Satu minggu berlalu.Mas Vino sudah kembali ke Jogja, sebab sebentar lagi acara tujuh bulanan kandunganku akan digelar. Mas Alan pun juga sudah kembali dari Dili dengan membawa beberapa info mengenai Nindi dan juga Aldrin. “Jadi pelaku pembakaran restomu itu mantan pacar adiknya Wisnu, Vin?” tanya Mas Alan.Saat ini kami sedang berkumpul dengan Papa dan juga Mama di ruang keluarga.“Betul, Mas.” Suamiku menjawab. “Entah kenapa balas dendamnya malah sama restoku. Aneh!”“Mantan pacar adiknya Wisnu yang mana? Yang pertama apa yang kedua?” Papa menimpali. “Yang kedua, Pa. Namanya Gendis. Tapi, katanya, sih, putusnya sudah lumayan lama. Cuma si cowoknya memang belum bisa move on. Dan selama putus, dia terus cari info siapa yang sedang dekat dengan Gendis sampai si Gendis enggak mau diajak balikan.” “Apa kamu pernah punya hubungan sama Gendis?” timpal Mama.Mas Vino diam dan melirikku.“Jawab aja, Mas. Enggak pa-pa, kok!” ucapku datar.“Emm ... kalau punya hubungan, sih, enggak pernah,
“B-bukan begitu, Yang. Aku cuma-“ Segera kutinggalkan ruang keluarga sebelum Mas Vino menyelesaikan kalimatnya. Ruang yang biasanya selalu penuh kehangatan, sebab di sana kami biasa bercengkerama dan mengobrol santai dengan ditemani minuman hangat dan camilan, tetapi kini berubah suasana. Aku benar-benar tak suka melihat Mas Vino yang terlihat sangat peduli dengan Nindi. Padahal belum jelas anak dalam kandungan wanita itu benih siapa. Bukan tak punya hati dan tak mau peduli, tetapi semuanya butuh bukti agar tak salah mengambil keputusan. Brakk! Kubanting pintu kamar saat menutupnya dari dalam. Derap langkah kaki Mas Vino tampak tergesa-gesa menyusulku. Terdengar handle pintu ditarik dan dengan cepat sepasang tangan melingkari perut buncitku dari arah belakang. “Sayang, maaf ... aku enggak ada maksud nyakitin kamu,” ucap Mas Vino memelas dengan dagu yang ia tempelkan di salah satu bahuku. “Aku cuma banyangin saat ini Nindi ada di posisi kamu yang sama-sama tengah hamil. Ingin dima
Dengan segala persiapan yang telah direncanakan, acara mitoni dilaksanakan di kediaman Papa. Tidak banyak yang kami undang, hanya keluarga, kerabat dekat, dan warga kompleks serta perangkat desa setempat. Pastinya tidak ketinggalan seorang pemuka agama untuk menyampaikan tausiah dan juga seratus anak-anak yatim piatu.Karena aku dan Mas Vino asli keturunan Jawa, maka acara tujuh bulanan seperti ini masih sangat lekat dengan kehidupan kami. Ditambah ada salah seorang leluhurku yang masih berdarah bangsawan. Selain sebagai ungkapan rasa syukur dan saling berbagi kebahagiaan, acara ini juga bertujuan untuk menjaga kebudayaan nenek moyang yang sudah ada. Budaya sendiri merupakan ketetapan dan ciri khas suatu daerah. Lebih dari itu, aku, suami, dan keluarga juga mengharapkan doa dari sanak keluarga dan seluruh orang yang ikut hadir.“Walah ... ayune mantuku,” ucap ibu mertua saat aku dan Mas Vino akan melakukan acara siraman.Aku hanya tersenyum saat digiring untuk duduk. Walau memakai kem
Setelah melewati beberapa problem dan kerikil-kerikil kecil, akhirnya Mbak Eliza dan Mas Alan akan segera melangsungkan acara pertunangan mereka di aula sebuah hotel berbintang di Solo. Selain dekat dengan para kerabat dari pihak Eliza, neneknya yang sudah sepuh juga ingin menyaksikan cucu perempuannya itu dilamar.“Eliz ini cucu perempuanku satu-satunya yang belum nikah. Jadi Simbah harus menyaksikan sendiri kalau dia beneran mau untuk dilamar. Dulu-dulu susah sekali kalau mau diajak serius sama lelaki,” ucap Mas Alan menirukan kalimat neneknya Mbak Eliz saat berkunjung ke Banjarsari-Solo.“Emang usia Mbak Eliz berapa, sih, Mas?”“Kepala tiga lebih dikit.”“Waow, tapi masih cantik, lho.”“Papanya asli orang Kanada. Kakek Eliz pribumi Kanada dan neneknya orang Qatar.”“Uwahh ... itu darah papanya mix dua negara, lalu nikah sama perempuan Jawa asli Solo?”Mas Alan mengangguk.“Pantes, Mbak Eliz cantik paripurna!” pujiku.“Alhamdulillah, tapi, ya ... harus pinter-pinter jaga dia. Tiap j
“Loh, katanya mau ambil kado di mobil?” tanyaku saat mendekati mereka.Tiga orang lelaki menoleh. Aku menatap ketiganya secara bergantian.“Ee ... Pak Damian, kenalin ini istri saya, namanya Kalila,” ujar Mas Vino.Lelaki dengan bibir tipis dan senyum simpul dari kedua sudut bibirnya itu menangkupkan kedua tangannya di depan dada sebagai isyarat perkenalan. Aku pun melakukan hal yang sama. Dengan baju koko lengan panjang dan celana jeans yang dikenakan, dia tampak seperti seorang santri atau ustaz walau tanpa peci atau kopiah di kepalanya.Eh, Sebentar! Apa dia Damian yang memesan rancangan desain bangunan pesantren yang Mas Vino ceritakan waktu itu? Beberapa detik suasana menjadi hening hingga suara keletuk high heels mendekat.“Lan, Papa minta kamu–”Aku menoleh. Mbak Eliza tampak terpaku melihat teman Mas Vino.“Damian?”“E-liza?”Dengan cepat Mas Alan menarik tangan tunangannya itu dan merapatkan tubuh mereka. Seketika otakku langsung loading dengan cepat mengingat nama Damian yan
Mas Vino segera membawaku turun melalu lift hingga lantai dasar. Kondisi yang sudah mendekati tengah malam membuat suasana tak terlalu gaduh dan ramai. Namun, tetap saja Mas Alan dan lelakiku panik. Selain mereka belum ada yang berpengalaman dengan wanita hamil, mereka juga bukan anggota medis.Aku terus mendesis menikmati sakit yang masih membelit. Apa iya aku akan melahirkan di usia kandungan 36 minggu? Jika iya, itu artinya bayiku akan lahir prematur? Ya Allah ...."Sabar, Sayang ... bentar lagi kita sampai."Di dalam mobil, kuhirup napas dalam-dalam melalui hidung dan mengeluarkannya secara perlahan lewat mulut. Setidaknya hal itu sedikit mengurangi rasa sakit."Mas, cari klinik terdekat aja, yang buka 24 jam. Takut Kalila kenapa-napa.""Iya, Vin. Ini juga udah tolah-toleh cari klinik."Mas Alan yang menyetir, sementara aku dan Mas Vino duduk di kursi belakang. Tidak berapa lama, mobil berbelok ke arah halaman luas, seperti pelataran parkir. Sebab, di depannya tampak bangunan luma
“Denger dulu, Yang. Bukan mimpi yang enak-enak, kok. Justru mimpinya bikin aku kepikiran yang enggak-enggak.”Tak ayal kedua alisku hampir menyatu mendengar penuturannya. “Maksudnya?”“Nindi datang dengan pakaian serba putih dan wajah pucat,” jelasnya. “Wajahnya kuyu dan kantung matanya cekung, bahkan area matanya terlihat menghitam. Apa dia sedang kesulitan, ya, Yang?"Aku terdiam. Walau bukan ahli menafsirkan mimpi, tetapi kabar terakhir yang mengatakan bahwa wanita itu sedang hamil sedikit membuatku khawatir juga. Terlebih, setelahnya aku memang memblokir kontaknya agar tak mengganggu kewarasan diri ini.Apa benar bayi yang dikandungnya benar-benar darah daging Aldrin? Apa ia juga benar-benar ingin mempertahankan bayi itu, sebab sudah jatuh hati pada putra angkat sugar daddy-nya?Kalau memang benar, berarti kemungkinan besar saat ini dia sedang mati-matian berjuang untuk membantu Aldrin keluar dari penjara. Aku jadi ikut membayangkan jika berada di posisi kakak kelas masa SMA itu.
"Maaf, Pak Vino, Bu Kalila, acara bersantap jadi sedikit terjeda," ujar Damian dengan nada seperti tak enak.Pria itu kembali duduk dan bergabung dengan kami."Tidak apa-apa, Pak. Emm ... Maaf sebelumnya, tadi saya dan istri sempat dengar sedikit. Kalau boleh tahu siapa yang meninggal, ya, Pak?"Akhirnya Mas Vino mewakili rasa penasaranku walau tadi kami tak berdiskusi dulu harus bertanya apa tidak. Hanya ingin memastikan saja, bahwa wanita hamil yang dimaksud bukan ... Nindi."Oh, itu. Salah satu penghuni rumah peduli yang dibangun Mama saya, Pak.”Mas Vino melirikku sebentar.“Semacam panti, Pak?”“Iya. Tapi, yang ini khusus menampung para wanita yang hamil di luar nikah. Ada yang sebab diperkosa atau ditinggal kekasihnya begitu saja.”Aku menatap Mas Vino dengan tatapan memohon, agar ia menggali lebih dalam tentang info wanita meninggal itu.“Mari, Pak, Bu. Kita lanjut makan dulu. Nanti dilanjut lagi ngobrolnya.”Akhirnya kami mengangguk dan melanjutkan acara makan siang. Sesekali