“Saya anak baru, Mbak. Belum berani izin.”Seruni memasang tampang memelas. Permintaan Wulan membuat Seruni kesulitan menelan nasi goreng. Butuh bantuan dua teguk air agar makanan itu tertelan sempurna. Seruni bimbang. Sebenarnya ia kasihan pada Rain, tetapi di sisi lain, ia tidak punya cukup keberanian untuk absen.“Cuma sehari ini saja. Setelah demamnya reda, Non Rain nggak akan ganggu kamu lagi.”Mbok Asih yang baru saja kembali dari ruang makan setelah menata sarapan duduk di dekat Wulan. Tangan keriputnya meraih cangkir lorek dan meneguk isinya perlahan. Dipandanginya Wulan dan Seruni bergantian dengan prihatin. Ia ingin membela Seruni, tetapi juga kasihan pada Wulan. Mbok Asih sangat paham, kalau sakit, Rain selalu rewel dan sedikit merepotkan. Kadang Wulan harus rela bergadang, bergantian dengan Kanaya. Pekerjaannya lebih ringan jika Bram ada di rumah. Gadis kecil itu akan menggelendot ayahnya sepanjang malam. Seeruni menghela napas. “Saya nggak terganggu dengan Non Rain. Cum
“Jangan-jangan bener, nih, kata Mas Kai.”Suara Kanaya seperti magnet yang menarik Seruni dan Bram melepas tangan masing-masing. Seruni mundur dan Bram kembali duduk di ayunan. Di pangkuan Bram, Rain menggeliat. Angin senja bertiup cukup kencang, menggoyang batang-batang zinia dan cosmos aneka warna. Seekor kupu bersayap kuning hinggap di atas kelopak marigold.“Saya tadi hampir jatuh dan Pak Bram menarik tangan saya, Mbak. Tolong jangan berpikir macam-macam.” Seruni mencoba membela diri. Kepalanya tertunduk, menatap batu-batu kecil yang menutup jalan setapak di depan ayunan. Langit kemerahan. Matahari nyaris tenggelam di celah langit.“Memangnya Kai bilang apa?” Bram menatap tajam Kanaya yang kini sudah duduk di samping Bram dengan tangan menggenggam segelas jus jambu. Dielusnya punggung Rain yang menggeliat lalu perlahan membuka mata.“Kalau kata Mas Kai, kalian sebenarnya diam-diam sudah menikah.” Kanaya berujar santai lalu tersenyum kecil. Ia selalu suka menggoda Bram soal peremp
“Kamu nggak perlu repot-repot nyariin jodoh buatku, Mas. Aku bisa cari sendiri, kok.’ Kanaya berusaha agar tidak terprovokasi ucapan Bram.Diam-diam, Kanaya menaruh harap pada seseorang, tetapi tidak punya keberanian untuk mengutarakan lebih dulu. Ia memilih untuk menunggu, entah sampai kapan karena ia pun tidak tahu bagaimana perasaan orang itu. Kanaya akan berhenti berharap ketika takdr telah memutuskan ia tidak berjodoh dengan laki-laki yang selama ini mengisi doa-doanya.“Makanya aku kasih waktu sampai tahun ini. Kalau belum ketemu juga, berarti kamu butuh bantuan.”“Bram.”Panggilan sang mama menghentikan perdebatan kedua kakak beradik itu.“Iya, Ma.” Bram menyahut cepat. Ia segera berdiri dan mendekati ranjang diikuti Kanaya. ‘Masih pusing, Ma?” Bram menggenggam jemari kurus sang mama.‘Sedikit.”“Ya, udah, buat tidur lagi saja. Mama harus banyak istirahat biar cepat sembuh.”Perempuan berusia 60 tahun mengangguk. Dihelanya napas dalam-dalam sembari memejamkan mata. “Nay, gimana
“Dia bolak-balik revisi menu. Dikira ganti-ganti menu gitu cuma pakai dengkul, nggak pakai otak?”Kai muntab. Jika sudah berurusan dengan Aditya, kesabaran Kai seperti uap kopi panas ditiup angin, cepat sekali hilang dan berganti amarah.‘Nanti aku baca dulu revisi terakhir dan rancangan sebelumnya. Aku butuh amunisi untuk menyerang Om Adit.”“Terserah kamu gimana caranya, yang penting draft yang kukirim barusan, buatku sudah final. Aku tidak sudi kalau harus revisi lagi.”“Oke.” Bram menarik napas.“Semoga besok anak-anak sudah sehat. Jadi, lusa kita meeting buat mastiin final draft persiapan menyambut dua event besar itu.’Mendengar kalimat Bram, otot wajah Kai sedikit mengendur. Diusapnya rambut lalu mengambil satu kantung makanan dari mobil. “Well, gimana keadaan Tante Saras?”“Dokter masih observasi. Semoga demam biasa.”“Semoga nggak ada yang serius.’’ Kai menatap prihatin Bram. ‘Anak-anak gimana?”“Sejauh ini nggak ada masalah. Mbak Wulan selalu bisa diandalkan.”‘Syukurlah kala
“Polisi tidak menghentikan kasusmu.” Lelaki berkepala botak itu duduk dengan kaki kanan berada di atas paha kiri, berseberangan dengan Tuan Besar yang berdiam di atas kursi putar. Ia menjeda kalimat dengan mengisap cerutu hingga asapnya mengepul dan menutupi wajah ovalnya selama beberapa detik. “Sebaiknya kamu off sementara. Pulangkan anak-anak asuhmu. Atau pekerjakan di bar dan kelab malammu. Semua akan aman.” Off? Enteng sekali kamu bicara! Tatapan tajam Tuan Besar menembus kepulan asap cerutu, mencari-cari wajah si kepala botak yang dengan tanpa beban telah memberi usul konyol. Menutup bisnis esek-esek miliknya sama dengan kehilangan enam puluh persen penghasilan. Dia belum gila sampai-sampai harus merelakan lebih dari separuh sumber pencarian tidak beroperasi. “Demi keselamatan dan reputasimu. Aku yakin, kamu tidak ingin kehilangan nama baik, bukan?” Si kepala botak mengangkat salah satu sudut bibirnya. Nama baik adalah segalanya bagi Tuan Besar. Ia tahu bagaimana caranya mer
Suara ketukan pintu menghentikan kecamuk pikiran Tuan Besar. Diletakkannya botol di atas meja tepat ketika seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan salah satu alis terpotong memasuki perpustakaan.Tuan Besar menutup jendela dan menarik tirai. Lalu, dinyalakannya lampu dan mesin pendingin ruangan.“Tugas sudah selesai, Tuan. Siapa lagi yang harus saya bereskan?”Pria itu menghirup udara dalam-dalam. Ia selalu menyukai pertemuan di perpustakaan, menyukai bau kertas dan kayu. Seharusnya sekarang ia sedang berdiri di depan kelas atau menjadi peneliti. Namun, tragedi masa lalu telah mengubah arah hidupnya. Lalu, di sinilah ia, menjadi pembela bisnis haram.“Semua bersih?”“Saya pastikan tidak ada jejak yang tertinggal.” Lelaki itu menjawab dengan yakin kemudian menarik kedua sudut bibir ke atas. Sepasang lesung pipit tercipta ketika ia tersenyum.Tuan Besar berdiri sembari menghela napas dalam-dalam. Pandangannya tertuju pada foto keluarga yang tergantung di sisi kanan dinding perpus
Seketika ruang cuci piring menjadi gaduh ketika Seruni terkulai di lantai. Mei menjerit histeris. Suaranya mengalahkan bunyi air yang menyembur melalui selang di atas wastafel. Sementara itu, Reni berteriak meminta salah satu karyawan yang kebetulan sedang berada di sana untuk mengangkat tubuh Seruni ke ruang karyawan.“Lanjutkan pekerjaanmu,” titah Reni pada Mei. Pekerjaan masih banyak dan harus segera diselesaikan. “Biar aku yang urus Seruni.” Sungguh bukan waktu yang tepat untuk pingsan. Kenapa juga kamu pingsan saat jam sibuk? “Baik, Mbak. Tapi beneran kamu nggak perlu ditemani?”Reni menggeleng. “Aku tidak ingin kita bertiga dapat masalah karena menumpuk pekerjaan,” ujarnya seraya pergi meninggalkan ruang cuci piring.Sesaat Mei menatap tubuh Reni hingga hilang di balik dinding lalu kembali menata piring kotor di atas rak kayu untuk dibersihkan. Seingat Mei, sejak pertama kali bekerja di sini, ruangan ini berkali-kali menelan korban. Hanya Seruni yang pingsan, tetapi karyawan la
“Terima kasih, Pak. Tapi saya bisa pulang sendiri. “ Seruni memaksakan senyum.Dada Aditya berdenyar melihat senyum Seruni. Bibir tipis dengan lekuk sempurna milik gadis itu membuat laki-laki itu ingin segera menggenggam Seruni ke dalam pelukan. Sabar, Aditya. Jangan sampai rencanamu gagal karena terburu-buru. Aditya berusaha meredam gejolak dalam dirinya yang memiinta untuk segera dituntaskan.“Mari, Pak. Selamat siang.’ Seruni mengayunkan kaki meninggalkan Aditya yang masih menatapnya seperti elang hendak menangkap seekor kelinci.‘Tunggu, Seruni. Lebih baik kamu saya antar.”Seruni berbalik lalu sedikit membungkuk. “Tidak perlu, Pak, terima kasih.” Ia masih mencoba menjawaab dengan sopan sebelum berlari menjauhi Aditya.Seruni tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan laki-laki itu kalau dia bersedia diantar. Bukan ingin berburuk sangka, tetapi waspada lebih baik. Meski Aditya masih bersaudara dengan Bram dan Kai, bukan berarti sifat mereka bertiga sama. Mata Aditya mengataka