Anna melihat perubahan ekspresi di wajah sang ayah yang sulit dia baca. Tidak tau apa yang dipikirkan olehnya, dalam hati Anna hanya menginginkan sebuah jawaban."Ayah yang sudah memintanya melakukan hal itu." Kedua mata Anna terbelalak, dia bahkan tidak pernah menduga jawaban seperti itu yang terdengar dari bibir sang ayah. Dalam kepalanya hanya memikirkan bahwa Eric yang sudah melakukannya. Terlebih pria itu sama sekali tidak menyinggung apapun mengenai ayahnya. "Jadi, mengenai ...." Anna menghentikan perkataannya, tanpa bertanya, dia sudah jelas tahu jawabannya. Anna menundukkan kepalanya, kedua matanya terpejam untuk beberapa saat hingga akhirnya dia kembali mengangkat wajah dan berkata pada sang ayah, "Kenapa Ayah melakukannya?""Apakah butuh alasan bagi seorang ayah memberikan sesuatu pada putrinya?"Anna tidak bisa menanggapi perkataan Cedric. Dia mengerti tentang hal itu, tetapi perusahaan bukanlah suatu barang yang bisa diberikan dengan mudah. Ada banyak sekali nasib karya
Anna termenung mengingat percakapan terakhir sang ayah. Pikirannya tidak fokus hingga melewatkan satu bus yang berhenti di halte tempatnya menunggu. Ketika tersadar, bus telah pergi dan hanya menyisakan dia seorang. Anna menatap kepergian bus tersebut, menarik napas kemudian menghembuskannya perlahan. Dia menundukkan kepala sembari memejamkan kedua mata. "Apa maksud Ayah?" Anna bermonolog. Pada awalnya sang ayah meminta dia untuk memikirkan kembali mengenai pernikahannya. Berkata bahwa dia berhak untuk memilih pria yang dia inginkan menjadi pendamping hidupnya. Berbicara mengenai Eric seakan pria itu bukanlah merupakan pria yang baik. Lalu secara tiba-tiba sang ayah membicarakan kebaikan Eric. Seakan ayahnya tahu bagaimana sifat suaminya ini. Anna menghela napas, "Apa yang sudah terjadi?" Anna melihat jam tangannya, hari sudah sore dan di jam seperti ini sangat sulit untuk mendapatkan bus di daerah ini. Jika dia tidak cepat-cepat kembali ke ibukota, maka dikhawatirkan kalau
Anna sudah mulai gelisah ketika siang sudah akan berganti malam. Cahaya jingga akibat matahari yang hendak terbenam, membuatnya semakin cemas. Anna tidak tahu keadaan malam di daerah ini, ibukota saja terlihat menyeramkan meski ramai. Apalagi daerah yang sepi seperti ini, bukan hantu yang dia takuti, melainkan orang-orang yang tidak punya otak yang akan melakukan segala cara demi mendapatkan apa yang diinginkannya. Anna melihat ponselnya, tadi dia sudah berusaha untuk memesan taksi online tetapi tidak ada yang bisa menjemputnya. Hingga akhirnya dia menyerah, dan menelpon Eric supaya mau menjemputnya. Namun, sudah hampir dua jam pria itu tidak terlihat. Jarak tempuh yang lumayan jauh ditambah bersamaan dengan orang-orang yang pulang dari kantor, membuatnya bisa memahami keterlambatan suaminya. Tapi ketika hari sudah mulai gelap, tetap saja perasaannya menjadi cemas. Anna melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, jam analog itu sudah menunjukkan pukul 07.00 malam. Masih
Mobil yang berusaha dihentikan sama sekali tidak berhenti. Seketika itu juga Anna merasa bahwa sekarang adalah akhir hidupnya. Air matanya jatuh ketika terbayang wajah Eric. Akankah pria itu bersedih ketika dia sudah meninggalkan dunia ini?Anna meminjamkan mata, kedua tangannya terkepal dengan erat. Dia pasrah jika memang harus berakhir dengan cara yang seperti ini.Hingga tiba-tiba dia mendengar suara mobil yang berhenti, perlahan kedua matanya membuka, dan melihat pintu mobil yang terbuka. Silau cahaya lampu mobil membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas. Hingga seorang pria berjalan mendekat, barulah dia bisa melihat orang itu sebenarnya. "Eric," Anna bergumam. Saat ini dia tidak bisa berkata-kata, keterkejutan yang dia rasakan membuat suaranya seakan sirna."Kau tidak apa-apa?" Eric memegang bahu Anna, melihat ke segala sisi tubuh sang istri, setelah melihat tidak ada yang terluka, barulah dia bisa bernapas dengan lega. "Apa yang kau lakukan? Kenapa malah berhenti di depan mo
Perjalanan yang lumayan panjang ditambah dengan pelukan Eric tanpa sadar telah membuat Anna terlelap. Merasakan mesin mobil yang telah mati, seketika itu juga dia membuka kedua mata meski terasa berat.Padahal sebelumnya dia tidak mengantuk sama sekali tetapi entah kenapa dia bisa merasa nyaman tidur dalam pelukan suaminya. Anna seperti merasakan tidur di kasur dengan kualitas terbaik. Membuat tubuhnya menjadi nyaman meski tidur dalam keadaan duduk.Anna melihat ke arah sekitar, tidak ada Liam di kursi pengemudi, tetapi dia bisa merasakan dada bidang yang menjadi tempat yang bersandar. Perlahan dia mengangkat wajah dan tepat pada saat itu dia melihat wajah sang suami yang sedang melihat ke arahnya."Sudah bangun?" "Apakah ini mimpi?" Sudut bibirnya sedikit tertarik, kemudian dia kembali bergumam, "Jika ini mimpi, rasanya menyenangkan sekali karena bisa memimpikan wajah suamiku yang tampan."Setelah mengucapkan kalimat itu, Anna kembali memejamkan kedua mata. Rasa kantuknya kian membe
Eric sedang bersiap di walk in closet miliknya ketika tiba-tiba Liam datang dengan wajah gelisah. Dia hanya melirik Liam sekilas kemudian kembali fokus mengikat dasinya. "Tuan," Liam tidak melanjutkan perkataannya, dia memberikan tab pada Eric, membiarkan atasannya membaca. Eric menerima tab tersebut, saat itulah tubuhnya menegang. Dia mengembalikan tab tersebut pada Liam seraya berkata, "Bereskan!" Eric segera keluar dari kamar, naik ke lantai dua dan segera masuk ke kamar istrinya dengan menggunakan kunci cadangan yang sudah dia bawa. Saat pintu kamar Anna terbuka, Eric bisa melihat sang istri yang masih duduk di ranjang dengan memegang ponsel di tangan. Dia langsung berkesimpulan bahwa Anna sudah mengetahui artikel buruk tentangnya. "Kenapa kau ... ke sini?" Ekspresi wajah dan juga nada suaranya, sudah cukup memberitahu bagaimana perasaannya sekarang. Hal itulah yang membuat hati Eric menjadi sakit seakan ada sebilah pisau yang menancap di sana. Tanpa berkata-kata, Eri
Anna menatap kedua mata Eric, pria ini sangat lihai hingga bisa membuatnya percaya dengan setiap perkataannya. Mungkin perkataan Eric benar, bahwa naskahnya bagus tetapi sangat jelas terlihat bahwa pria ini yang sudah membantunya. Rumah produksi yang besar, biasanya mereka sudah memiliki penulis untuk naskah film ataupun drama yang akan mereka buat. Sangat jarang rumah produksi terkenal seperti tempat Erlan bekerja, menerima penulis baru yang kemampuannya belum diketahui. Mungkin ada satu atau dua orang penulis baru yang mereka rekrut. Tetapi tidak dalam jangka waktu sebulan atau setahun sekali. Anna sadar ketika dia mengirimkan naskahnya, sudah ada penulis baru yang direkrut. Jadi memang dia tidak terlalu berharap untuk bisa diterima. Anna tersenyum, dia menganggukkan kepalanya, "Baiklah. Tidak apa-apa jika kau tidak mau mengaku. Tapi, terima kasih atas bantuanmu, Eric." Eric menatap kedua mata Anna secara bergantian. Gadis ini, telah menemukan celah dirinya berbohong. Tetapi m
Ketika sedang dalam perjalan menuju rumah sakit, ponsel Liam tak hentinya berdering. Dia sudah berulang kali meminta ijin tetapi tetap tidak diperbolehkan oleh Eric. Hingga pada dering yang terakhir, perasaannya tidak bisa dibohongi. "Tuan, maafkan saya ...."Liam segera menekan sebuah tombol di earphone yang sedang dia kenakan. Sementara Eric, menatapnya dengan kesal. Sebenarnya sejak tadi juga dia merasakan getaran di ponselnya yang tersimpan di saku jas. Tetapi dia hiraukan karena pasti hanya sebuah omelan yang dia dapatkan. "Maafkan saya, Tuan." "Baik.""Saya mengerti." Hanya tiga kata itu, setelah dia segera melepas earphone dan kembali menyetir. "Tuan, kita harus kembali, ayah Anda sudah menunggu di kantor," Liam melaporkan."Sudah kubilang jangan diangkat! Tapi kau sama sekali tidak menuruti perkataanku! Kau itu orangnya atau orangku?" Eric memalingkan wajah, terkadang Liam bisa begitu menyebalkan seperti sekarang. Setelah beberapa saat terdiam, "Ikuti saja keinginan pri