Seruni membiarkan angin pagi menepuk-nepuk wajah dan tubuhnya, menyelusupkan hawa dingin lewat kulit yang hanya terlindung blouse lengan panjang. Tadi ia menolak tawaran Ben agar memakai jaketnya. Seruni berpikir Ben lebih membutuhkan jaket kulit cokelat itu karena berada di depan.Bola mata Seruni menatap takjub kiri dan kanan jalan yang dilewatinya. Benar kata orang, kota gudeg itu tidak pernah tidur. Penjaja makanan seperti memiliki shift tertentu dan bergantian mengisi ruang-ruang di tepi jalan. Tinggal di Yogyakarta tidak akan pernah kelaparan meski tak bisa memasak. Berbagai jenis menu tersaji dan bisa diperoleh dengan mudah.Tiba-tiba Seruni teringat Semarang. Kota itu pun selalu hidup. Tak jadi soal pulang jam berapa pun karena selalu ada satu dua toko atau kedai yang buka. Bahkan belakangan, tetangga tempat tinggalnya membuka layanan pesan antar makanan selama 24 jam nonstop. Satu hal yang sempat membuatnya diterpa isu memelihara babi ngepet. “Nanti kalau pulang lebih awal,
Kenapa dia ada di sini? Mendadak Seruni gugup. Dipegangnya kuali kuat-kuat agar tidak lepas dari genggaman tangannya. Pria bertopi tengkorak yang pernah dilihatnya di Trans Jogja itu ada di La Luna.Suasana lobi sepagi itu sangat sepi. Hanya ada dua resepsionis di balik meja customer service sehingga keberadaan pria asing itu sangat mencolok. Ia memang tidak memakai topi, tetapi Seruni masih mengenali wajahnya dengan jelas.Seruni menghela napas. Keberadaan laki-laki itu membuatt tangannya sedikit gemetar. Melihat raut muka dan kedua matanya, ia tahu kalau si kemeja kotak-kotak tidak sungguh-sungguh sedang membaca majalah.Jadi mereka sudah sekarang sudah tahu aku di sini. Bayangan si tato kalajengking berkelebat cepat di benak Seruni. Ia yakin, si kemeja kotak-kotak adalah orang suruhan mucikari berkedok pemilik kosan putri itu. Hati Seruni mencelos memikirkan segala kemungkinan buruk yang akan dihadapinya. Ia mulai berpikir untuk pergi dari La Luna jika hotel ini memang tidak aman
‘Mas, aku bisa pinjam Seruni hari ini? Kami butuh keterangannya untuk menyusun laporan .”Sebuah pesan Whatsapp dari Dewi masuk ke ponsel Bram ketika ia baru saja tiba di La Luna.“Aku sudah nitip pesen ke Kanaya buat ngasih tahu Mas Bram. Tapi katanya Mas Bram lagi sibuk banget. Kanaya nggak berani ganggu jadi aku inisiatif buat ngehubungi Mas Bram langsung.”Bram turun dari mobil. Dihirupnya udara dalam-dalam. Langit tak lagi gelap, tetapi matahari belum menampakkan dirinya di kolong langit. Sembari melangkah melintasi halaman, Bram berpikir, kapan Kanaya membicarakan tentang kasus Seruni. Sejak Mama, Rain, dan Ran sakit, sepertinya mereka memang tidak punya kesempatan mengobrol selain membicarakan kesehatan tiga orang itu, terutama Mama dan Rain.“Setelah sempat hiatus, kami mau buka lagi kasus ini, Mas. Kami ganti lawyer karena Mia masih belum pulih seratus persen.”Bram memasukkan ponsel ke saku, sejenak mengabaikan permintaan Dewi. Ia tahu perempuan itu pasti butuh jawaban cepat
Nina mengurungkan niat ke ruang kerjanya. Kasus Seruni sangat mengganggu pikiran sehingga ia memutuskan segera menemui Kai. Kepala dapur itu harus tahu.Melangkah tergesa mengakibatkan perempuan itu nyaris bertabrakan dengan salah satu pelayan yang akan keluar dari dapur untuk mengantar pesanan pelanggan.Hampir saja pelayan itu mengomel, tetapi mulutnya kembali menutup ketika melihat lawan bicaranya. Ia memaksakan senyum sebelum buru-buru pergi. Bukan karena desakan pelanggan, melainkan karena tidak ingin mendapat makian paling pedas dari semua pegawai La Luna.‘Kalau jalan itu pakai mata, bukan dengkul.” Nina melotot. Ia sedang tidak punya banyak waktu dan tenaga untuk mengomel sehingga membiarkan pelayan itu pergi begitu saja tanpa merasakan semburan api dari mulutnya.Setelah pelayan itu pergi, Nina melanjutkan langkah. Wajah seriusnya mengendur kala memasuki dapur dan menghidu aneka aroma makanan. Perempuan itu mengedarkan pandangan, mencari Kai.“Nyari Bos Kai, Mbak?” Salah satu
Sekali lagi Nina mengambil sepotong brownies. Bibir berselimut lipstik merah menyala miliknya melengkung sempurna. Ia meninggalkan pastry dengan wajah seterang sinar matahari pagi. Perempuan dengan blouse agak ketat itu sempat mencari-cari Seruni sebelum pergi ke ruang kerja Kai. Niatnya untuk sedikit mengintimidasi Seruni gagal karena gadis itu tidak terlihat batang hidungnya,“Jadi, kasus apa yang melibatkan Seruni dan akan membahayakan La Luna?” Kai bertanya tanpa basa-basi pada Nina ketika ia sudah berada di ruang kerjanya ditemani aroma kopi panas yang baru saja diseduh. Sejak jam dua pagi matanya sudah terjaga dan belum istirahat sama sekali. Secangkir kopi akan membantu otaknya tetap waras sampai tengah hari.“Kamu tidak menawariku kopi? Sungguh keterlaluan!” Nina pura-pura merajuk demi mengulur waktu. Ia sedang merangkai kalimat untuk disuguhkan pada Kai agar penguasa dapur itu percaya.“Come on, Nin. Aku tahu kamu tidak sedang sungguh-sungguh ingin minum kopi.” Kai berdecak
“Nggak bisa, Bram. Tidak ada yang boleh izin atau cuti selama festival. Kalau nekat, aku kick out sekalian.”Bram menghela napas. Pandangan matanya tertuju keluar jendela. Ia sudah menduga jawaban seperti apa yang akan dilontarkan Kai. Meski demikian, tetap saja ada yang mengusik hati dan pikirannya ketika mendengar langsung.“Aku yakin, kamu pasti ingin hotel kita sukses menjamu para tamu festival demi proyek-proyek berikutnya.”Alasan yang sangat masuk akal dan Bram setuju. Ia tidak ingin mengorbankan kepentingan La Luna demi kasus hukum Seruni yang masih sumir. Saat ini, Festival Raja-Raja Nusantara harus menjadi prioritasnya.“Oke, Kai. Aku tidak akan mengusik pegawai dapur, termasuk Seruni.”“Begitu lebih baik. Aku sudah capek menghadapi Om Aditya yang kadang kurang kerjaan mengganggu Seruni. Jangan sampai kamu nambah asap di kepalaku.”Bram tertawa. “Jaga kesehatan, Kai. Aku tidak mau kamu kena stroke setelah festival selesai.”“Asal kamu tidak mengganggu, aku aman.”Lagi, Bram
“Maaf, Mas Bram, apa Seruni menginap di hotel?” Mbok Asih bertanya hati-hati ketika menata sarapan di meja makan.Wajah Bram seketika berkerut. Ditatapnya Mbok Asih dengan sorot mata heran. “Sepertinya semua karyawan dapur pulang, Mbok. Kenapa?”“Maaf, Mas. Tapi Seruni semalam tidak pulang.” Suara Mbok Asih bergetar. Jejak rasa takut terlihat jelas di matanya. Seruni sudah pernah cerita kalau ada laki-laki yang sering menguntitnya dan Mbok Asih khawatir Seruni celaka. Gadis itu tidak mungkin menginap tanpa kabar. Ia pasti menitip pesan pada Bram jika ada pekerjaan yang harus diselesaikan.“Semalam separuh karyawan dapur termasuk Seruni lembur sampai hampir tengah malam , Mbok. Hari ini mereka libur. Mungkin Seruni masih tidur.” Bram meneguk jus jeruk lalu mengambil potongan apel dan memasukkannya ke mulut. Pria itu masih menganggap Seruni hanya mengunci diri di kamar karena kelelahan bekerja keras selama dua minggu.Mbok Asih menggeleng. Hatinya semakin cemas. “Saya sudah lihat kamar
“Kamu tahu, kita penghuni terakhir dapur La Luna semalam. Tidak ada Seruni atau karyawan lain di sana.”Kai menjawab dengan suara serak ketika Bram menelepon. Pria itu pasti sedang tidur dan Bram telah membangunkannya. Untuk itu Bram harus bersiap menerima semburan uap panas dari singa yang dibangunkan tanpa permisi itu.“Bisakah kamu berhenti menggangguku? Aku butuh istirahat. Jangan sampai kamu seperti Om Adit yang pagi buta sudah minta ini itu seolah aku robot yang bisa on sepanjang waktu.”Gerutuan Kai masih berlanjut. Bram terdiam sesaat. Kai benar, mereka memang makhluk terakhir di semesta dapur La Luna. Lalu, ke mana Seruni? Atau dia sudah dapat kosan dan menginap di sana?“Kamu tahu, dengan siapa Seruni biasa pulang?”“Ya, Tuhan!” Kai berdecak. “Aku bukan bapaknya Seruni. Aku tidak pernah ikut campur dengan siapa karyawanku pulang.” Kali ini nada bicara Kai terdengar kesal.“Yah, siapa tahu kebetulan kamu lihat waktu dia pulang.” Bram ngeyel. Dalam penyelidikan suatu kasus, se