Darren mematung menatap cermin di hadapannya. Ia melihat Delano yang seolah samar di dalamnya. Matanya sendu. Kini ia tidak tahu pasti apa yang harus dilakukan. Sementara itu, suara teriakan tanpa henti mengusik ketenangannya.
"Keluarkan kami, apa salah kami? Pengecut! Beraninya hanya dengan perempuan!" pekik Stefani sambil terus menggedor pintu kamar tanpa jeda.
Di ruangan yang lainnya pun juga sama. Kedua gadis itu juga saling berteriak, sengaja menciptakan kegaduhan. Langkah kaki Delano terhenti di depan beberapa pintu yang berderet.
Sementara matanya, perlahan menyisir satu persatu pintu yang terdengar gaduh. Dan tatapannya terhenti di pintu pertama. Dengan langkah pasti ia mengayunkan langkah menuju tempat yang ia yakini.
&nb
Stefani masih menempelkan telinganya di daun pintu. Berharap bisa menerka-nerka apa yang sedang terjadi di luar sana. Suara jeritan dan dentuman langkah kaki tak lama kemudian mulai berhenti. Membuat Stefani semakin cemas tak karuan. Saat masih menempelkan telinganya, tiba-tiba pintu tersebut terdesak keras, hingga tubuhnya terpental dengan kerasnya. "Kenapa kamu di depan pintu?" tanya Darren. Ia seolah memberikan waktu untuk ketiganya saling bertatapan juga pelukan hangat. Ketiganya berpelukan penuh haru. Darren memperhatikan ketiganya. Seharusnya mereka hanya diam, dan berterimakasih atas kebaikan Darren. Naasnya Lucy yang masih merasa kesal, langsung menyerang Darren.
Di malam yang begitu gelap itu semua berubah hening setelah teriakan Darren menggema. Ketiga gadis duduk meringkuk memeluk lututnya masing-masing sembari menunggu kepastian nasib mereka.Sepuluh menit. Lima belas menit. Masih saja hening. Ketiganya juga memilih membisu. Mungkin mereka terlalu takut meski sekedar untuk mengeluarkan sepatah dua patah kalimat.Dua puluh menit berlalu, suara langkah kaki mendekat mengangetkan ketiganya. Stefani segera bangkit, dan berdiri. Meski ia tertatih dan sedikit pincang, dengan kaki gemetar, ia mencoba meraih gagang pintu.Sama seperti sebelumnya, ia begitu berani mengintip dari celah lubang kunci di pintu. Ia melihat sebuah lentera yang ditenteng oleh sepasang tangan kekar lelaki yang mengarah masuk ke kamarnya. 
Lampu masih belum juga menyala. Suasana di kastil tua itu masih sepi. Delano pergi menuju kamarnya. Kemudian ia duduk di sebuah meja dengan komputer tua terpasang di sana. Masih jelas diingatkannya bahwa ia sempat mengirimkan janji temu pada psikiater berkelas tersebut. Wajahnyakini bermuram durja. Ia resah, gelisah. Dan juga takut pada banyak hal. Setelah menghela napas panjang, akhirnya Delano memberanikan diri membuka sebuah laci yang sejak kedatangannya ia kunci rapat-rapat. Tiga slop berisi penuh obat yang diberikan Elis untuknya agar bisa tidur nyenyak dan juga memenangkan diri. Meski nyatanya tak satu pun dari pil pahit itu ditelannya. Ia teru
Hari sudah hampir tengah malam, dan saat bulan tersenyum lebar menerangi kastil yang mati lampu tanpa penerangan. Di dalam sangatlah gelap. Meski di luar begitu benderang.Elis mengekor mengikuti langkah Delano, awalnya ia merasa yakin jika dengan datang dan menemuinya adalah keputusan yang tepat, tapi sepertinya ia mulai berubah pikiran setelah berada di dalam kastil sepi itu."Delano, tidak kah kamu memiliki lampu?" tanya Elis, dengan raut ketakutan.Delano yang semula memimpin berjalan di depan menghentikan langkahnya dan mengeluarkan sebuah korek api. Setelah ia tarik pemantiknya, api pun mulai menyala.Bermodal korek api keduanya terus berjalan hingga bebera
Netra perempuan itu terus mengedar menelusuri sekitar ruangan. Sementara Delano sok sibuk seperti biasa ketika ada orang tamu yang datang."Tadinya aku mau ke sana, Elis. Tapi karena kau kemari duluan, maka—" ucapan Delano terhenti. Ia berubah murung dengan kepala tertunduk.Sementara Elis, hanya menghela napas sambil terus memperhatikannya. Ia mencurigai sesuatu sedang terjadi. Terutama lorong dan juga kamar yang berderet.'Untuk apa kamar-kamar itu? Dan apa isinya?' batin Elis kemudian berpura-pura menyesap minuman yang disodorkan oleh Delano."Elis, kau baik-baik saja?" sapa Delano membuyarkan lamunannya.
Sosok menakutkan itu kini berubah kejam. Dalam kegelapan ia terus melangkah mencari keberadaan dua gadis yang lari darinya. Ia memiliki dendam karena hinaan.Siapa sangka jika dendam mampu mengubah seseorang menjadi apapun yang diinginkan. Bahkan nekad berbuat sesuatu diluar nalarnya sendiri.Di tempat berbeda, Elis terbangun. Ia beringsut duduk, sesekali ia mengucek matanya. Mencoba mengerjap beberapa kali meski hasilnya tetap sama. Pandangannya berubah nanar, berkunang-kunang.Ia mencoba merangkak mendekati sebuah meja di sudut ruangan. Meski tertatih wanita tua itu berusaha bangkit dengan tangan dan kaki yang masih gemetar. Elis berpegang di sudut meja.Ya. Ki
Di sebuah kamar yang hanya berukuran satu meter dengan tinggi tiga meter, seorang gadis bernama Stefani berdiri menggunakan sebuah kursi. Ia mengintip siapa yang berada di kamar sebelahnya. Beruntung, kamar Stefani masih diterangi dengan lentera. Sehingga membantu matanya mengamati sekitar. Meski pendarnya terbatas. Tidak menyurutkan semangat Stefani untuk keluar dari tempat itu. Entah bagaimana ceritanya, hingga ia bisa terkurung di kamar yang letaknya bersebelahan dengan gadis lainnya. "Sherly … Sherly," panggilnya, sambil mengangkat lentera dengan tangan sebelah kanannya. Sherly tersentak, ia mendongak dan mengusap air mata. Melihat seseorang yang familiar memanggiln
Sherly dan Stefani masih tercekat. Keduanya tampak bingung menentukan sikap. Haruskah mereka lari, atau melawan meski mati? Yang jelas makhluk menyeramkan itu mampu membuat Sherly ketakutan bukan kepalang. Ia terus menjerit, bahkan meronta-ronta hilang kendali. Berbeda dengan Stefani. Ia justru terlihat tegar dan tidak takut sedikitpun. "Kau bilang apa? Stasiun kereta? Aku bukan wanita jalang, itu hanya candaan para temanku," ujarnya membalas menatap tajam. "Kau bilang orang sepertiku tak pantas untukmu! Bahkan aku menyentuhmu saja tidak sudi!" pekik makhluk menyeramkan, menggertak dengan suara serak khasnya yang menakutkan. Menit kemudian, ia melomp