Di dalam gelapnya penglihatanku karena mata terpejam, aku bisa merasakan jika tubuhku melayang. Yusuf, dia menggendongku dan membawaku entah ke mana.
Aku sadar, dan sangat sadar. Karena, aku hanya pura-pura pingsan untuk menghindari tatapan jijik dari pria yang bergelar suamiku itu.
Yusuf menyimpan tubuhku entah di mana. Mungkin di sofa ruang tengah tadi. Eh, tapi tidak. Ini lebih empuk dari sofa tadi.
Aku membuka mataku sedikit, dan ... kamar?
Astaga, Yusuf membawaku ke kamarnya?
"Rin, bangun, Rin," ujar Yusuf dengan memukul pelan pipiku.
Tahan, jangan sampai bangun. Bertahanlah mata, jangan sampai terbuka. Apa yang harus aku katakan jika bangun dan melihat wajahnya. Aku tidak sanggup, aku malu. Demi Tuhan aku sangat malu.
Membayangkan
"Halo, siapa ini?" ujar Hena dengan suara manjanya. Ih, sangat menjijikkan."Halo, em ... ini aku, Yusuf.""Oh, A Yusuf? Ada apa A? Aa punya nomor Hena dari siapa?"Aku yang mendengar percakapan Hena dan Yusuf, serasa ingin muntah mendengar suara Hena yang dibuat sehalus mungkin."Ada lah. Hena, bisa tidak kalau sekarang datang ke rumah saya?" tanya Yusuf."Bisa, bisa sekali, A. Memangnya Aa lagi butuh ikan, ya? Nanti saya bawakan. Mau berapa kilo, A?" tanya Hena dengan antusias."Ah, tidak. Saat ini saya tidak sedang butuh ikan. Tapi, saya mau ngobrol dulu aja denganmu. Menyesuaikan harganya, siapa tahu cocok, nanti kita bisa kerja sama." Yusuf mulai berbohong."Ok, A. Sekarang juga Hena, ke sana."Beberapa saat menunggu, Hena datang dengan sepeda motornya
"Saya, selaku orang yang sudah memfitnah Arini dan Yusuf, ingin mengatakan kepada semua orang, bahwa Arini dan Yusuf, tidak melakukan zina. Semua yang terjadi, adalah murni kesalahan saya. Saya yang memfitnah mereka!"Meski dengan suara lirih dan dengan menahan tangis, Hena berbicara jelas dengan dibantu alat pengeras suara.Orang-orang yang kita lewati, melihat ke arah kita dan mendengarkan apa yang Hena ucapakan.Seketika itu juga, mereka menyoraki Hena dengan berbagai umpatan yang keluar dari mulut-mulut jahat tetangga.Tidak berhenti sampai di situ, Yusuf terus mengendarai mobil sampai masuk ke dalam perkampungan yang padat dengan rumah-rumah warga. Dan berhenti, tepat di depan warung yang banyak Ibu-ibu tengah berghibah ria.Hena kembali mengucapkan kata yang
"Tidak. Aku tidak ingin melakukannya!""Kenapa?" tanyaku."Karena aku bukan tipe orang yang dengan mudah mempermainkan suatu hubungan. Apalagi, pernikahan.""Tapi kan ... pernikahan kita tidak—""Tidak didasari dengan cinta? Heh, percuma saling cinta, jika ujung-ujungnya saling menyakiti dengan berpaling ke lain hati. Terserah jika kamu ingin pergi. Tapi, yang jelas aku tidak akan mengucapkan kata perpisahan," pungkas Yusuf. Dia pergi entah ke mana.Aku menyandarkan punggungku seraya mengembuskan napas kasar. Ternyata percuma saja mengatakan kepada seluruh dunia tentang aku dan Yusuf yang tidak melakukan zina. Toh, ternyata pernikahan ini masih akan terus berlanjut. Entah sampai kapan."Belajar menerima takdir, Rin! Mungkin Tuhan memang sudah mentakdirkan aku dan kamu untuk hidup bersama!"Terdengar suara
"Arini, tunggu!""Tunggu dulu, Arini!"Yusuf terus saja mengejarku hingga akhirnya dia berhasil mencekal pergelangan tanganku saat aku sudah sampai di ambang pintu."Bukan seperti ini caranya untuk menyelesaikan masalah, Rin. Tidak dengan pergi begitu saja. Mari, kita duduk bersama dan saling bicara.""Aku rasa tidak perlu, A. Pilihanku untuk pergi, mungkin memang yang terbaik. Aku tidak ingin mengusik hidupmu dan kesenanganmu. Aku harus pergi.""Tidak!"Yusuf mencekal lenganku semakin kuat. Matanya begitu tajam melihatku."Kita belum bicara, kita belum membahas apa yang menjadi pokok masalah. Kamu pun belum mengatakan apa yang membuatmu ingin pergi."Aku mengalihkan pandangan saat Yusuf menatapku semakin lekat. Aku takut pendirianku g
POV Yusuf"Dari mana kamu? Mabuk lagi? Main perempuan? Masih ingat pulang juga, kamu ternyata."Suara pria yang tengah duduk bersandar di sofa, membuat langkahku terhenti. Kulihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku, sudah menunjukkan pukul dua dinihari. Pantas, Ayah marah padaku karena pulang terlalu larut. Sudah mendekati pagi malah."Aku lelah, Yah. Mau tidur," ucapku kembali berjalan ke arah tangga."Kamu memang anak yang tidak berguna Yusuf! Menyesal aku menamaimu dengan nama dua Nabi dalam satu namamu. Harusnya, dulu kau kukasih nama Fir'aun!""Ayah! Kenapa kotor sekali kata yang keluar dari bibir Ayah. Dia anak kita, Yah."Perempuan bergelar Ibuku, datang menambah kebisingan ruangan ini.Mendapatkan perlakuan buruk dari Ayah, sudah bukan
POV Arini"Aw! Aduh, ampun ...!"Yusuf mengaduh kesakitan saat aku mencubit perut six packnya. Biarin, biar dia tahu rasa. Siapa suruh dia membahas aku yang takut jarum suntik."Sekarang, kamu sudah tahu 'kan, kenapa ada foto-foto nakal aku?"Aku mengangguk."Rin, aku memang bukan pria soleh yang punya pemahaman baik soal agama. Aku hanya seorang hamba yang penuh dosa, yang sedang berusaha memperbaiki diri. Aku butuh kamu, sebagai pengingat di waktu salahku. Itu pun, jika kamu berkenan. Jika tidak mau, jika kamu jijik dan ingin pergi, aku—""Stttt ...." Aku menempelkan jari telunjukku di bibir Yusuf.Setelah mendengarkan penjelasan Yusuf, tidak ada salahnya juga untukku mempertahankan pernikahan ini. Toh, aku pun bukan wanita suci tanpa dos
Jodoh itu memang misteri, kehadirannya tidak bisa kita prediksi.Aku, pernah mengecap kata untuk tidak ingin terburu-buru dalam memulai suatu hubungan dengan seorang pria, setelah disakiti seorang pria. Namun, Tuhan memperlihatkan kuasanya. Dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, Tuhan sudah mempertemukanku dengan jodoh yang baru. Orang lama, yang baru datang kembali.Aku menolak? Sudah.Namun, gagal.Keinginan Tuhan, lebih kuat dari penolakanku. Hingga akhirnya, aku mulai mencoba untuk berdamai dengan takdir. Menerima kenyataan kalau sekarang aku memanglah sudah menjadi seorang istri. Lagi.Aku merentangkan tangan, meregangkan otot-ototku. Namun, saat kulirik tempat tidur di sebelahku, aku tidak menemukan Yusuf di sana.Di mana dia?Setelah
"Sekarang. Jangan dinanti-nanti. Aku gak mau pergi, kalau kamu belum mandi." Aku melipat kedua tangan di perut, dengan bibir yang mengerucut.Bukannya mengabulkan keinginanku, Yusuf malah tertawa seraya terus menggodaku. Mulai dari mencolek daguku, hingga mencubit pipiku. Pria itu menganggapku boneka panda yang besar dan menggemaskan. Hingga akhirnya, aku pergi meninggalkan dia karena kesal.Tidak lama setelah kepergianku, dia menyusulku dan akhirnya bersedia untuk mandi. Sambil menunggu Yusuf selesai dengan ritual mandinya, aku menyibukkan diri di dapur. Memasak apa saja yang bisa aku makan dengan suamiku. Setelah tadi pagi dia yang melayaniku, kini saatnya akulah yang melayani dia."Kok, masak? Kita kan mau berangkat," ujar Yusuf yang baru saja keluar dari kamar mandi."Sebentar saja, lagian aku cuma masak telor ceplok doang. Gak akan la