Juni menahan napas saat Saga berjalan perlahan mendekati tempatnya. Sorot mata lelaki itu begitu dingin, gesturnya terlihat tenang, namun Juni menangkap murka yang luar biasa dari dirinya.
Saga duduk di atas sofa sementara Maria dan Juni berdiri di hadapannya.
Lumayan lama atmosfer di antara mereka dikuasai keheningan, sampai Saga membuka mulutnya. "Kenapa diam? Kau tidak ingin mengatakan sesuatu, Nyonya Lahendra?"
Saga tampak sangat tenang untuk ukuran orang yang sangat marah. Juni merasa kemarahan lelaki itu seperti bom yang akan meledak pada waktunya.
Juni masih menunduk untuk menatap nanar lantai yang lebih bersahabat ketimbang wajah Saga yang tampak amat mengerikan di matanya. Padahal ia tak melakukan kesalahan apa pun, kenapa dia harus gemetar seperti ini?
"Saya membawanya dari rumah Rafael Estigo."
Juni menggigit bibir dalam-dalam. Pada akhirnya Maria akan mengatakannya. Tidak ada pilihan lain selain mengatakan kebenarannya.
Saga mengamati Juni yang terbaring kaku di atas ranjangnya. Wajah cantik wanita itu sangat pucat, napasnya pun berembus dengan lemah.Lama kemudian Saga memalingkan muka, dikepalkannya tangannya kuat-kuat dan dijauhkannya pandangannya dari wanita itu.Sementara Elliot memeriksa Juni dengan alat-alat yang dibawanya. Keningnya mengerut selama pemeriksaan itu kemudian terdiam seribu bahasa."Ada apa?" Saga bertanya tidak sabar setelah tidak ada suara apa pun dari Elliot.Elliot memiringkan kepalanya, berpikir cukup lama dan serius."Ck! Ada apa dengannya, Elliot?"Elliot menoleh dan menatap Saga aneh. "Ya ... kondisinya tidak begitu baik. Dia kelelahan dan kehilangan banyak energi, ditambah dengan shock yang lumayan hebat. Dan ...." Ucapan Elliot yang menggantung membuat sepasang alis Saga menukik."Dan apa?" tanyanya tak sabar."Dia hamil."Bagaikan tersambar petir di siang bolong, kedua mata Saga melebar. Jakunnya bergera
Mata Juni membelalak. "A-apa?""Kubilang gugurkan. Aku tak ingin hasil pengkhianatanmu mengotori rumahku!"Juni terhenyak untuk sekian lama sampai tak menyadari Saga sudah meninggalkan tubuhnya dan berdiri di samping ranjang."Aku akan memanggil dokter agar kandunganmu bisa digugurkan."Juni mengerjap. Tersadar dari keterkejutannya kemudian membuka mulut untuk melawan perintah Saga, namun lelaki itu sudah lebih dulu keluar dari kamar remang yang mahaluas itu.Tubuh lemahnya bangun dengan cepat, meremas kedua tangannya yang gemetar lalu menangis sejadi-jadinya. Dia tak bisa kehilangan anaknya lagi. Dia tak akan sanggup bila kehilangan darah dagingnya untuk yang kedua kalinya.Sementara di luar kamar, Saga tengah berhadapan dengan Edward. Sejak tadi ekspresi Edward tak datar seperti biasanya, keningnya mengerut tidak setuju ketika Saga memerintahkannya memanggil dokter."Anda tidak bisa melakukan itu, Tuan.""Apa? Aku tidak
Juni tersentak kaget ketika pintu kamar diketuk dengan pelan. Ia segera meringkuk sambil melindungi perutnya.Seorang pelayan masuk sambil menunduk sopan. "Dokter sudah datang, Nyonya."Mata Juni membelalak. Tubuhnya seketika menggigil. Digigitnya bibirnya sampai menguarkan rasa asin.Ia menggeleng kepada pelayan itu. "Ti-tidak. Kunci pintunya." Ia tak bisa menggambarkan ketakutannya saat ini. Tangan dan kakinya gemetar sampai Juni tak bisa menggerakkannya."Dokter sudah ada di ruang tengah. Tuan berpesan agar Nyonya bersiap-siap.""KUNCI PINTUNYA!!"Pelayan itu tertegun. Meneguk ludah sebelum melangkah ke pintu."Tu-tuan bisa memarahi saya. Anda tidak bisa—""Kalau begitu keluar.""Ta-tapi Tuan menyur—""KELUAR!!"Sang pelayan tampak takut sekaligus khawatir sebab di atas ranjang yang megah itu, Juni memeluk perutnya dengan seluruh tubuh yang gemetar.Wajahnya yang pucat bers
Juni masih gemetar di bawah tubuh Saga. Air matanya meleleh di sepanjang wajahnya hingga membasahi bantal dan seprei.Saga menghela napas. "Jangan tunjukkan sisimu yang seperti ini lagi."Karena Saga merasa tak sanggup jika hanya berdiam diri dan melihat air mata itu terus terjatuh. Sebab ia ingin merengkuh badan kecil yang gemetar itu lalu menghapus air matanya hingga bersih.'Ck! Di mana Lenna?' decaknya dalam hati.Sudah berapa menit berlalu dan Lenna belum jua masuk. Biasanya kepala pelayan itu selalu siap saat Saga memanggilnya kapan pun.Saga turun dari atas tubuh Juni, dengan terpaksa meninggalkan wanita itu setelah menyelimutinya dan membuatnya berbaring dengan posisi yang nyaman.Ia membuka pintu lalu mengernyit.Apa yang dilakukan semua pelayan dan pengawal di depan kamarnya?Para pelayan berdiri di depan, sedang semua pengawal siaga di bagian samping dan belakang.Sepasang alis tebal Saga menukik saat me
Gerombolan pekerja yang berdemo itu akhirnya bubar setelah satu lirikan tajam dari Saga. Edward yang terkapar di lantai dibantu oleh para pengawal.Saga mendengus kesal sebelum akhirnya kembali masuk ke kamarnya.Didapatinya Juni yang tertidur pulas. Entah dorongan dari mana, ia mendekat ke ranjang, tak memutuskan tatapannya pada tubuh ringkih yang pucat itu.Saga duduk di tepi ranjang sambil mengamati desah napas Juni yang berembus teratur. Perutnya bergerak naik turun dengan ritme yang pelan.Tiba-tiba saja matanya tertumbuk pada perut rata wanita itu. Di dalam sana ada sebuah kehidupan yang mati-matian wanita ini juga.Ada anak yang menjadi saksi pengkhianatan Juni. Saga menatap tajam perut wanita itu seolah janin dalam kandungannya bisa melihat Saga secara langsung.Tangan Saga bergerak perlahan, kemudian terulur menyentuh perut Juni. Dirasakannya getaran kecil saat permukaan tangannya menempel pada perut sang istri."Nghhh
Gemuruh napas Saga memenuhi wajah Juni. Ia mendekatkan wajah perlahan sampai bibirnya menyentuh ujung bibir Juni. Namun, tiba-tiba Juni mengerang kesakitan dan bergerak gelisah di bawah tubuh Saga. Saga mengernyit menyadari tindakan bodohnya. Dia pasti sudah gila karena terlalu merindukan wanita ini. Saga pikir erangan Juni hanya tanda agar dia berhenti dari niat kotornya, tapi sampai Saga menyeka kembali tubuh Juni, wanita itu semakin meringis dalam pejaman matanya, makin lama ringisannya makin terdengar keras. "Apa yang sakit?" tanya Saga seolah Juni bisa mendengar dan menjawabnya. Wanita itu terus merintih dengan raut kesakitan. Saga mulai panik. Dicondongkannya tubuhnya dan dirangkumnya wajah Juni. "Hei, Sayang. Apa yang sakit, hm? Aku akan panggilkan dokter." Saga hendak beranjak dari tubuh Juni, tapi wanita yang semakin pucat itu malah menahan lengannya. Saga menoleh dan mendapati mata Juni yang terbuka menatapnya sayu.
Rafael masih berada dalam posisi yang sama sejak Juni meninggalkan penthouse-nya. Ia masih bersandar di kaki ranjang dengan kepala tertunduk frustrasi.Juni lepas dari genggamannya. Juni pergi lagi darinya, dan Rafael tak bisa meraihnya kembali.Kehamilan dan kepergian Juni membuat Rafael frustrasi. Kata-kata Maria masih menusuk hatinya seberapa kali pun ia mengingatnya."Jangan salah paham dengan mengira kau yang sudah sukses dengan dukungan dari Tanaka Benjiro bisa mengalahkan Saga Atlanta. Tanaka Benjiro bahkan tak sebanding dengan Lahendra asal kau tahu, apalagi dengan Atlanta."Rafael mencengkeram rambutnya sambil mengerang putus asa. Ia sudah berusaha keras sampai rasanya mau gila dan ia tetap tak bisa meraih Juni.Ia pikir dirinya sudah bisa sepadan dengan Juni, akan mudah baginya bersatu kembali dengan sang istri, namun segalanya tak sesuai dengan perkiraan Rafael.Ia harus melewati jalan yang sangat sulit lagi. Ber
Saga memijat pangkal hidungnya. Ditepisnya dokumen dan kertas-kertas yang menumpuk di atas meja. Saga pikir dengan menyibukkan diri dengan pekerjaan, dia bisa melupakan ketakutan dan kekhawatiran yang terus bersarang dalam hatinya. Nyatanya hari ini adalah hari ketiga Juni masih terbaring di ranjang rumah sakit tanpa sekali pun membuka matanya. Saga melirik Juni. Tak ada tanda-tanda ia akan membuka matanya. Wajahnya masih pucat dan tubuhnya kian ringkih. Saga bahkan tak menghitung waktu lagi. Tahu-tahu di luar sudah hujan deras dan jam dinding menunjukkan waktu tengah malam. "Hahh! Kapan kau bangun?" Saga menunduk di tepi ranjang sambil menghela napas berkali-kali. Saga bahkan lupa bagian tubuh Juni yang mana saja yang dia cengkeram dan sentuh dengan kasar. "Bangunlah. Aku tidak akan melakukannya lagi." Seperti mantra yang sia-sia, Juni sama sekali tak bereaksi. "Tuan Besar, ini saya." Saga tak