Siap, Bos. Saya segera meluncur!” jawab Sapror.Pria bertubuh tegap itu memutuskan sambungan telepon, duduk dengan gelisah menunggu para anak buahnya datang ingin memastikan kalau wanita yang berada di dalam rumah tersebut bukan Darmi—Asisten Rumah Tangganya.Setelah menunggu beberapa puluh menit akhirnya mobil hitam milik orang suruhan Sadewa menepi di belakang mobil miliknya.Buru-buru Sadewa keluar, menyuruh anak buahnya standby di
“Kenapa mencurigai dia?” Aditya menatap wajah sahabatnya yang semakin terlihat awet muda serta penuh kharisma.Sadewa menyodorkan ponselnya, menyuruh Aditya melihat video yang dikirimkan oleh Sapror kemarin.“Saya juga sedang berusaha membuka ponsel Clarissa. Kemarin anggota juga nemu satu unit CCTV tergeletak di depan rumah kamu,” kata Aditya kemudian.“Apa sudah ada kabar tentang Ica, Dit? Aku benar-benar tidak bisa tenang jika dia belum ditemukan.”“Belum. Tapi kami mencurigai ada orang lain masuk ke dalam rumah kamu. Mungkin dia penjahat sebenarnya, atau bisa jadi justru dia yang menyelamatkan Clarissa. Kami juga sedang menyusuri setiap rumah sakit di kota ini untuk mencari keberadaan putri kamu karena kemungkinan dia terluka. Kita berdoa saja semoga segera mendapatkan kabar baik tentang Ica dan cucu kamu.”Sadewa mengangguk serta mengaminkan.Mobil lelaki berparas tampan itu menepi di parkiran sebuah rumah sakit. Buru-buru dia dan Aditya turun, berjalan menuju unit gawat darurat
Sadewa menguyar rambut frustrasi. Pusing dengan semua masalah yang mendera.“Siapa sebenarnya kamu, Darmi? Kenapa kamu malah kabur dari rumah sakit setelah mengetahui aku mencurigai kamu?” kata Sadewa seraya mengayunkan kaki cepat menuju kamar rawat asisten rumah tangganya untuk mengecek.“Kita minta rekaman CCTV rumah sakit, siapa tahu asisten rumah tangga kamu masih di sekitaran sini, Wa,” usul Aditya, dan kedua lelaki yang sudah bersahabat semenjak sama-sama gagal berumah tangga itu berjalan bersisian menemui scurity dan meminta pria berseragam hitam tersebut untuk memperlihatkan rekaman CCTV hari ini.Dahi Sadewa berkerut-kerut ketika melihat ada dua orang berpakaian hitam-hitam masuk dan berjalan cepat menuju kamar rawat Darmi, satu orang diantaranya terlihat mengajak polisi yang berjaga bercengkerama sementara yang lainnya mendorong kursi roda membawa Darmi keluar dari dalam kamar.Di parkiran, terekam jelas sebuah mobil APV berwarna silver membawa perempuan itu pergi entah ke m
“Sania mana, Mam?” tanya Sadewa sedikit ragu, merasa bersalah sekaligus tidak enak kepada kedua mertuanya.“Di teras belakang, Wa. Kamu ke mana saja? Ditelepon katanya nggak pernah diangkat. Dichat nggak dibalas. Tolonglah jangan bikin Sania nangis terus. Dia lagi hamil, Dewa. Kamu nggak kasian sama istri dan calon anak kamu? ‘Kan kalau ibunya stres anaknya ikutan stres. Memangnya apa susahnya menghubungi istri dan mengabari, memberitahu kalau kamu nggak pulang. Sania juga punya perasaan Dewa. Apalagi dia sifatnya memang belum terlalu dewasa!” sungut Romi dengan wajah terlihat kesal.“Saya minta maaf, Pak!”“Ya sudah. Sana temui istri kamu. Dia sudah duduk di sana dari jam delapan dan nggak mau ditemani oleh siapa pun.”Sadewa kembali mengayunkan kaki menuju teras, melihat istrinya sedang duduk melamun sendiri dengan wajah sembab serta kuyu.“Sayang,” sapanya pelan, mengusap bahu lalu mencium puncak kepala istrinya namun, Sania tetap tidak bergeming sama sekali bahkan menoleh pun rasa