Pagi ini Juni terbangun di kamar Saga. Ia sempat mengira dirinya bermimpi, tapi sepertinya semalam dia masuk ke kamarnya dan ketiduran di sana.
Mengapa ia ada di sini?
"Anda sudah bangun?"
Juni mengira ia bisa mendengar suara Saga pagi ini, mengingat sekarang ia berada di kamar pria itu. Namun, yang ada di hadapannya adalah Lenna. Tak ada tanda-tanda keberadaan Saga di dalam kamar.
"Kenapa aku ada di sini?"
Lenna mengerutkan kening sejenak sebelum menatap Juni bingung seolah Juni mengatakan dirinya adalah manusia setengah dewi. "Anda memang tidur di sini."
Juni menggeleng yakin. "Tidak, aku tidur di kamarku yang lama."
"Kenapa Anda tidur di sana?"
Juni mengerjap, lalu terdiam kaku. "Ah, aku hanya ...."
Dari raut wajah Lenna, Juni yakin dia sudah menebak apa yang terjadi antara dirinya dan Saga.
"Sejak Tuan meninggalkan kamar, saya melihat Anda tidur di ranjang itu. Mungkin Nyonya sedang bermimpi."
Lama-lama Saga merasa bosan. Tidak. Ia merasa sesak terus-terusan mengabaikan Juni. Satu hari rasanya seperti satu tahun. Ia tak bisa menahan diri untuk menatap wanita itu dan bahkan memeluknya.Sayangnya, ia memiliki banyak pekerjaan. Ia harus mempelajari dokumen tentang struktur perusahaan dan pemegang saham Lahendra yang diberikan oleh Maria. Dirinya harus jeli dan teliti dalam menyusun rencana untuk membumihanguskan Lahendra.Karena itu, Saga memilih mendiamkan Juni agar tetap fokus, karena Lahendra bukanlah perusahaan biasa yang bisa dia akuisisi dengan mudah. Tapi, lebih daripada itu, dia masih merasa janggal dengan perasaannya. Sejujurnya, Saga belum mampu menerima anak itu. Hatinya merasa marah saat melihat perut yang di dalamnya ada anak dari lelaki lain.Saga merasa kalah.Ia ingin membunuh saja anak itu dan membuat anaknya sendiri.Melihat Juni yang meringkuk di atas ranjang membuat Saga menghela napas. Sampai kapan dia
Juni terbangun dini hari hanya untuk mendapati dirinya memeluk Saga dan menjadikan dada lelaki itu sebagai bantal, sementara Saga tidur telentang dengan kening yang mengernyit.Serta merta ia menjauh, merasa malu karena seenaknya memeluk pria itu. Saga pasti tidak suka dengan kelakuan tidak tahu malunya. Mengingat betapa abainya lelaki itu selama dua hari ini, seolah ia sangat membenci Juni.Melihat kening Saga yang berkerut gelisah, membuat Juni mengulurkan tangan untuk menyentuhnya, tapi urung. Tiba-tiba saja ia merasa kesal karena Saga mempermainkannya seenak hati.Ia bergeser ke tepi ranjang, lalu berbaring memunggungi Saga. Ia kembali memejamkan mata, tapi sedetik sebelum alam bawah sadarnya mengambil alih, dirasakannya tangan keras yang melingkari perutnya.Juni kembali membuka mata dan mendapati Saga yang mendekapnya erat sambil menggumamkan sesuatu.Juni merasa sesak dan berdebar dalam waktu bersamaan. Ingin melepaskan pelukan Saga, tapi le
"Aku menginginkanmu." Saga mengatakan itu sekali lagi. Membuat Juni terhenyak.Sudah seringkali ia mendengar Saga mengatakan itu padanya. Tapi, jika Saga sampai membawanya ke alam mimpi, maka Juni harus berusaha menyingkirkan pikiran bahwa lelaki itu memang sangat menginginkannya—karena ia akan kecewa lagi."Menginginkanmu, Juni. Juni ...."Juni menghela napas. "Tapi, apa kau juga juga menginginkan anak ini?"Saga membalas pertanyaan nanarnya dengan erangan pelan sebelum lelaki itu tertidur. Napasnya mulai berembus teratur, meninggalkan senyum pahit pada bibir Juni.Juni menatap baju di tangannya. Dadanya yang sesak membuatnya tak sanggup untuk menggantikan baju Saga. Ia membuang kaus itu di tepi ranjang, lalu keluar kamar dan memanggil pelayan."Tolong gantikan bajunya."Membiarkan dua orang pelayan masuk sementara dirinya menjauh dari kamar. Menuruni beberapa anak tangga sebelum merasa dirinya tidak sanggup melewati semu
Saga tampak sangat liar dengan kemeja yang tidak terkancing. Satu bulir keringat menetes dari rambutnya yang basah, menuruni pelipisnya lalu terjatuh ke pipi Juni. Lelaki itu menatap Juni tajam, seolah tak mengenalnya. Juni mengerutkan kening lalu membuka suara, "Aku menggantikan bajumu."Rahang Saga mengetat secara otomatis. Napasnya berembus panas di wajah Juni. "Beraninya kau ...." Sekonyong-konyong lelaki itu melumat bibir Juni tanpa ampun. Menyalurkan rasa panas yang seketika menjelajahi seluruh tubuh Juni.Ada apa dengan Saga?Dia tampak tidak sadar ketika mencium Juni secara membabi buta. Maka, Juni mendorong dada Saga untuk membuat lelaki itu kembali sadar.Apa ini karena demamnya?Saga seolah tak ingin berhenti, sampai Juni merasakan bibirnya kebas dan sedikit berdarah. Ciuman Saga tak tanggung-tanggung, seolah seluruh emosinya ia tuangkan dalam kuluman bibirnya.Lama kemudian, barulah bibirnya yang basah menurun
Beberapa menit yang lalu, Saga merintih berulang kali. Sesekali ia akan mengerang marah sambil mengepalkan kedua tangan di atas ranjang. Matanya terpejam rapat sedang dahinya mengernyit."Saga?" Juni memanggil berulang kali, yang hanya dibalas dengan erangan kesakitan.Diliriknya jam dinding yang memberikan kabar bahwa waktu makan malam sudah lewat. Juni belum memberikan obat kepada Saga.Saga menggertakkan gigi dalam tidurnya. Rintihannya semakin keras. Napasnya pun terengah-engah seperti baru saja berlari puluhan kilometer."Saga ... bangunlah." Juni menepuk pelan pipi Saga, meratakan kernyitan di dahinya dengan ibu jari, kemudian mengusap wajah Saga lembut.Cara itu berhasil. Saga membuka mata, walau terlihat seperti orang yang bermimpi buruk."Kau bermimpi buruk? Tidak apa-apa, itu hanya mimpi." Juni berusaha menjaga nada suaranya tetap lembut. Berharap bisa menenangkan gelisah di hati Saga.Saga menatapnya nyala
Esoknya Fras mendatangi kediaman Atlanta. Tak mengindahkan ucapan Leticia semalam. Ini masih sangat pagi. Dia berharap bisa bertemu dengan Saga Atlanta yang belum berangkat ke kantor sekaligus dengan sang kakak.Jangan-jangan Juni disekap dan diperlakukan seperti Jeni di dalam sana. Fras memejamkan mata sejenak untuk mengontrol emosi negatif dalam dirinya sebelum menguasai diri saat dua pengawal yang menjaga gerbang Atlanta menanyai identitas dan tujuannya."Saya Fras Lahendra, adik Juni Lahendra.""Sudah buat janji dengan Nyonya Besar?"Kening Fras mengerut. Memangnya dia perlu membuat janji untuk bertemu kakaknya sendiri?"Saya ingin menjenguknya, saya belum sempat menengoknya sejak dia hamil."Fras baru ingin menjenguk Juni di rumah sakit waktu itu, tapi tiba-tiba ada kabar menghilangnya Jeni sehingga membuat perhatiannya teralihkan."Saya akan mengabarkan dulu kepada Tuan dan Nyonya."Fras mengerjap. "Apa Tuan Atlanta juga
Fras keluar dari ruang kerja pribadi Saga dengan wajah kalut. Menghadapi Saga Atlanta secara langsung lebih mengerikan ketimbang mendengar rumor yang disebar orang-orang.Saga Atlanta mampu menemukan titik lemahnya dan membuat dia tak bisa berkutik. Penawaran gila yang diberikan Saga sungguh tak bisa diterima oleh akal sehat Fras.Lebih tak masuk akal lagi jika mereka harus habis satu per satu di tangan lelaki itu."Aku tak mengecualikan ayahmu asal kau tahu. Dia tak jauh beda dengan ayahku, sama-sama keparat. Karena itu aku membunuh ayahku sendiri," ucap Saga sebelum Fras keluar dari ruangannya beberapa detik yang lalu. Ada senyum dalam bibir tipisnya yang membuat sekujur tubuh Fras menggigil.Fras bahkan kesulitan mengangkat kakinya sendiri. Aura Saga memang tak bisa dipungkiri. Lelaki itu mampu mendominasi pikiran lawan bicaranya dalam sekejap.Fras menjauhi ruang kerja Saga, turun ke ruang tengah untuk melihat Juni masih ada di sana. Saat melih
Suasana di meja makan kediaman Lahendra sangatlah kelam. Sunyi dan menyesakkan. Tegang seperti lapisan es yang sangat tipis.Tak ada yang bersuara sedikit pun. Wajah-wajah di meja makan terlihat kalut, tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing, seolah di depan mereka ada sumur dalam yang siap mengisap habis mereka.Makanan-makanan lezat dan mewah di hadapan mereka tak tersentuh. Tangan mereka memegang sendok dan garpu, tapi hanya sekadar dipegang.Fras-lah yang pertama kali mengangkat wajah dari piringnya, lalu menatap satu per satu anggota keluarganya. Mungkinkah ini jalan keluar terbaik yang diberikan oleh takdir untuk keluarga mereka?"Ayah," panggilnya, pelan dan ragu.Sandi mengangkat mata dan membalas tatapan Fras. "Ada apa?"Fras menelan ludah. Tenggorokannya terasa panas, begitu sulit untuk meloloskan suaranya. "Ayah sudah menemukan pelakunya?"Sandi menarik napas detik itu juga. Wajahnya sangat kalut dengan kantung m