Di kantor polisi.Aditya dan beberapa rekan sejawatnya tengah menginterogasi dua orang anak buah Darmi yang tertangkap. Semua informasi yang dia dapat terus ia catat, sekalian mengumpulkan bukti yang akan memperkuat tuduhan Sadewa kalau selama ini asisten rumah tangganya itu yang telah meneror keluarganya.Setelah dicek dan ditelusuri lebih mendalam, ternyata nama asli Darmi adalah Diana Pitaloka, seorang residivis pembunuhan tujuh belas tahun yang lalu. Dia didakwa dua puluh tahun penjara, tetapi baru beberapa tahun menjalani masa tahanan Diana sudah dibebaskan. Aditya semakin bertambah ngeri membayangkan keselamatan sahabatnya karena ternyata Diana atau Darmi seorang penjahat ulung yang begitu licin seperti belut dan susah untuk ditangkap.Ponsel milik salah satu anak buah Darmi berdering nyaring. Aditya meminta si empunya telepon untuk menjawab panggilan, akan tetapi tidak boleh memberitahu kalau saat ini mereka sudah tertangkap.“Lama banget angkat teleponnya. Kalian di mana? Suda
“Iya!” Kevin mengangguk membenarkan meski hatinya tercacah perih.Setelah keadaan mulai membaik dan rasa nyeri di lengan mulai berkurang, dokter memperbolehkan Sadewa pulang karena tidak ada hal yang terlalu mengkhawatirkan. Polisi juga membawa proyektil peluru yang sudah diangkat dari lengan Sadewa untuk dijadikan barang bukti.Beberapa orang petugas berpakaian preman terus saja mengawal mobil sang pemilik perusahaan ekspor impor daging tersebut hingga sampai ke halaman rumah. Sania yang sudah menunggu kepulangan Sadewa segera berlari ke luar saat mendengar deru mesin kendaraan memasuki pekarangan rumahnya, akan tetapi Sapror segera mencegatnya dan melarang Sania keluar dari rumah.“Kenapa, Bang? Saya mau menemui suami saya!” sungut si pemilik bulu mata lentik tidak terima.“Demi keamanan Ibu. Silakan tunggu saja di dalam. Bapak sebentar lagi masuk. Kami khawatir ada yang mengikuti Bapak seperti kemarin,” jawab Sapror dengan sopan.Sania mengentakkan kaki dan langsung membanting boko
Darah segar terus mengalir dari nadi asisten rumah tangga Sadewa. Pandangan perempuan itu mulai mengabur dan kepalanya bagai tertimpa batu besar. Berat, juga sakit teramat dahsyat.Darmi menerbitkan senyuman. Matanya terpejam merasakan lembutnya sentuhan Sadewa yang terus membelainya dengan mesra.Sambil melengkungkan bibir laki-laki dengan jambang tipis itu mendekatkan wajah, bibir plumnya menyapu lembut pipi Darmi yang terasa mulai kebas serta membeku.Darmi membuka mata.“Kenapa baru sekarang kamu datang, Sayang. Kamu tahu, aku sangat mencintai kamu. Tolong bawa aku bersamamu. Ajak aku terbang ke Nirwana menyelami samudera cinta bersama. Aku mencintai kamu, Dewa. Aku mencintai kamu,” racaunya seraya mengusap pipi Sadewa, menangkupnya dengan kedua tangan sambil terus mengunci pandangannya dengan tatapan penuh cinta.“Aku juga mencintai kamu, Darmi,” bisik Sadewa begitu lembut, membuat perempuan yang tengah berbaring itu merasa tubuhnya seperti sedang melayang ke udara.“Jangan tingg
Oke. Asal Ica mau silakan. Saya mah nggak pernah keberatan anak saya menikah dengan siapa pun, asal sayang sama anak dan cucu saya.”“Kamu masih ragu kepada saya, Wa. Kita sudah bersahabat sejak lama. Kamu kenal saya luar dalem.”“Iya, saya percaya. Ada kabar baru apa?”“Darmi melakukan percobaan bunuh diri. Dia menyayat nadinya hingga hampir mati. Untung saja masih bisa diselamatkan.”Pria berjambang tipis itu menghela napas mendengar kabar tersebut.“Kayaknya dia cinta mati sama kamu, Wa. Karena di alam bawah sadarnya dia terus saja menyebut nama kamu!”Sadewa meraup wajahnya perlahan. Rasa bersalah seketika menelusup ke dalam sanubari, mengingat dulu dengan berani Darmi menyatakan cintanya saat baru dua tahun bekerja.“Saya tidak berniat mencari pengganti Veronika, Darmi. Saya sudah nyaman hidup sendiri!” tolak Sadewa secara halus saat asisten rumah tangganya mengutarakan isi hatinya.“Apa karena saya hanya seorang pembantu, jadi Bapak menolak saya?” Darmi menatap sendu wajah laki-
“Apa yang sudah Bapak lakukan terhadap ibu saya?” Wajah laki-laki berusia dua puluh enam tahu itu terlihat memerah dengan api amarah menyala-nyala.“Saya tidak melakukan apa pun terhadap ibu kamu.”“Bohong!”“He, kamu! Berani membentak orang yang sudah menyekolahkan kamu dan menjadikan kamu ‘orang’ seperti ini?!” Aditya yang sudah tidak sabar melihat ketidak sopanan Malvin berdiri lalu menarik kerah baju laki-laki berambut cepak itu.“Pak Adit tidak usah ikut campur!” Bentak Malvin.“Saya wajib ikut campur, dong. Kamu tahu Malvin? Ibu kamu itu penjahat ulung. Dia sudah berusaha membunuh istrinya Dewa, meneror dia, bahkan membayar orang untuk mempe*kosa istri majikannya. Dan kamu lihat?” Sambil menatap sinis wajah lawan bicaranya, Aditya menggulung lengan baju Sadewa, menunjukkan luka bekas tembakan yang masih dibalut perban. “Ini juga perbuatan ibu kamu. Dia menyuruh orang untuk menembak Sania, tapi malah mengenai lengan Dewa. Apa kamu belum percaya juga kalau ibu kamu itu seorang pen
“Sandy, tolong bawa Malvin ke ruangan saya!” perintah Aditya pada salah satu bawahannya.Dan tidak lama kemudian Malvin di giring ke dalam ruangan, didudukkan di sebuah kursi dan Aditya segera melepas borgol yang melilit tangan anak Darmi.“Kamu liat semua perbuatan ibu kamu. Apa kamu masih tidak percaya kalau dia seorang penjahat?!” sentak Aditya geram. Merasa kesal dengan tingkah Malvin yang terkesan tidak tahu diri itu. “Ini juga, kamu liat rekaman video di ponsel Ica. Liat kalau mata kamu belum siwer!!”“Saya minta maaf karena sudah tidak mempercayai Bapak dan Pak Dewa!” Malvin menunduk malu.“Minta maaflah kepada Sadewa, karena kamu sudah menyakiti perasaannya. Harusnya kamu berterima kasih. Bukan malah berbuat kurang sopan seperti tadi. Dewa itu menyayangi kamu seperti menyayangi anaknya sendiri.”“Iya, Pak!”Aditya kembali menunjukkan beberapa video yang tersimpan di laptop Clarissa sampai dia tidak menyadari kalau Malvin tengah membuka laci meja kerjanya dan mengambil senjata
“Ca, buka pintu. Ini Abang!” Clarissa berjingkat kaget dan tersadar dari lamunan ketika pintu diketuk dengan nyaring. Ragu-ragu dia memutar anak kunci, menekan knop pintu dan bernapas lega saat melihat siapa yang berdiri di muka pintu.“Sudah kelar, Om?” tanyanya sambil menatap wajah lelaki berusia empat puluh enam tahun yang sedang tersenyum semringah di hadapannya.“Sudah. Ayo! Abang antar kamu pulang. Tapi temenin Abang makan dulu ya. Abang lapar!”Wanita bergaun soft pink sebatas lutut itu mengangguk setuju karena cacing-cacing dalam perutnya juga sudah berdemonstrasi menuntut untuk diisi.“Barja, kamu pulang sendiri saja. Ica biar sama saya. Kalo Bu Maryam atau Sania bertanya, bilang saja kami sedang berkencan, merayakan hari jadian kami!” kelakar Aditya seraya merangkul pundak wanita yang ada di sebelahnya dan masuk ke dalam mobil sebelum Barja sempat menjawab ucapannya.Mobil minibus milik pria berkumis tipis itu menepi di depan sebuah restoran. Dia segera menarik tuas pintu, m
Hai! Hai! Assalamualaikum reader setia emak. Jangan lupa baca karya emak yang lainnya juga dengan cara klik di pencarian dengan judul: -Wanita yang Kunodai (on going) -Benih siapa di rahim istriku? (Tamat) -Suamiku Terjerat Hubungan Terlarang (Tamat) Lalu masukkan ke dalam daftar bacaan kalian kemudian beri ulasan serta rating bintang lima, follow akun emak dan jangan lupa juga tinggalkan jejak di kolom komentar supaya emak tambah semangat up bab barunya. Terima kasih buat reader yang selama ini sudah setia mengikuti karya-karya emak, sebab tanpa kalian emak bukan siapa-siapa. Thank you so much. Semoga kalian semua selalu dalam lindungan Allah Subhanahu wata'ala 😘😘😘