“Aku gak apa-apa, Daddy! Masa Daddy gak percaya sih? Aku mau pulang aja!” rengek Venus pada ayahnya Arjoona. Arjoona tersenyum pelan dan sedikit memindahkan beberapa helai rambut Venus ke balik telinganya.
“Sebaiknya kamu istirahat di sini saja dulu hanya untuk malam ini saja. Besok pagi setelah pemeriksaan menyeluruh, kamu baru boleh pulang. Iya kan, Nathan?” tanya Arjoona sekaligus menoleh ke belakang melihat dr. Nathan yang berdiri di sebelah Jayden Lin. Dr. Nathan langsung mengiyakan dengan senyuman dan menaikkan kedua aliasnya bersamaan.
“Iya, lagi pula kamar ini kan bukan kamar perawatan biasa. Kamu dapat kamar VVIP yang senyaman kamar pribadi. Besok setelah Om memastikan kamu baik-baik saja, kamu baru boleh pulang” sambung dr. Nathan menimpali.
Venus hanya bisa diam saja. Arjoona pun mengecup kening Venus sebelum ia pamit pulang.
“Daddy pulang dulu, besok kalau kamu mau Daddy bisa jemput ...” tawar Arjoona dan Venus langsung menggelengkan kepalanya.
“Gak Dad, aku pulang sendiri saja. Toh, ada pengawal!” ujar Venus sembari melirik pada Dion yang berdiri tak jauh dari pintu masuk. Dion hanya diam saja dan sedikit menundukkan pandangannya.
“Ya sudah, Daddy pulang dulu ya, Sayang. Be good girl, I love you!” ujar Arjoona seraya membelai sebelah pipi Venus yang tersenyum menanggapi sang ayah. Jayden juga ikut menghampiri dan pamit pada Venus. Venus tersenyum dan ikut menerima kecupan di sisi kening dari Jayden.
“Kami pulang dulu, Nat!” Arjoona menepuk lengan Nathan dan Jayden sempat memeluk Nathan sebelum ia ikut keluar.
“Jaga Venus!” ujar Arjoona pada Dion saat dibukakan pintu olehnya.
“Baik, Pak!”
Jayden pun ikut melirik pada Dion dan tak mengatakan apa pun selain pergi mengikuti Arjoona.
“Kalau ada apa-apa sama luka kamu, kasih tahu. Panggil perawat dengan tekan tombol ini, mengerti?” ujar Nathan menunjuk tombol di sisi ranjang Venus sebagai tombol darurat dan panggilan pada petugas medis yang berjaga. Dr. Nathan pun keluar dari kamar tersebut tanpa melihat pada Dion yang masih jadi pembuka pintu.
Saat hanya tinggal berdua, suasana jadi kembali sepi. Dion tak tahu harus berbuat apa selain menunggu. Venus pun menoleh pada Dion lalu tersenyum. Dion ikut membalas senyuman Venus dan menunduk lagi.
Tak berapa lama kemudian, seorang staf menghidangkan makan malam untuk Venus. Tapi daripada menggunakan meja lipat khusus pasien, Venus meminta agar makanan diletakkan di meja kopi dekat sofa saja.
“Terima kasih,” ucap Venus tersenyum pada staf tersebut. Ia berpaling dan mengajak Dion ikut makan malam.
“Ayo Mas, kita makan dulu!” ajak Venus dengan santai dan ia langsung duduk. Dion jadi bingung dan sedikit kelabakan. Kenapa sekarang ia malah diajak makan?
“Silakan, Nona. Saya bisa makan di luar saja,” balas Dion mempersilahkan Venus makan sendirian. Venus tampak sedikit tak enak. Tapi lebih aneh lagi jika ia makan dan Dion hanya berdiri saja.
“Gak apa, Mas. Kita bisa berbagi ...”
“Jangan! Akan sangat mengganggu Nona nantinya. Saya akan menunggu di luar saja. Silahkan nikmati makan malamnya.” Dion masih bersikeras menolak dan meninggalkan Venus sendirian di kamarnya. Venus terpaku ditolak oleh Dion seperti itu. Perlahan ia menatap telapak tangan kirinya yang terluka.
Venus adalah seorang kidal. Ia lebih banyak menggunakan tangan kirinya dari pada sebelah kanan termasuk untuk urusan makan.
“Kenapa dia malah takut sama aku?” gerutu Venus bergumam sambil cemberut. Bahkan Dion pun menghindar darinya.
Di luar kamar, Dion harus mengatur detak jantungnya yang aneh gara-gara tawaran Venus. Sesungguhnya Dion tak mengerti dengan detak jantungnya yang sering melompat-lompat kala beberapa kali menatap Venus.
“Mungkin aku hanya capek,” gumamnya pada dirinya sendiri.
“Pak?” panggil Kyle menghampirinya. Dion pun berdiri lalu tersenyum.
“Sebaiknya kamu makan malam dulu, biar aku yang berjaga di depan pintu,” tawar Kyle pada Dion. Dion pun mengangguk.
“Langsung hubungi aku jika ada apa-apa!” perintah Dion sebelum ia pergi.
“Tentu saja, Pak. Pergilah, kamu butuh istirahat!” ujar Kyle lagi meyakinkan Dion. Dion lalu pergi meninggalkan koridor kamar Venus untuk makan di cafetaria rumah sakit. Ia memilih tempat terdekat untuk mengisi perut sekaligus beristirahat.
Sedang menikmati sandwich dan sebotol air mineral, ponsel Dion berdering. Dion cepat menyambar ponselnya mengira jika itu dari Kyle dan ternyata bukan. Keningnya sempat mengernyit sebelum mengangkat.
“Halo, Mas Dion?” sapa suara seorang gadis dari seberang panggilan.
“Halo, Yuli. Apa kabar kamu?” Dion balik menyapa Yuli. Tetangga sebelah rumah kontrakannya dan masih berusia 17 tahun.
“Baek, Mas. Mas Dion kok gak pulang-pulang sih? Tugas di luar kota ya?” Dion menggaruk sisi tekuknya sedikit meringis. Ia memang hanya memberitahu keluarga dekat yaitu neneknya dan tunangannya Laras jika sekarang Dion ada di New York.
“Iya ... begitu deh kira-kira. Ada apa, Yul? Tumben kamu telepon Mas?”
“Habisnya Mas Dion gak pernah ada di rumah!” sungut Yuli dan Dion hanya tersenyum tipis.
“Ya ada apa kamu telepon aku, bukannya ini jam ... masih sekolah?” Dion melirik jam tangannya dan ada sekitar 18 jam perbedaan waktu dengan di Indonesia.
“Aku ... ehm ...”
“Kamu bolos ya?” potong Dion cepat.
“Gak Mas. Ada yang harus aku kerjain di luar sekolah. Ah, tapi itu gak penting! Aku mau ngasih tahu sesuatu yang penting ni, Mas!” Dion jadi mengernyitkan keningnya mendengar Yuli seperti tengah bermain kucing-kucingan.
“Hal penting apa?”
“Aku barusan lihat Mba Laras sama temenmu yang suka ke rumah itu lho, Mas. Siapa namanya?”
“Rico!” sahut Dion cepat.
“Iya itu! Aku lihat mereka jalan berdua lho Mas dari restoran Jepang gitu.” Dion mendengus dan tersenyum.
“Jadi?”
“Lho, kok jadi? Mas Dion tenang-tenang saja!” protes Yuli lagi.
“Ya kan mereka kerja di bank yang sama. Laras jadi customer service dan Rico itu staf dalam. Apa yang salah kalau mereka keluar sama-sama buat makan siang?” balas Dion balik mempertanyakan esensi dari laporan itu.
“Jadi Mas ngijinin Mba Laras jalan ma cowok laen?”
“Cowok laen itu teman dan sahabatku sendiri, Yul. Lagian Laras dan Rico kerja di satu tempat dan mereka sudah biasa sekali pergi makan siang!” bantah Dion balik membela kekasihnya.
“Tapi kan dia bisa ajak orang lain buat nemenin biar gak berdua doang!” cetus Yuli membalikkan keadaan. Dion hanya bisa diam saja tapi ia memang bukan orang yang gampang terpengaruh.
“Yul, Laras itu sedang penghematan untuk biaya pernikahan kami. Kalo dia ngajak orang lain bisa jadi karena dia gak enak kalo gak nraktir,” tukas Dion memberikan argumentasinya.
“Tapi, Mas ...”
“Udah, daripada kamu mikir yang gak-gak, mending kamu balik ke sekolah atau pulang deh! Nanti kalo telat pulang, ibu kamu bisa marah!” ujar Dion menasihati.
“Ah, Mas Dion.”
“Sudah, nanti kalo Mas pulang, Mas belikan kamu oleh-oleh deh. Sekarang pulang ya. Biarin Laras di situ, jangan ganggu dia, hmmm!” Dion pun langsung mematikan panggilan dan menghela napas.
“Ah, ada-ada saja anak kecil!”
Dion masuk ke ruang perawatan Venus tepat saat wanita itu hendak masuk ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya. Venus langsung tersenyum dan menyapa Dion.“Sudah makan malam, Mas?” Dion mengangguk sekali dengan rasa agak aneh serta malu-malu. Ia sedikit mendekat dan Venus bersikap seakan mereka telah akrab.“Tolong bantuin aku di kamar mandi, boleh gak, Mas?” pinta Venus tiba-tiba. Mata Dion spontan membesar dan memutar tak mengerti.“Uh ...”“Sebentar aja!” Venus tak menunggu persetujuan Dion. Ia terus menarik pergelangan tangannya yang tak terluka ke kamar mandi di dalam ruangan itu.“Tapi ...” Venus langsung memberikan tas make upnya pada Dion. Dion terkesiap dan spontan memeluk tas itu.“Di sini gak ada meja basin, Mas. Jadi aku gak tahu di mana harus menaruh tasnya. Maaf ya?” Dion hanya tertegun saja pada celetukan dan senyuman Venus yang memanfaatkannya sebagai tempat untuk memegang tasnya. Venus mencoba membuka tutup botol skincare yang akan digunakan dan cukup kesulitan.“B
Dion duduk di sebelah ranjang Venus dengan posisi menyamping. Sementara Venus ikut menyamping menghadapnya. “Masih sakit?” tanya Dion pada keadaan tangan Venus. Venus mengangguk dan sedikit tersenyum. Dion sedikit berpikir dan bingung harus berbuat apa untuk membantu. “Apa yang bisa saya lakukan?” Dion mulai pasrah. Ia tak punya ide sama sekali. Venus tersenyum saja dan meminta hal yang lebih aneh. “Kalau mau, Mas Dion boleh tiupin telapak tanganku!” Venus menyengir lalu menyodorkan telapak tangannya pada Dion langsung di depan wajahnya. Dion sampai terkesiap dan kepalanya mundur ke belakang. “Huh ...” Venus malah terkekeh dan masih meletakkan tangannya untuk ditiupi oleh Dion. “Tapi ...” “Ayo, katanya mau tanggung jawab!” potong Venus cepat. Dion pun dengan polosnya meniup perlahan luka lecet itu agar tak terlalu perih. “Yang lebih deket dong, Mas! Gak terasa!” protes Venus makin mengerjai Dion. Dion diam sedetik lalu mendekat
Dion akhirnya pindah untuk duduk di sebelah Venus usai ia bicara seperti itu. Dion mulai khawatir dengan keadaan Venus. Selain jika dia akan mendapatkan banyak kesulitan dengan makin lamanya bergulir kasus karena ia menarik kesaksiannya, Dion juga tak bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik jika itu terjadi. “Nona, dengarkan saya. Jika Nona tidak bicara dan malah menarik kesaksian itu maka kebenaran tidak akan terungkap. Sebaliknya, kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi sebenarnya,” ujar Dion sambil memegang tangan Venus. Venus terus menatap Dion dan terpaku hanya padanya. Dion pun tak lagi membuat jarak kali ini. Ia membujuk Venus sepenuh hati. “Tapi aku takut, Mas. Bagaimana jika dia marah dan balik menyerang? Atau dia kabur?” rengek Venus masih meneteskan air matanya. Venus terlihat sangat ketakutan karena ini kali pertama ia akan bersaksi. “Nona, saya ada di sini. Saya akan selalu melindungi Nona 24 jam tanpa jeda. Tidak akan ada lagi insid
“Mas kok nanya-nanya terus, piye toh Mas? Mas Rico itu kan temenmu!” tegur Laras mulai menaikkan nada bicaranya. “Iya, aku tahu. Aku kan cuma nanya kamu ngapain saja!” jawab Dion dengan suara memelas. Ia jadi agak menyesal menanyakan perihal kekasihnya yang pergi bersama Rico, sahabatnya. Tak ada maksud Dion untuk curiga. Tapi kejadian yang terjadi pada Venus membuatnya sedikit was-was. “Tapi nada bicaramu itu lho! Curiga sama aku! Mas pikir aku bakalan selingkuh?” “Bukan begitu, Sayang. Aku gak nuduh kamu kayak begitu. Aku cuma gak mau Rico jadi kebeban harus nganterin kamu,” sahut Dion memberikan alasannya. “Ya Mas Rico-nya baik-baik saja toh!” bantah Laras masih sengit. “Ya sudah, aku minta maaf. Aku gak bermaksud sama sekali curiga sama kamu, enggak! Aku tahu kamu setia sama aku dari dulu. Kita sudah pacaran dari SMA, masa kamu mengkhianati aku. Kan ga mungkin!” sahut Dion meyakinkan lagi. “Ya gak mungkin toh, Mas. Aku tuh cinta sa
“Dasar pengawal bodoh! Ini bukan urusanmu!” bentak Gareth makin marah. Dion yang juga marah tapi tak menyalak lebih memilih untuk menepikan Venus terlebih dahulu. “Kyle, tolong antar Nona Harristian kembali ke kamar!” perintah Dion dengan nada dingin. “Apa-apaan ini! Aku sedang bicara dengan calon istriku!” hardik Gareth menunjuk marah pada Dion. Dion tak peduli. Ia mengawasi Kyle yang mengantarkan Venus kembali ke kamarnya. Gareth mencoba mencegah dengan ikut tapi Dion dengan cepat menghalangi dengan berdiri di depannya. “Apa yang sedang kau lakukan?!” “Silahkan keluar, Tuan Moultens ...” “Felipe, tolong tunjukkan pintu keluar pada Tuan Moultens!” perintah Dion menyambungkan kalimatnya. Gareth benar-benar mendelik keras pada Dion yang ikut campur pada masalahnya dan Venus. “Silahkan, Tuan Moultens!” tukas Felipe makin menimpali. “Kau pikir aku tidak tahu di mana pintu keluar?! Dasar bodoh!” umpat Gareth begitu kesal da
“Aku pacaran sama Laras semenjak SMA. Kami sama-sama kuliah di Surabaya dan setelah aku lulus di Kepolisian, kami masih bersama. Sebelum aku naik pangkat dan pindah ke Jakarta, kami bertunangan. Kebetulan Laras juga harus pindah kerja di salah satu cabang bank di Jakarta juga,” ujar Dion bercerita dengan santai soal kehidupan asmaranya. Dengan senyuman dan raut bahagia, Dion seperti tengah bercerita pada temannya sendiri.Venus tersenyum dan mengangguk. Dion masih bercerita beberapa hal dan Venus hanya mendengarkan.“Dia wanita yang beruntung,” puji Venus masih tersenyum. Dion mengulum senyumannya dan menundukkan kepala.“Kapan Mas Dion akan menikah?” tanya Venus lagi beberapa saat kemudian.“Aku harap secepatnya.” Dion lalu menoleh pada Venus yang juga ikut tersenyum manis padanya.“Aku juga ingin menikah, Mas. Punya anak, jadi ibu rumah tangga. Rasanya seperti life goals yang sulit untuk aku d
Wangi parfum yang lembut khas Dior membelai ujung penciuman Dion. Ia mencoba melawan tapi kedua tangan lembut itu memeluk pinggangnya.“Jangan pergi, Mas,” gumam suara lembut itu membujuknya agar tak meninggalkannya. Napas Dion mulai tercekat. Pipinya menekan punggung belakangnya dengan lembut. Wangi bunga khas Dior adalah pelecut gairah Dion saat ini.Tekuknya meremang, tangannya dingin. Mungkin AC di kamar terlalu kencang. Tapi lebih dari itu, Dion merasakan kehangatan di hatinya. Lama ia tak bergetar seperti itu. Lama ia tak merasakan dicintai begitu besar.Dion menyentuh dua tangan cantik dengan kulit yang lembut bagai bayi. Rasanya membelainya pun jadi segan. Dion takut tangannya yang kekar dan biasa memegang hal keras malah melukainya.Dion berbalik perlahan dan wangi lembut itu makin jelas masuk ke dalam otaknya. Ia memproses satu kondisi, rasa panas yang membahagiakan. Mata cantik itu berkaca-kaca menatap Dion. Bibirnya yang sens
HOTEL BORDEAUX, DUA JAM SEBELUMNYAVenus berjalan masuk ke dalam kamar presidential suite untuk memenuhi permintaan tunangannya Gerald Moultens. Ia merasa mungkin bisa bicara untuk melihat ke mana arah hubungan mereka selanjutnya.Venus terkejut saat masuk dan melihat meja untuk makan malam romantis telah ditata Gareth di dekat balkon kamar.“Apa ini?” Venus berbalik dan Gareth tersenyum manis.“Kejutan untuk kamu,” jawab Gareth dengan sikap yang berbeda. Ia seperti Gareth yang dulu, manis, penuh kejutan dan menyenangkan. Venus tak bereaksi. Ia hanya melihat saja dan Gareth mendekat untuk membujuknya duduk.“Aku tahu kamu marah. Tapi aku bersumpah, jika pria di dalam video itu bukan aku. Sungguh, aku tidak mungkin melakukan itu padamu,” bujuk Gareth dengan nada memelas. Venus hanya diam saja memperhatikan. Hatinya sudah terlanjur sakit dan sadar jika Gareth menyakitinya.“Kamu bisa tanyakan pada sekr