"Arini, tunggu!"
"Tunggu dulu, Arini!"
Yusuf terus saja mengejarku hingga akhirnya dia berhasil mencekal pergelangan tanganku saat aku sudah sampai di ambang pintu.
"Bukan seperti ini caranya untuk menyelesaikan masalah, Rin. Tidak dengan pergi begitu saja. Mari, kita duduk bersama dan saling bicara."
"Aku rasa tidak perlu, A. Pilihanku untuk pergi, mungkin memang yang terbaik. Aku tidak ingin mengusik hidupmu dan kesenanganmu. Aku harus pergi."
"Tidak!"
Yusuf mencekal lenganku semakin kuat. Matanya begitu tajam melihatku.
"Kita belum bicara, kita belum membahas apa yang menjadi pokok masalah. Kamu pun belum mengatakan apa yang membuatmu ingin pergi."
Aku mengalihkan pandangan saat Yusuf menatapku semakin lekat. Aku takut pendirianku g
POV Yusuf"Dari mana kamu? Mabuk lagi? Main perempuan? Masih ingat pulang juga, kamu ternyata."Suara pria yang tengah duduk bersandar di sofa, membuat langkahku terhenti. Kulihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku, sudah menunjukkan pukul dua dinihari. Pantas, Ayah marah padaku karena pulang terlalu larut. Sudah mendekati pagi malah."Aku lelah, Yah. Mau tidur," ucapku kembali berjalan ke arah tangga."Kamu memang anak yang tidak berguna Yusuf! Menyesal aku menamaimu dengan nama dua Nabi dalam satu namamu. Harusnya, dulu kau kukasih nama Fir'aun!""Ayah! Kenapa kotor sekali kata yang keluar dari bibir Ayah. Dia anak kita, Yah."Perempuan bergelar Ibuku, datang menambah kebisingan ruangan ini.Mendapatkan perlakuan buruk dari Ayah, sudah bukan
POV Arini"Aw! Aduh, ampun ...!"Yusuf mengaduh kesakitan saat aku mencubit perut six packnya. Biarin, biar dia tahu rasa. Siapa suruh dia membahas aku yang takut jarum suntik."Sekarang, kamu sudah tahu 'kan, kenapa ada foto-foto nakal aku?"Aku mengangguk."Rin, aku memang bukan pria soleh yang punya pemahaman baik soal agama. Aku hanya seorang hamba yang penuh dosa, yang sedang berusaha memperbaiki diri. Aku butuh kamu, sebagai pengingat di waktu salahku. Itu pun, jika kamu berkenan. Jika tidak mau, jika kamu jijik dan ingin pergi, aku—""Stttt ...." Aku menempelkan jari telunjukku di bibir Yusuf.Setelah mendengarkan penjelasan Yusuf, tidak ada salahnya juga untukku mempertahankan pernikahan ini. Toh, aku pun bukan wanita suci tanpa dos
Jodoh itu memang misteri, kehadirannya tidak bisa kita prediksi.Aku, pernah mengecap kata untuk tidak ingin terburu-buru dalam memulai suatu hubungan dengan seorang pria, setelah disakiti seorang pria. Namun, Tuhan memperlihatkan kuasanya. Dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, Tuhan sudah mempertemukanku dengan jodoh yang baru. Orang lama, yang baru datang kembali.Aku menolak? Sudah.Namun, gagal.Keinginan Tuhan, lebih kuat dari penolakanku. Hingga akhirnya, aku mulai mencoba untuk berdamai dengan takdir. Menerima kenyataan kalau sekarang aku memanglah sudah menjadi seorang istri. Lagi.Aku merentangkan tangan, meregangkan otot-ototku. Namun, saat kulirik tempat tidur di sebelahku, aku tidak menemukan Yusuf di sana.Di mana dia?Setelah
"Sekarang. Jangan dinanti-nanti. Aku gak mau pergi, kalau kamu belum mandi." Aku melipat kedua tangan di perut, dengan bibir yang mengerucut.Bukannya mengabulkan keinginanku, Yusuf malah tertawa seraya terus menggodaku. Mulai dari mencolek daguku, hingga mencubit pipiku. Pria itu menganggapku boneka panda yang besar dan menggemaskan. Hingga akhirnya, aku pergi meninggalkan dia karena kesal.Tidak lama setelah kepergianku, dia menyusulku dan akhirnya bersedia untuk mandi. Sambil menunggu Yusuf selesai dengan ritual mandinya, aku menyibukkan diri di dapur. Memasak apa saja yang bisa aku makan dengan suamiku. Setelah tadi pagi dia yang melayaniku, kini saatnya akulah yang melayani dia."Kok, masak? Kita kan mau berangkat," ujar Yusuf yang baru saja keluar dari kamar mandi."Sebentar saja, lagian aku cuma masak telor ceplok doang. Gak akan la
"Awas, hati-hati turunnya.""Jangan terlalu cepat jalannya, Rin, nanti kamu kesengol orang.""Enggak usah dempet-dempetan gitu, biarin mereka dulu yang belanja. Biar kita belakangan."Aku memutar bola mata jengah seraya mengembuskan napas kasar. Ucapan-ucapan Yusuf membuatku geram."Ini pasar, A. Bukan emol. Wajar kalau desek-desekkan, wajar kalau dempet-dempetan. Kalau kita nunggu mereka kelar, nanti kita kebagian rempah-rempah yang jelek," ujarku seraya terus berjalan menerobos kerumunan ibu-ibu yang tengah memilah bumbu dapur.Yusuf menarik tanganku hingga akhirnya, aku tidak punya celah buat masuk pada kerumunan Emak-emak itu."Diem di sini, aku tidak mau, kaki kamu keinjek ibu-ibu berbadan subur itu. Biar aku yang maju," ujarnya menggulung lengan kemeja yang ia kenakan.Ak
"A," panggilku."Hmm." Yusuf bergumam menjawab panggilanku."Kenapa?" tanyanya kemudian, saat melihatku tak kunjung bicara.Yusuf menarikku hingga aku duduk di sampingnya. Kedua tangan Yusuf melingkar dengan indah di pinggang rampingku.Kini, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Udara pun semakin dingin karena hujan yang sedang mengguyur bumi. Namun, hatiku tetap was-was untuk menyambut datangnya tamu di hari esok."Apa yang kamu pikirkan, Sayang? Kenapa wajahmu terlihat cemas?" ujar Yusuf memindai wajahku dengan kedua telapak tangannya."Tidak ada," kataku berdusta.Yusuf membuang napas kasar. "Sudah aku bilang, jangan memikirkan hal yang belum terjadi. Santai saja. Semuanya akan baik-baik saja. Percaya sama aku."
Sekian menit berdiri dengan melihat suamiku, kini ia berbalik badan melihat ke arahku. Yusuf menganggukkan kepala seraya tersenyum, seolah dia mengatakan kalau dirinya baik-baik saja.Namun, hatiku terlanjut perih melihat perlakuan ayah Yusuf kepadanya. Niat hati ingin menyambut kedatangan mertua, aku urungkan dan aku memilih untuk pergi ke rumah lewat pintu belakang, yang berhadapan langsung dengan pintu belakang restoran pula.Sampai di dapur rumah, aku menumpahkan air mataku sembari duduk di kursi meja makan.Tamparan yang diberikan ayah Yusuf, pasti ada sangkut pautnya dengan pernikahan kami. Mungkin mereka kecewa dan marah, karena putranya menikahi janda kampung seperti diriku ini.Kriieeet .... Pintu belakang terbuka. Yusuf masuk dari sana."Hey, kenapa menangis?" ujarnya m
"Pukul, pukul aku Yusuf. Tampar aku seperti Ayah, tadi menamparmu!" ucap Ayahnya Yusuf dengan mengambil kedua tangan putranya itu."Apa maksud Ayah?" tanya Yusuf."Maafkan aku, Nak. Maafkan Ayah. Ayah terlalu lemah jadi laki-laki. Ayah terlalu bodoh jadi seorang suami."Yusuf memegang kedua pundak ayahnya. Ia membawa pria itu untuk duduk di sampingnya. Aku bergeser untuk memberikan ruang bagi mereka untuk saling berbicara."Arini, sebaiknya kita tinggalkan mereka berdua. Kamu tidak keberatan, bukan?" ujar Mama Salma. Meski ragu, tapi aku mengangguk dan memilih pergi meninggalkan Yusuf dan Ayahnya.Jujur, aku penasaran dan ingin tahu apa yang mereka bicarakan. Ini sangat aneh. Tadi, ayahnya Yusuf terlihat cuek dan tidak peduli pada Yusuf. Bahkan, ia sampai berlaku kasar pada suamiku itu. Namun, setelah kepergian anak da