“Ada anak baru di dapur, Kai?” Aditya sengaja berdiri di tengah sehingga Seruni tidak bisa lewat. Meski wajahnya menghadap Kai, tetapi lirikan matanya tetap tertuju pada gadis itu.Dalam hati, Aditya sibuk mengumpat si tato kalajengking yang mungkin saat ini sudah mati. Gou dan anak buahnya benar-benar bodoh karena tidak mampu menangkap Seruni padahal gadis itu sudah ada di depan mata.Aditya sebenarnya bisa mengerahkan tukang pukul lainnya untuk menangkap Seruni, tetapi sekarang ia sedang tiarap karena jejaknya mulai terendus polisi. Sedikit saja operasinya bocor atau gagal, dia bisa diseret ke penjara dengan pasal berlapis karena memiliki bisnis judi dan prostitusi online. Si kepala botak yang selama ini meliindunginya mulai kewalahan karena jajaran reskrim saat ini jauh lebih berani.Satu-satunya cara menghindari dari radar polisi adalah menahan diri dan tidak terlalu agresif. Ia tidak ingin kehilangan sumber utama pundi-pundi kekayaannya. La Luna memang memberikan penghasilan cuku
Melihat Rain menangis, Bram mempercepat ayunan kakinya menuruni tangga. Tangis Rain seperti lonceng tanda bahaya di telinga Bram.“Kenapa bisa sampai nangis?” tegur Bram ketika sudah berada di depan Seruni. Diambilnya Rain dari gendongan Wulan kemudian diciumnya kepala dan kening anak itu.“Mommy.” Tangan Rain terulur hendak meraih Seruni.“Ka-kak mau kerja, Rain,” ujar Seruni dengan tampang memelas. Duh, kenapa juga pakai acara nangis? Ia tidak tega mendengar tangis gadis kecil itu, tetapi juga tidak ingin kehilangan kesempatan. Kai sudah mewanti-wanti agar datang tepat waktu kalau tidak ingin tereliminasi sebelum tes.“Non, Mommy biar kerja dulu, ya?” Wulan mengelus punggung Rain kemudian mengangkat kedua tangannya untuk meraih tubuh gadis itu. Alih-alih diam, tangis Rain justru makin keras.‘Ran mana, Mbak?”“Sudah nunggu di depan, Mas, ditemani Mbak Naya.”Bram melihat jam dinding. “Kalau gitu ajak Rain ke La Luna.” Pria itu memberikan Rain pada Seruni.Refleks kedua mata Seruni m
Sesaat, ucapan Aditya menghentikan gerakan tangan para calon asisten chef. Sementara penghuni dapur lainnya tampak tidak terganggu dengan keberadaan pria berkumis tipis itu. Mereka sudah terbiasa melihat perseteruan Aditya versus Bram dan Kai. Kadang, mereka malah sedikit menikmati lalu sesekali menjadi bahan ghibah di grup karyawan. Sampai saat ini skor tertinggi ada di pihak Bram dan Kai. Keduanya selalu berhasil mengalahkan adu mulut dengan Aditya.Kai mendekati ujung meja. “Lanjutkan pekerjaan kalian. Fokus! Waktu kalian tidak banyak,” seru Kai melihat kelima orang di hadapannya sempat berhenti bekerja. Kemudian, ia kembali memangkas jarak dengan Aditya. Saraf-saraf otak di kepala Kai sibuk mencari cara untuk menyingkirkan Aditya dari dapur. “Kita bicara di ruang kerja saya saja, Om,” lanjutnya kemudian. Walaupun ia belum tahu topik pembicaraan yang akan dipilih, tetapi setidaknya sang paman tidak ada di dapur.“Tidak perlu.”Kaki Kai yang hampir terayun kembali ke posisi semula.
“Saya anak baru, Mbak. Belum berani izin.”Seruni memasang tampang memelas. Permintaan Wulan membuat Seruni kesulitan menelan nasi goreng. Butuh bantuan dua teguk air agar makanan itu tertelan sempurna. Seruni bimbang. Sebenarnya ia kasihan pada Rain, tetapi di sisi lain, ia tidak punya cukup keberanian untuk absen.“Cuma sehari ini saja. Setelah demamnya reda, Non Rain nggak akan ganggu kamu lagi.”Mbok Asih yang baru saja kembali dari ruang makan setelah menata sarapan duduk di dekat Wulan. Tangan keriputnya meraih cangkir lorek dan meneguk isinya perlahan. Dipandanginya Wulan dan Seruni bergantian dengan prihatin. Ia ingin membela Seruni, tetapi juga kasihan pada Wulan. Mbok Asih sangat paham, kalau sakit, Rain selalu rewel dan sedikit merepotkan. Kadang Wulan harus rela bergadang, bergantian dengan Kanaya. Pekerjaannya lebih ringan jika Bram ada di rumah. Gadis kecil itu akan menggelendot ayahnya sepanjang malam. Seeruni menghela napas. “Saya nggak terganggu dengan Non Rain. Cum
“Jangan-jangan bener, nih, kata Mas Kai.”Suara Kanaya seperti magnet yang menarik Seruni dan Bram melepas tangan masing-masing. Seruni mundur dan Bram kembali duduk di ayunan. Di pangkuan Bram, Rain menggeliat. Angin senja bertiup cukup kencang, menggoyang batang-batang zinia dan cosmos aneka warna. Seekor kupu bersayap kuning hinggap di atas kelopak marigold.“Saya tadi hampir jatuh dan Pak Bram menarik tangan saya, Mbak. Tolong jangan berpikir macam-macam.” Seruni mencoba membela diri. Kepalanya tertunduk, menatap batu-batu kecil yang menutup jalan setapak di depan ayunan. Langit kemerahan. Matahari nyaris tenggelam di celah langit.“Memangnya Kai bilang apa?” Bram menatap tajam Kanaya yang kini sudah duduk di samping Bram dengan tangan menggenggam segelas jus jambu. Dielusnya punggung Rain yang menggeliat lalu perlahan membuka mata.“Kalau kata Mas Kai, kalian sebenarnya diam-diam sudah menikah.” Kanaya berujar santai lalu tersenyum kecil. Ia selalu suka menggoda Bram soal peremp
“Kamu nggak perlu repot-repot nyariin jodoh buatku, Mas. Aku bisa cari sendiri, kok.’ Kanaya berusaha agar tidak terprovokasi ucapan Bram.Diam-diam, Kanaya menaruh harap pada seseorang, tetapi tidak punya keberanian untuk mengutarakan lebih dulu. Ia memilih untuk menunggu, entah sampai kapan karena ia pun tidak tahu bagaimana perasaan orang itu. Kanaya akan berhenti berharap ketika takdr telah memutuskan ia tidak berjodoh dengan laki-laki yang selama ini mengisi doa-doanya.“Makanya aku kasih waktu sampai tahun ini. Kalau belum ketemu juga, berarti kamu butuh bantuan.”“Bram.”Panggilan sang mama menghentikan perdebatan kedua kakak beradik itu.“Iya, Ma.” Bram menyahut cepat. Ia segera berdiri dan mendekati ranjang diikuti Kanaya. ‘Masih pusing, Ma?” Bram menggenggam jemari kurus sang mama.‘Sedikit.”“Ya, udah, buat tidur lagi saja. Mama harus banyak istirahat biar cepat sembuh.”Perempuan berusia 60 tahun mengangguk. Dihelanya napas dalam-dalam sembari memejamkan mata. “Nay, gimana
“Dia bolak-balik revisi menu. Dikira ganti-ganti menu gitu cuma pakai dengkul, nggak pakai otak?”Kai muntab. Jika sudah berurusan dengan Aditya, kesabaran Kai seperti uap kopi panas ditiup angin, cepat sekali hilang dan berganti amarah.‘Nanti aku baca dulu revisi terakhir dan rancangan sebelumnya. Aku butuh amunisi untuk menyerang Om Adit.”“Terserah kamu gimana caranya, yang penting draft yang kukirim barusan, buatku sudah final. Aku tidak sudi kalau harus revisi lagi.”“Oke.” Bram menarik napas.“Semoga besok anak-anak sudah sehat. Jadi, lusa kita meeting buat mastiin final draft persiapan menyambut dua event besar itu.’Mendengar kalimat Bram, otot wajah Kai sedikit mengendur. Diusapnya rambut lalu mengambil satu kantung makanan dari mobil. “Well, gimana keadaan Tante Saras?”“Dokter masih observasi. Semoga demam biasa.”“Semoga nggak ada yang serius.’’ Kai menatap prihatin Bram. ‘Anak-anak gimana?”“Sejauh ini nggak ada masalah. Mbak Wulan selalu bisa diandalkan.”‘Syukurlah kala
“Polisi tidak menghentikan kasusmu.” Lelaki berkepala botak itu duduk dengan kaki kanan berada di atas paha kiri, berseberangan dengan Tuan Besar yang berdiam di atas kursi putar. Ia menjeda kalimat dengan mengisap cerutu hingga asapnya mengepul dan menutupi wajah ovalnya selama beberapa detik. “Sebaiknya kamu off sementara. Pulangkan anak-anak asuhmu. Atau pekerjakan di bar dan kelab malammu. Semua akan aman.” Off? Enteng sekali kamu bicara! Tatapan tajam Tuan Besar menembus kepulan asap cerutu, mencari-cari wajah si kepala botak yang dengan tanpa beban telah memberi usul konyol. Menutup bisnis esek-esek miliknya sama dengan kehilangan enam puluh persen penghasilan. Dia belum gila sampai-sampai harus merelakan lebih dari separuh sumber pencarian tidak beroperasi. “Demi keselamatan dan reputasimu. Aku yakin, kamu tidak ingin kehilangan nama baik, bukan?” Si kepala botak mengangkat salah satu sudut bibirnya. Nama baik adalah segalanya bagi Tuan Besar. Ia tahu bagaimana caranya mer