Juni mengedarkan pandangan ke seluruh kamar. Mengernyit ketika mendapati pakaiannya berserakan di lantai samping ranjang, pun dengan milik Saga. Ia merona malu saat pakaian dalamnya juga bertebaran.
Rasa berat masih terasa di kepalanya setiap kali ia bergerak. Juga perih di area selangkangan dan pegal-pegal di seluruh tubuhnya.
Suara deras air dari pancuran shower terdengar, gesekan kulitnya dengan selimut dan kicau burung yang sayup-sayup di luar jendela.
Juni bergerak hendak bangkit dari tempat tidur. Ia harus segera pergi dari sini.
"Akh!" Gila! Seluruh sendi tubuhnya terasa lepas dari engselnya. Tulang-tulangnya berasa remuk.
Sebenarnya malam seperti apa yang sudah mereka lalui?
Ia tertatih memungut satu per satu pakaiannya kemudian memakainya sambil meringis.
Juni menoleh ke arah kamar mandi, memastikan Saga belum keluar dari sana. Menarik napas sebelum membuka kenop pintu dan meninggalkan kamar.
Juni meringis di ten
Satu jam kemudian, Edward datang dan menghampiri Saga."Kami sudah menemukan keberadaan Nyonya, Tuan. Beliau ada di rumah lamanya.""Bagus. Ayo ke sana."Saga bangkit dari sofa kemudian melangkah keluar dengan wajah dingin. Pandangan matanya lurus seolah siap menjemput mangsanya yang kabur.Edward, sang kepala pengawal dan anak buahnya menuntun Saga melewati jalan yang belum pernah dilaluinya. Perkampungan kumuh yang sepi dengan jalanan licin dan sedikit berlumpur.Mobil sport biru itu berhenti di depan halaman rumah tua yang sudah reot dengan dinding mengelupas.Mengerutkan kening, Saga menatap rumah itu lurus. "Ini tempatnya?""Iya, Tuan. Nyonya ada di dalam."Saga membuka pintu mobil dan berjalan pelan memasuki area rumah itu. Dalam pikirannya, ia merasa heran. Mengapa ada orang yang bisa tinggal di rumah kecil dan tua seperti ini? Dibandingkan rumah, lebih cocok jika dijadikan lokasi syuting film horor. Gelap da
Saat Juni terbangun di tengah malam, ia berada dalam pelukan Saga. Lelaki itu mendekapnya sedikit lebih erat. Ia baru menyadari jika dada Saga ternyata sangat bidang, otot-ototnya begitu keras. Juni mendongak untuk melihat wajah Saga. Rahang yang sangat tajam itu membuat tangan Juni bergerak nakal menelusurinya. Jika sedang tidur, ia tampak tak berbahaya. Hanya seperti lelaki biasa yang tidak akan marah cuma karena hal sepele. Tangan Juni terangkat hendak menyentuh bulu mata yang panjang nan hitam itu ketika Saga menangkap pergelangan tangannya. Juni terkesiap dan langsung menatap mata Saga yang sudah terbuka lebar. Sekarang dia tampak begitu liar dan berbahaya. Juni menelan ludah, sedikit gentar karena tatapan yang tak putus itu. "Sudah pagi?" tanyanya dengan lugas. "Belum. Masih tengah malam." Saga memejamkan mata sejenak sebelum kembali menatap mata Juni. "Ayo kita pulang." Juni belum mengatakan apa pun ketika Saga ban
Juni terperangah, memandang punggung Saga yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Untuk waktu yang lama ia merinding hingga tak bergerak sama sekali.Liar dan berbahaya.Dipandanginya pintu kamar mandi yang tertutup. Beberapa menit lagi Saga akan keluar dan mungkin akan menagihnya.Juni tahu dirinya tidak punya pilihan lain selain itu. Tidur sekamar dengan Saga—dan melayaninya setiap malam, mengingat betapa besarnya gairah lelaki itu—atau melihatnya bercinta setiap malam dengan wanita yang berbeda.Bukan karena cemburu. Ia hanya muak jika terus menonton percintaan yang menjijikkan itu."Jika setuju, maka hanya ada kita yang akan bercinta setiap malam sampai kau tidak bisa berjalan dengan benar."Juni bergidik mengingat perkataan lelaki itu. Itu juga bukan pilihan yang bagus. Ia menutup wajah dan mengerang frustasi. Sama sekali tidak ada habisnya. Saga dan keegoisannya tidak pernah berakhir."Sud
Juni membanting pintu kamar dengan jantung berdebar liar. Dadanya berdenyut nyeri dan ia merasa perlu menarik napas lebih dalam untuk menghilangkan sesak di dadanya. Diliriknya lemari yang terbuka dengan pakaian yang berantakan. Padahal ia baru ingin mengemas pakaiannya dan memilih tinggal di kamar Saga. Ia tidak bisa membiarkan dirinya direndahkan. Dia bukan budak seks dan boneka yang bisa dipermainkan. Tekadnya memang teguh, tapi yang membuatnya merintih adalah dadanya yang kian sesak dan tiba-tiba saja setetes air jatuh dari matanya. Juni tertegun menyadari dirinya baru saja menangis. Dengan cepat dihapusnya air mata itu, mendongak untuk menahan air mata yang hendak keluar dengan deras. Pintu di belakangnya diketuk dengan sopan. "Ini Lenna, Nyonya." Juni menepuk-nepuk kelopak matanya yang sembab sebelum membuka pintu, kemudian mengatur ekspresinya sedatar mungkin. "Boleh saya masuk, Nyonya?"
Saga menatap dirinya lewat cermin wastafel. Wajah dingin yang kejam itu memandangnya dengan ekspresi yang rumit. Dalam mata cokelat yang bersinar di bawah lampu kamar mandi itu terpancar kebingungan, kemarahan, kekecewaan, dan luka yang besar."Aku memilih pilihan yang kedua asal kau tahu.""Kalau kau sebegitunya menyukai seks, aku akan berdiri di sudut kamarmu dan melihat hobimu yang tidak beradab itu."Saga menggertakkan gigi. Seluruh rasa yang tadi menyelimutinya terkalahkan oleh amarah ... dan dia kebingungan harus marah pada siapa.Apakah pada wanita itu yang mengatainya maniak seks dan tak beradab, atau pada dirinya yang memang sudah melakukan apa yang dikatakan sang istri.Detik berikutnya ia tertawa miris. Ia memang maniak seks. Memanggil wanita manapun untuk melampiaskan hasrat dan amarahnya. Itu memang benar.Memaksa Juni untuk menonton percintaannya memang tak beradab. Memang benar. Dia tidak beradab.Dia
Sudah tiga hari Saga tak terlihat. Ia tak pernah ikut sarapan ataupun makan malam. Ini di luar ekspekstasi Juni. Dia pikir Saga akan kembali memaksanya berdiri di sudut kamar dan menonton adegan bercintanya setiap malam.Tapi lelaki itu malah tidak pernah menampakkan batang hidungnya.Tak ada yang memaksanya, hidupnya tenang selama tiga hari ini dan ia merasa sangat lega.Harusnya itu yang dia rasakan alih-alih merasa gelisah dengan dada berdenyut nyeri. Mestinya ia menyegarkan pikiran ketimbang terus memikirkan hal-hal yang tidak penting, seperti:"Apa perkataanku keterlaluan?""Ya? Ah, tidak ... memang saya yang salah."Juni terkesiap ketika menyadari ia telah mengatakan isi pikirannya dengan lantang. Menunduk untuk mendapati Sarah yang berlutut di hadapannya sambil membersihkan pecahan mangkuk. Juni mengerutkan kening di atas ranjang."Apa yang terjadi?""Sa-saya menumpahkan sup yang saya
"Aku merindukan bibirmu." Saga mengecup bibir Juni secepat kilat.Jantung Juni mendadak diliputi debaran yang aneh."Aku merindukan matamu yang pembangkang itu." Napas Saga berembus keras di wajah Juni hingga kedua pipi wanita itu merona."Jangan menyiksaku dengan rasa bersalah. Aku tidak akan meminta maaf."Juni merasakan tubuh Saga yang menindihnya kian berat. Tubuh mereka menempel hingga Juni bisa merasakan dada Saga yang panas. Lelaki itu terus meracau dan mengucapkan kata-kata yang tidak ia mengerti."Kau mabuk. Bangunlah."Juni mencoba mendorong tubuh Saga, tapi lelaki itu bergeming dan malah menyandarkan kepala ke bahu Juni. Napasnya mulai berembus teratur dan tubuhnya menjadi sangat berat.Dan akhirnya Juni merasakan lelaki itu tertidur di atas tubuhnya. Tubuhnya sangat berat sekaligus panas. Susah payah Juni memindahkan Saga ke samping dan mengatur posisinya dengan nyaman.Ia mencari-cari selimut untu
Lelaki berambut ikal dengan postur tinggi itu masih membeku. Matanya terbuka lebar menghunjam Juni.Rafael Estigo.Juni menggumamkan nama itu lamat-lamat di hatinya. Sudah lima tahun mereka berpisah dan tak lagi bertukar kabar. Dari reaksi lelaki itu, Juni akhirnya mengukuhkan tebakannya bahwa dia memang adalah Rafael.Jantung Juni berdebar dengan hebat dan hatinya berdenyut luar biasa sakit. Bagaimana sang suami yang dulu dia cintai dan sekarang dia benci ada di hadapannya, sedang menggendong gadis lain yang bersandar pada dadanya dengan manja.Ia bisa mendengar degup jantungnya yang kian menggila ketika lelaki berambut hitam ikal itu mengerjap dan menatap penuh rindu padanya. Sinar hangat dan penuh kasih dalam mata kelam itu terasa masih sama.Juni menggigit bibir dan membuang muka ketika lelaki itu mulai membuka mulut untuk mengucapkan sesuatu."Mau jalan sekarang, Nyonya?"Juni menyembunyikan ai