Share

Portal Gelombang Bencana

"Ngomong-ngomong, siapa namamu?" pria tua itu menoleh ke arah Raka.

"Raka–, Raka Sadendra." Ia menatap jauh ke arah perkampungan yang berada di ujung hutan. 

Namun perhatiannya malah terpancing ke arah kanannya. Ia melihat ada bangunan tinggi yang menjulang seperti gedung pencakar langit. Begitu tingginya hingga Raka bahkan tidak bisa melihat ujungnya. 

"Namaku adalah Ki Joko Gendeng. Aku adalah penghuni asli dari daerah sini. Bila kau butuh sesuatu, kau bisa bilang kepadaku," ucap si pria tua.

"Oh, apa otakmu sama gendengnya dengan namamu?" Sindir Raka. Ia tertawa kecil.

"Apa maksudmu?! Kau ingin bilang bila aku ini gila?!" Ki Joko Gendeng merasa gusar.

Raka hanya memberikan senyuman ke pria tua itu. Ia tidak menunjukkan hal apa-apa lagi kecuali kepuasan hatinya setelah menghina pria tua itu. 

"Kakek, bangunan apa itu? Kenapa tinggi sekali?" Tanya Raka Sadendra.

Ki Joko Gendeng menoleh ke arah bangunan yang ditunjuk oleh pemuda itu. Ia menjelaskan bila bangunan tersebut bernama menara Kalpawreksa. 

Menara Kalpawreksa adalah menara yang dijuluki sebagai pohon dunia atau pohon pengabul keinginan. Namanya berasal dari kata "Kalpa" yang artinya ingin atau keinginan. Sedangkan kata "Wreksa" yang berarti pohon. 

Siapa pun yang bisa mencapai lantai seratus, ia bisa mendapatkan satu keinginan yang akan dikabulkan, bahkan bila permohonan itu adalah sesuatu hal yang mustahil.

Menara tersebut memiliki seratus lantai, di mana luas dari masing-masing lantai konon seluas wilayah ibukota suatu negara. Dan di setiap lantai tersebut di tinggali oleh bermacam-macam makhluk dunia bawah serta satu sosok raja iblis yang bertengger di istana. 

Ki Joko Gendeng memberitahukan bila setiap bulannya, banyak pendekar yang mencoba peruntungan memasuki menara tersebut untuk mencapai lantai seratus. Namun sayangnya tidak ada yang mampu mengalahkan raja iblis di lantai satu. 

"Apa tidak ada cara untuk mengalahkan iblis-iblis itu? Maksudku, kenapa seluruh pendekar di negeri ini tidak bergabung dan membentuk aliansi raksasa untuk menyerang menara itu?" Raka merasa penasaran.

"Ada yang pernah melakukan hal tersebut. Kira-kira sekitar seratus tahun yang lalu. Aliansi semua kerajaan bergabung dan memasuki menara tersebut. Lebih dari satu juta manusia menyerbu raja iblis di lantai satu dan berhasil mengalahkannya." Ki Joko Gendeng memberitahu kisah usang di masa lalu.

"Lalu? Bagaimana kelanjutannya?" Raka penasaran.

"Mereka hanya bisa mencapai lantai ke-20 dan gagal. Di saat tidak ada lagi pendekar yang bertahan hidup, maka dalam waktu sehari setelahnya, semua raja iblis yang telah terbunuh dalam penyerangan itu akan bangkit atau terlahir kembali. Jadi intinya, penyerbuan itu adalah hal yang sia-sia," ungkap Ki Joko Gendeng.

Dan karena penyerbuan besar-besaran tersebut, semua kota di seluruh kerajaan di Nuswantara terkena imbasnya. Setiap satu bulan sekali akan muncul sebuah gerbang atau portal dimensi yang terbuka di atas langit, di permukaan tanah atau pun di wilayah perairan. 

Portal tersebut membawa iblis-iblis yang berasal dari menara Kalpawreksa. Mereka semua memburu para manusia untuk dijadikan santapan. Hal tersebut dikenal sebagai gelombang bencana. 

Dan gelombang bencana ini akan dimulai saat matahari terbit dan akan berakhir saat matahari terbenam.

"Jadi begitu. Artinya cara satu-satunya untuk bebas dari belenggu kutukan menara Kalpawreksa adalah dengan menghabisi semua raja iblis tersebut." Raka merasa perjuangan para penduduk di dunia itu begitu berat.

"Karena ini akhir bulan, mungkin besok ketika matahari terbit, kau bisa melihat contoh nyata dari gelombang bencana," ucap Ki Joko Gendeng. pria tua itu berdiri sambil menepuk pundak Raka.

"Maaf, tapi aku tidak berminat untuk menonton pertunjukkan iblis menyantap manusia, seperti menyantap hidangan pembuka," ungkap Raka. 

Ki Joko Gendeng melihat perubahan sikap dari pemuda itu. Sedari tadi, Raka menjadi terus bergerak ke sana kemari. Ia mondar-mandir tidak karuan sambil berbicara sendiri. 

Ki Joko Gendeng merasa bila pemuda itu terlalu cemas dan gelisah karena persoalan gelombang bencana. Ingin rasanya ia memukul kepala pemuda itu dan mengganti isi otaknya. 

Ki Joko Gendeng harus bertindak, ia akhirnya menepuk pundak Raka dan mencoba menenangkannya.

"Jangan panik seperti itu. Kau takut dengan gelombang bencana? Tanya Ki Joko Gendeng.

"Tidak, aku takut karena harus terjebak di dunia ini bersama dirimu! Gumam Raka dalam hati. 

"Yah, aku takut dengan sosok yang disebut iblis itu! Menurutmu aku tidak perlu takut?" Teriak Raka 

Ia merasa pernapasannya begitu sesak. Rasa panik mulai melanda dirinya. 

"Kita akan aman di dalam hutan. Aku tahu tempat aman untuk kita bersembunyi. Jadi, jangan merasa seperti anak ayam yang kehilangan induknya," ucap Ki Joko Gendeng.

"Oh, untunglah. Kukira aku akan mati menjadi dessert para iblis," pikir Raka. Ia sedikit lega, namun juga khawatir. 

Raka berpikir lagi, bila ia bisa selamat dari gelombang bencana itu, lalu siapa yang akan menyelamatkan para penduduk yang berada di desa-desa itu?

"Lalu bagaimana dengan nasib para penduduk di desa itu? Apa mereka punya bungker untuk berlindung?" Raka menatap kedua mata Ki Joko Gendeng.

"Bungker? Apa itu?" Ki Joko Gendeng balik bertanya.

"Oh, maaf. Maksudku seperti tempat berlindung atau benteng batu," jelas Raka.

"Oh, aku paham. Tentunya mereka–," perkataan Ki Joko Gendeng dipotong.

"–punya?" Tanya Raka.

"Tidak punya. Itu maksudku." Ki Joko Gendeng meringis.

"Lalu bagaimana caranya mereka berlindung?" Raka merasa khawatir.

Ki Joko Gendeng hanya menggerakkan kedua pundaknya ke atas. Ia juga tidak tahu dan tidak mau peduli dengan urusan nyawa orang lain. Selama nyawanya selamat dan baik-baik saja, ia tidak mau peduli dengan yang lainnya. 

Ketika keduanya meratapi nasib yang akan terjadi pada desa diujung hutan, tiba-tiba portal dimensi tercipta di atas langit. Tepat di atas hutan, portal dimensi terbuka lebar hingga radius sepuluh meter. 

Dari dalam portal nan gelap itu, keluar puluhan iblis bersayap. Rupa mereka seperti seekor kelelawar, namun tubuhnya berbadan seperti manusia. Cakar tajam menghiasi setiap jemarinya.

"Oh, tidak. Apa itu yang kau maksud sebagai portal dimensi?" Raka perlahan mundur ke belakang karena terkejut. 

"Ini gawat, kukira portal itu akan terbuka besok!" Ki Joko Gendeng merasa panik. 

"Sepertinya perhitunganmu gagal total." Raka tertegun dalam ketakutannya ketika para iblis menyerang desa.

Banyak wanita dan anak-anak saling berlarian menyelamatkan hidup mereka. Diantaranya bersembunyi di balik meja, di dalam rumah dan yang lainnya justru melawan nasib dengan menghajar iblis itu. 

Banyak pria yang tewas dengan keadaan usus terburai dari tubuhnya. Kepala putus dan anggota tubuh yang berserakan di jalan-jalan kampung. Dalam hitungan detik, para iblis telah menyebar ke seluruh desa dan membantai seluruh warganya. 

Dan ketika salah satu iblis bersayap menoleh ke arah Raka dan Ki Joko Gendeng, keduanya mulai panik dan langsung lari menuju ke hutan di belakang mereka. 

"Lari!" Teriak Ki Joko Gendeng.

Mereka berdua menerobos barisan semak-semak tinggi dan tidak sekali pun menoleh ke belakang. Raka merasakan denyut jantungnya berdetak cepat. Ia seperti sedang dipecut untuk lari secepat kuda. 

"Iblis itu masih di belakang!" Raka menoleh sebentar.

"Ikuti aku!" Teriak Ki Joko Gendeng. Ia tiba-tiba berbelok ke arah kanan.

"What!" Raka terkejut karena pria tua itu tiba-tiba merubah arah jalannya. 

Sayangnya, iblis bersayap malah terus mengikuti Raka. Iblis tersebut melesak lebih cepat dan langsung menyenggol punggung Raka hingga pemuda itu jatuh berguling dan menghantam sebuah batang pohon besar.

BRAK!!!

AAARGGH!!!

IbIis bersayap berteriak. Ia segera mendarat dan langsung lari ke arah mangsanya. 

"Maaf bila menyela keributan ini. Tapi kau bisa melakukan order barang dari dunia nyata untuk mempertahankan hidupmu. Tulis apa pun dengan pena itu di telapak tanganmu atau di kulitmu. Cepat!" Sesosok pria berkumis muncul di samping Raka.

"Oh, shit!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status