“Nggak bisa, Bram. Tidak ada yang boleh izin atau cuti selama festival. Kalau nekat, aku kick out sekalian.”Bram menghela napas. Pandangan matanya tertuju keluar jendela. Ia sudah menduga jawaban seperti apa yang akan dilontarkan Kai. Meski demikian, tetap saja ada yang mengusik hati dan pikirannya ketika mendengar langsung.“Aku yakin, kamu pasti ingin hotel kita sukses menjamu para tamu festival demi proyek-proyek berikutnya.”Alasan yang sangat masuk akal dan Bram setuju. Ia tidak ingin mengorbankan kepentingan La Luna demi kasus hukum Seruni yang masih sumir. Saat ini, Festival Raja-Raja Nusantara harus menjadi prioritasnya.“Oke, Kai. Aku tidak akan mengusik pegawai dapur, termasuk Seruni.”“Begitu lebih baik. Aku sudah capek menghadapi Om Aditya yang kadang kurang kerjaan mengganggu Seruni. Jangan sampai kamu nambah asap di kepalaku.”Bram tertawa. “Jaga kesehatan, Kai. Aku tidak mau kamu kena stroke setelah festival selesai.”“Asal kamu tidak mengganggu, aku aman.”Lagi, Bram
“Maaf, Mas Bram, apa Seruni menginap di hotel?” Mbok Asih bertanya hati-hati ketika menata sarapan di meja makan.Wajah Bram seketika berkerut. Ditatapnya Mbok Asih dengan sorot mata heran. “Sepertinya semua karyawan dapur pulang, Mbok. Kenapa?”“Maaf, Mas. Tapi Seruni semalam tidak pulang.” Suara Mbok Asih bergetar. Jejak rasa takut terlihat jelas di matanya. Seruni sudah pernah cerita kalau ada laki-laki yang sering menguntitnya dan Mbok Asih khawatir Seruni celaka. Gadis itu tidak mungkin menginap tanpa kabar. Ia pasti menitip pesan pada Bram jika ada pekerjaan yang harus diselesaikan.“Semalam separuh karyawan dapur termasuk Seruni lembur sampai hampir tengah malam , Mbok. Hari ini mereka libur. Mungkin Seruni masih tidur.” Bram meneguk jus jeruk lalu mengambil potongan apel dan memasukkannya ke mulut. Pria itu masih menganggap Seruni hanya mengunci diri di kamar karena kelelahan bekerja keras selama dua minggu.Mbok Asih menggeleng. Hatinya semakin cemas. “Saya sudah lihat kamar
“Kamu tahu, kita penghuni terakhir dapur La Luna semalam. Tidak ada Seruni atau karyawan lain di sana.”Kai menjawab dengan suara serak ketika Bram menelepon. Pria itu pasti sedang tidur dan Bram telah membangunkannya. Untuk itu Bram harus bersiap menerima semburan uap panas dari singa yang dibangunkan tanpa permisi itu.“Bisakah kamu berhenti menggangguku? Aku butuh istirahat. Jangan sampai kamu seperti Om Adit yang pagi buta sudah minta ini itu seolah aku robot yang bisa on sepanjang waktu.”Gerutuan Kai masih berlanjut. Bram terdiam sesaat. Kai benar, mereka memang makhluk terakhir di semesta dapur La Luna. Lalu, ke mana Seruni? Atau dia sudah dapat kosan dan menginap di sana?“Kamu tahu, dengan siapa Seruni biasa pulang?”“Ya, Tuhan!” Kai berdecak. “Aku bukan bapaknya Seruni. Aku tidak pernah ikut campur dengan siapa karyawanku pulang.” Kali ini nada bicara Kai terdengar kesal.“Yah, siapa tahu kebetulan kamu lihat waktu dia pulang.” Bram ngeyel. Dalam penyelidikan suatu kasus, se
“Kok, bisa, Pak, dia tidak pulang?” Ben berseru panik. “Memang semalam dia minta turun di depan halte.”“Jadi kamu nggak nganter sampai depan rumah?” Nada bicara Bram meninggi, antara kesal dan kaget. Ditariknya tirai jendela hingga sinar matahari tepat mengenai wajahnya yang tegang. Kedua matanya menatap pintu gerbang dan halte Trans Jogja bergantian. Jika Seruni turun di depan halte, butuh waktu sekitar sepuluh sampai lima belas menit jalan kaki untuk sampai gerbang. Waktu yang cukup lama bagi penjahat terlatih untuk menculiknya.“Tidak, Pak. Seruni yang minta. Katanya tidak enak sama Bapak kalau dianter sampai halaman.”Mendengar jawaban Ben, kemarahan yang nyaris menyembur dari mulut Bram seketika terhenti. Ia teringat pembicaraannya dengan Seruni tempo hari. Tuduhan tak berdasar pada Seruni telah menyebabkan gadis itu menantang bahaya. Kini, bisa dikatakan, ialah penyebab Seruni hilang.‘Oke, Ben, terima kasih infonya.” Bram merasa tidak ada gunanya lagi memperpanjang pembicaraan
Aku di mana?Pertanyaan itu menyeruak di benak Seruni ketika kelopak matanya terbuka dan mendapati dirinya berada di sebuah ruang gelap. Tembok tempatnya bersandar dan lantai tempatnya berpijak terasa dingin dan lembab. Dari bau debu yang tercium hidung, Seruni menduga kalau ia disekap di sebuah ruang kosong yang mungkin tidak pernah digunakan dalam waktu lama.Di mana aku? Siapa yang membawaku ke sini? Apakah Gou sudah menemukanku?” Seruni ingin berteriak, tetapi suaranya tertahan sehelai kain berbau apak sehingga yang terdengar hanya erangan. Seruni membuang napas kasar ketika mengetahui tangan dan kakinya pun terikat kuat sehingga tidak bisa digerakkan sama sekali.Kenapa aku bisa lengah sampai tertangkap Gou lagi? Setelah berusaha melepas ikatan dengan cara menggerakkan tangan dan kaki yang berujung kegagalan dan hanya menghasilkan rasa perih di bagian yang terikat, Seruni memutuskan untuk diam. Ia harus tenang agar bisa mencari jalan keluar dari tempat gelap ini.Dada Seruni be
“Kamu sudah pastikan gadis itu benar Seruni?”Tuan Besar menatap lurus-lurus Shin. Hari masih pagi dan matahari baru saja muncul dari celah langit. Sinarnya menerobos masuk lewat jendela besar di ruang perpustakaan yang dibiarkan terbuka. Secangkir kopi panas tersaji di atas meja. Uapnya membawa aroma bunga yang segar.“Sudah, Tuan. Dia memang Seruni.”Shin mengembangkan cuping hidung. Ia menyukai kopi beraroma bunga atau kacang-kacangan dari timur Indonesia. Ia lebih memilih kopi ketimbangan minuman beralkohol. Shin selalu menggenggam nasihat sang ibu agar menghindari minuman keras dan daging babi. Meski menghabiskan waktu dalam bisnis gelap, Shin tidak pernah mengotori perutnya dengan dua barang haram itu.“Bagus.” Tuan Besar menghirup uap kopinya lalu mengambil satu bendel uang kertas berwarna merah. “Sesuai janjiku. Ini hadiah untukmu.”“Terima kasih, Tuan.” Shin mengangguk hormat. “Tapi saya belum bawa gadis itu ke hadapan Tuan. Tugas saya belum selesai. Saya belum berhak atas ha
Matahari perlahan merangkak naik. Sinarnya semakin terang dan sebagiannya mengenai tubuh Shin. Pria itu mengangguk hormat dan mengiyakan perintah atasannya. Ia meninggalkan perpustakaan setelah Tuan Besar memberi isyarat dengan tangan agar segera pergi.Sebelum keluar rumah, Shin mampir ke coffee bar di lantai satu dan meminta secangkir kopi Bajawa tanpa gula. Coffee bar itu ada di ruang tengah, tempat di mana Tuan Besar biasa mengadakan rapat dengan orang-orang penting dalam jaringan bisnis gelapnya. Sebuah meja persegi panjangl besar yang dikelilingi kursi berada di tengah ruangan sementara coffee bar ada di salah satu sisi, tepat menghadap kursi paling besar di ujung meja. “Tuan Besar sepertinya sedang senang.” Perempuan bergaun ketat dengan apron cokelat tersenyum menggoda. Disodorkannya kopi beraroma kacang-kacangan yang baru saja diseduhnya pada Shin.Shin hanya mengedikkan bahu lalu menghirup uap yang menguar dari cangkirnya. Ia sedang tidak ingin mengobrol. Pikiran pria itu
“Selamat pagi, Nona.”Alih-alih merespons teriakan Seruni, Shin justru bersikap santai. Ia berdiri tegak di tengah ruangan dengan tangan tersimpan di saku dan wajah terbenam di balik topi. Shin sedikit mengangkat wajah lalu menatap Seruni. Pria itu terkesiap sesaat. Selain indah, sorot mata Seruni menyimpan luka, juga perlawanan. Shin tertantang dan tergoda dalam satu waktu. Ia selalu jatuh cinta pada perempuan-perempuan pemberontak. Seringkali, mereka hanya garang di depan. Shin selalu punya cara menaklukkan mereka.Rahang Seruni terkatup rapat sementara kedua matanya memindai tubuh Shin. Pria di hadapannya jelas sangat berbeda dengan Gou. Ia lebih tenang, tetapi tatapannya tajam menusuk. Seruni tidak mencium bau rokok dan alkohol dari tubuh si topi hitam. Dari gerak-geriknya, Seruni bisa menilai kalau Shin bukan orang sembarangan.“Apa tidurmu nyenyak semalam?”Shin mengayunkan kaki, memangkas jarak dengan Seruni. Meski bibirnya tersenyum, tetapi kedua matanya berkilat-kilat.Seruni