Aura dingin memancar dari tubuh Robert yang berdiri tegak di depan gundukan tanah. Sorot mata pria itu menatap lurus ke depan di mana foto cantik Ruby dihiasi dengan kalung bunga. Senyuman cantik yang tak akan pernah bisa dia lihat kembali.
Penyesalan atau bukan semua sudah terlambat, karena berbagai pertanyaan yang masih mengakar dalam dirinya tak akan bisa mendapatkan jawaban. Misteri itu sudah terkubur bersama kepergian Ruby.
Gundukan tanah merah masih basah dan dipenuhi oleh bunga mawar yang ditaburkan bagai permandani. Satu persatu helaian bunga itu terbawa terbang oleh angin yang berhembus sepoi-sepoi, mengantarkan sehelai kelopak bunga menampar lembut wajah Robert yang masih termangu.
"Maafkan aku, Ruby. Meskipun ini sudah terlambat, tetapi aku akan membawa Kenzie dan merawat dirinya." Robert mengebaskan helaian mawar yang tersangkut di jasnya.
Dia berjalan ke arah Rose dan keluarganya di mana Kenzie berada. Romeo, Ayah Ruby masih termangu dengan tongkat yang menopang tubuh kurusnya. Di samping Romeo tampak berdiri Ryan, adik bungsu Ruby yang sudah bekerja di kapal pesiar milik keluarga Conrad, ipar Robert.
Tatapan tajam membunuh dari Rose dan Ryan yang tertuju ke arahnya, tidak menyurutkan langkah Robert untuk semakin mendekati mereka. Tujuannya hanya ingin menemui Kenzie, membelai dan menggendong bocah itu.
"Kenzie." Robert berjongkok di depan bocah tampan dengan manik mata coklat seperti dirinya.
Darah Asia dan Amerika yang menyatu dalam diri Kenzie membuat ketampanannya sangat unik. Robert menatap buah hati yang sempat dia tolak keberadaannya dengan penuh penyesalan, apalagi ketika melihat tatapan takut dari bocah itu kepadanya.
"Kau masih ingat denganku, bukan?" tanya Robert perlahan.
Kenzie mengangguk dengan mantap. "Anda dokter yang pernah merawat Kenzie, bukan?" Bocah itu menunjukan bekas jahitan di keningnya.
"Benar sekali. Kau anak yang cerdas dan daya ingatmu kuat." Robert mengusap rambut Kenzie penuh kasih sayang. "Apakah Kenzie mau menjadi dokter suatu saat nanti?"
Pertanyaan Robert dijawab dengan anggukan mantap oleh bocah itu. Dokter tampan dengan wajah dingin itu tersenyum senang melihat respon cepat yang dilakukan oleh Kenzie. Bagi Robert akan lebih mudah untuk mengambil hati Kenzie saat dia mengetahui keinginan bocah itu.
"Jawaban yang bagus sekali. Beberapa hari lagi, aku akan menjemputmu agar kelak dewasa Kenzie bisa menjadi dokter." Bisa dirasakan oleh Robert ada kilatan marah dari sudut mata Rose ke arahnya.
"Benarkah? Kenzie bisa jadi Dokter kalau besar nanti?" Sorot mata Kenzie tampak berbinar ceria.
Senyuman ceria dan polos itu membuat Robert semakin jatuh hati. Sungguh perasaan hatinya bisa berubah dengan cepat dibandingkan ketika Robert belum menerima hasil test DNA.
"Tentu saja!" Robert hendak mengangkat tubuh Kenzie dalam gendongannya, tetapi gagal karena Rose terlebih dahulu dengan cepat menjauhkan anak itu dari hadapannya.
"Kalau Kenzie mau menjadi dokter nanti Aunt Rose yang akan menabung untuk sekolahmu." Rose menatap bocah berumur lima tahun itu penuh kasih sayang.
"Kita tidak boleh bergantung apalagi mengharapkan bantuan dari orang lain yang tidak kita kenal, itu tidak baik dan bukan sikap seorang pria sejati," tambah Rose. "Kenzie mengerti 'kan, Sayang."
"Iya, Kenzie mengerti." Kenzie menganggukkan kepalanya dengan patuh.
"Anak pintar." Rose memeluk Kenzie, membelai bocah itu penuh kasih sayang sebelum memberikan pada adiknya untuk dibawa pergi. Ryan segera menggendong Kenzie dan menuntun ayahnya menjauhi mereka.
"Pergilah. Tak ada satupun yang mengharapkan kehadiranmu." Ucapan dingin Rose membuat Robert tersenyum sinis.
"Akan ada saatnya kau berlutut di kakiku dan memohon. Aku akan kembali lagi untuk membawa pergi anakku." Suara Robert yang tenang mengandung ancaman.
"Jangan pernah bermimpi, hal itu tidak akan terjadi karena Kenzie saat ini sudah menjadi anakku!" Ucapan tegas Rose membuat Robert tersenyum mengejek.
"Apakah itu artinya kau menawarkan diri untuk menjadi istriku?"
"Dasar pria tak tahu diri, tak tahu malu! Aku heran bagaimana Ruby bisa bodoh dan menyerahkan dirinya untukmu, nyatanya kau hanya pria bejat!" Rose tak dapat lagi menahan diri untuk mengeluarkan emosinya.
Wanita itu tak perduli lagi apabila ada orang lain yang mendengar perdebatan di antara dirinya dan dokter terkenal ini. Yang dia inginkan adalah melupakan semua kekesalan dalam hatinya dan mengumpat.
"Ckckck …." Robert berdecak mendengar perkataan Rose yang menyalahkan dirinya dan mengagungkan Ruby,
"Kau pikir adikmu adalah Perawan Suci Maria, wanita yang tak berdosa?" Tawa sinis keluar dari mulut Robert.
"Iya! Dia memang gadis murni yang telah kau buat ternoda dan kau masih juga menghina dirinya hingga saat ini ketika dia sudah tiada." Rose membuat tanda salib mendoakan ketenangan arwah Ruby.
"Kalau dia memang gadis yang suci dan polos, kenapa begitu mudah aku mendapatkannya ... berkali-kali kami bercinta." Robert tersenyum puas ketika melihat Rose terkejut.
Pria itu kemudian mengikis jarak di antara mereka. Dia mendekati Rose, memajukan kepalanya mendekati telinga Rose yang masih syok dengan apa yang dikatakan oleh Robert.
"Meski bagaimanapun, harus aku akui kalau tubuh Ruby sangat nikmat." Ucapan Robert membuat Rose seketika tersadar.
Wanita cantik berdarah Asia dan Mexico itu melayangkan tangannya menampar Robert sekuat tenaga. Dia melupakan tata krama yang dia pelajari ketika bersikap di depan banyak orang.
Perkataan Robert terlalu tajam dan sangat kejam. Rose tidak terima siapapun menghina Ruby, meskipun pria itu adalah ayah kandung dari keponakannya. Ditatapnya Robert dengan sinar mata marah penuh kebencian.
"Pergi kau dari hadapanku, sekarang juga!" lirih suara Rose penuh ketegasan.
Pertikaian di antara Robert dan Rose menarik perhatian banyak orang untuk bergosip. Semua mengira-ngira apa yang membuat Rose berani menampar orang penting, seorang publik figur. Conrad dan Jasmine yang sedang berbincang dengan Romeo, Ayah Ruby, juga menoleh ke arah mereka. Conrad segera bergegas menghampiri mereka untuk menengahi pertikaian di antara kedua orang tersebut.
"Apa yang terjadi kenapa kau begitu marah, Rose?" Conrad menatap Rose dan Robert bergantian.
Wajah Rose yang cantik dan lembut saat ini berubah bagaikan burung phoenix dengan api yang terpancar di sekujur tubuhnya, sedangkan Robert bagaikan naga yang dengan angkuh siap melahap burung phoenix. Kedua api membara terlihat melalui kilatan mata mereka.
"Bawa dia pergi dari tempat ini, Conrad. Pria busuk seperti dia tak pantas berada di tempat ini." Tanpa mengalihkan tatapan marahnya pada Robert, Rose meminta bantuan Conrad.
"Tanah ini bukan milikmu jadi aku bebas melakukan dan menginjak area manapun yang aku suka." Ucapan tajam Robert semakin membuat amarah Rose memuncak.
"Sudahlah, Robert. Pergilah, jangan membuat keributan di sini. Setidaknya hormati mereka yang berduka." ujar Conrad perlahan.
"Baiklah, Mr, Perfect. Aku akan pergi sebelum wanita ini muntah dan mengotori sepatuku." Robert tersenyum sinis sambil mengusap pipinya yang terasa panas akibat tamparan Rose.
"Robert." Conrad menatap kakak iparnya untuk tidak lagi berbicara hal yang sinis.
"Kau benar. Kau tidak perlu pergi, Tuan Dokter yang terhormat. Aku yang akan pergi, karena tempat ini lebih pantas untukmu." Rose tidak menunggu Robert untuk bisa menyerangnya dengan kata-kata dan sikap sombongnya lagi, karena detik itu juga dia melangkah anggun meninggalkan pria itu yang menggeram kesal.
"Kita lihat saja nanti, Rose!"
Novel ini adalah sequel dari Novel DIA ANAKKU
silahkan follow AUTHOR @taurusdi_author untuk karya lainnya
Ting tong! "Selamat datang!" Suara bel tanda pelanggan masuk, membuat Rose mendongakkan wajahnya. Gadis yang baru saja mencatat hasil penjualan hari ini, terpaku melihat sosok yang tak diharapkan tiba-tiba sudah berdiri tegak di hadapannya. Jika saja dia tahu pria itu yang akan muncul, Rose tidak akan mengucapkan salam dan yang lebih penting dia akan menutup minimarket lebih awal. "Mau apa kau di sini?" tanya Rose dengan nada dingin. Dia menutup buku yang berisi catatan keuangan dan menyimpannya di dalam laci. Rose menatap tajam ke arah pria itu yang datang dengan menggunakan setelan baju berwarna hitam dan menyembunyikan wajah tampan yang terkenal di balik topi. "Aku ingin menemui anakku." Pria itu menengadahkan wajahnya menatap tajam ke arah Rose. "Anakmu? Heh! Mana aku tahu siapa anakmu." Rose menatap sinis ke arah pria tampan yang berusaha menyembunyikan wajahnya di balik topi hitam. "Jangan mai
Empat puluh hari sudah Ruby pergi dari dunia fana ini. Selama itu pula Robert tidak pernah mengganggu Rose dan keluarganya. Pria itu tidak menunjukan batang hidung bahkan bayangannya pun tak pernah muncul. Rose merasa tenang karena itu artinya Robert Miller benar-benar sudah melupakan Kenzie. Gadis cantik itu tersenyum sinis setiap kali mengingat bagaimana sikap Robert yang seakan-akan menginginkan Kenzie. Namun, pada akhirnya semua hanya topeng untuk mencari simpati. Rose semakin yakin jika pria itu tak akan pernah menunjukan batang hidungnya. Pria dengan kesuksesan di mana dirinya menjadi panutan di setiap acara televisi dan talk show, tidak mungkin membiarkan kariernya hancur hanya karena anak di masa lalu. Anak yang tak pernah dia inginkan. "Anda resah bertanyalah pada ….." Host di sebuah stasiun tel
"Rose! Apa yang terjadi? Bagaimana bisa ruko kita kebakaran?" Romeo syok melihat sisa-sisa api yang masih menyala di dalam bangunan tersebut. Tubuh Romeo terhuyung, hampir saja dia jatuh ketika dengan cepat tangan Dulce menahannya. Dulce yang tak kalah terkejut segera membawa pria tua itu duduk di pinggiran trotoar. Wanita imigran itu duduk di samping Romeo dengan tubuh yang tak kalah gemetaran. "Bagaimana mungkin?" desis Rose tak percaya. Seluruh apa yang dia miliki, rumah tempat keluarganya berlindung dan mata pencahariannya ada di sana. Rose terpaku pucat membeku menatap bangunan yang telah menghitam dengan masih menggendong Kenzie. Waktu menunjukan pukul sembilan malam ketika kebakaran itu terjadi. Mereka baru saja tiba dari makan malam di sebua
Rose memeluk Kenzie dengan erat. Tubuhnya gemetaran mengingat jika baru saja dia akan kehilangan bocah kecil itu. Pertengkaran Rose dengan Robert membuat Kenzie terbangun. Bocah itu menangis dengan keras. "Cup … cup, Sayang. Semua baik-baik saja." Rose menepuk punggung Kenzie dengan lembut dan sedikit menggoyangkan tubuhnya agar bocah tersebut menjadi lebih tenang. "Rose … kenapa kau marah pada pria tadi. Dia hanya hendak membantu kita." Romeo tidak dapat mengenali Robert Miller karena topi yang dikenakannya. "Jangan percaya pada siapapun itu, Dad. Kau hanya boleh mempercayai aku. Ingat itu, Dad." ujar Rose dengan tegas. Wanita itu sangat cemas jika kejadian yang sama akan terulang lagi. Dia menebarkan pandangannya ke sekeliling jalanan terutama ke arah d
Rose jatuh dalam pelukan petugas pemadam kebakaran, saat pria itu menarik tubuh Rose ketika dia hendak mengangkat sisa pintu kayu dari lemari di kamarnya. Api menyembur keluar dari balik pintu kayu yang tebal itu. Ternyata ada lubang besar di bawah kayu di mana masih ada sisa pembakaran dari lantai satu. Api itu hampir saja mengenai tubuh Rose, jika saja petugas tersebut tidak segera menarik tubuhnya. Rose bisa merasakan hawa panasnya meskipun mereka sudah berada di jarak aman. Wajah Rose seketika pucat pasi merasakan bahaya yang hampir saja menimpanya. Dalam hatinya dia mengucap syukur karena masih bisa selamat, mengingat masih banyak orang yang bergantung padanya. 'Aku harus hidup dan kuat untuk keluargaku.' "Kita harus segera turun, Nona. Saya khawatir ada anak api lain yang masih terjebak." Petugas tersebut menarik tangan Rose untuk segera turun. "Tapi, Tuan. Dokumenku-- akte lahir anakku …." Rose kebingu
Rose masuk dengan mengendap-endap ke dalam kamar. Dia melihat ayahnya tidur dengan nyenyak hanya berselimutkan kain tipis yang lembab, sementara Dulce memeluk Kenzie di ranjang yang sempit. Rose mengusap sisa-sisa air mata yang masih saja mengenang di wajahnya, dia memutuskan untuk menenangkan diri di kamar mandi.Tidak ada air hangat di dalam kamar mandi kecil itu dan bau dari toilet yang sedikit tersumbat menyengat penciuman Rose. Sudut-sudut lantai kamar mandi tampak menguning dan selokan pembuangan airnya pun berkarat dan penuh dengan rambut rontok. Tampak rembesan air di atap dan dinding ruangan sempit tersebut."Aku harus memindahkan mereka semua dari penginapan ini," gumam Rose.Rose mengikat rambut hitam sebahunya ke atas dan menatap pantulan wajahnya di depan cermin. Kesedihan amat sangat jelas terlih
"Ya, dia orangnya. Gara-gara gadis ini, ruko kami pun hampir terbakar." Seorang wanita gemuk menunjuk ke arah Rose dengan mata melotot. "Bukan itu saja, kamu tahu 'kan kalau tokoku selisih tiga gedung dari dia, pelangganku jadi kabur dan ada beberapa dari mereka yang tidak bayar setelah membeli makanan." Wanita lain dengan tubuh yang tak kalah gemuk dan berambut ikal menatap Rose dengan sinis. "Huh! Pelanggan yang hendak membuat tato, juga kabur semua. Coba bayangkan berapa kerugianku." Pria lain dengan rambut gondrong yang berlokasi tiga puluh metre dari lokasi kebakaran tak mau kalah menyudutkan Rose. "Kau tahu, Rose, tokoku ada tepat di sebelah tokomu. Gara-gara kebakaran itu, pelanggan kabur tanpa membayar pakaian yang mereka coba." Wanita Bertubuh tinggi kurus mendengus kesal. Lebih dari sepuluh orang yang datang di kantor polisi untuk menyudutkan dan melaporkan kerugian mereka akibat kebakaran. Tak ada seorang pun yang bersimpati atau sekedar me
Rose tidak percaya dengan apa yang dibacanya. Tangan gadis itu gemetaran, saat membaca dokumen perjanjian yang jelas terdapat tanda tangannya di sana. Dia tidak mengingat pasal mengenai biaya sewa yang akan hilang jika terjadi kerusakan gedung seperti musibah kali ini. Semua yang tertulis di sana, Rose juga tidak dapat membuktikan karena semua dokumen miliknya telah menjadi abu.Tubuh wanita itu menjadi lemas. Dia memegang kepalanya yang terasa sangat pusing, setelah seharian meresahkan banyak hal, Rose lupa jika dia belum mengisi perutnya dengan apapun kecuali air putih. Gadis itu memejamkan mata, berusaha menguatkan diri agar tidak jatuh pingsan."Jangan pura-pura sakit, sudah jelas semua yang tertera di sana. Ayo, cepat dibayar." Tuan Oswaldo pemilik gedung tanpa belas kasihan menghardik Rose."Tuan, tahan emosi Anda." Petugas kepolisian itu merasa kasihan dengan keadaan Rose. Pria tersebut kemudian menyodorkan segelas teh manis untuk Rose dengan mengacuhkan