Jodoh itu memang misteri, kehadirannya tidak bisa kita prediksi.
Aku, pernah mengecap kata untuk tidak ingin terburu-buru dalam memulai suatu hubungan dengan seorang pria, setelah disakiti seorang pria. Namun, Tuhan memperlihatkan kuasanya. Dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, Tuhan sudah mempertemukanku dengan jodoh yang baru. Orang lama, yang baru datang kembali.
Aku menolak? Sudah.
Namun, gagal.
Keinginan Tuhan, lebih kuat dari penolakanku. Hingga akhirnya, aku mulai mencoba untuk berdamai dengan takdir. Menerima kenyataan kalau sekarang aku memanglah sudah menjadi seorang istri. Lagi.
Aku merentangkan tangan, meregangkan otot-ototku. Namun, saat kulirik tempat tidur di sebelahku, aku tidak menemukan Yusuf di sana.
Di mana dia?
Setelah
"Sekarang. Jangan dinanti-nanti. Aku gak mau pergi, kalau kamu belum mandi." Aku melipat kedua tangan di perut, dengan bibir yang mengerucut.Bukannya mengabulkan keinginanku, Yusuf malah tertawa seraya terus menggodaku. Mulai dari mencolek daguku, hingga mencubit pipiku. Pria itu menganggapku boneka panda yang besar dan menggemaskan. Hingga akhirnya, aku pergi meninggalkan dia karena kesal.Tidak lama setelah kepergianku, dia menyusulku dan akhirnya bersedia untuk mandi. Sambil menunggu Yusuf selesai dengan ritual mandinya, aku menyibukkan diri di dapur. Memasak apa saja yang bisa aku makan dengan suamiku. Setelah tadi pagi dia yang melayaniku, kini saatnya akulah yang melayani dia."Kok, masak? Kita kan mau berangkat," ujar Yusuf yang baru saja keluar dari kamar mandi."Sebentar saja, lagian aku cuma masak telor ceplok doang. Gak akan la
"Awas, hati-hati turunnya.""Jangan terlalu cepat jalannya, Rin, nanti kamu kesengol orang.""Enggak usah dempet-dempetan gitu, biarin mereka dulu yang belanja. Biar kita belakangan."Aku memutar bola mata jengah seraya mengembuskan napas kasar. Ucapan-ucapan Yusuf membuatku geram."Ini pasar, A. Bukan emol. Wajar kalau desek-desekkan, wajar kalau dempet-dempetan. Kalau kita nunggu mereka kelar, nanti kita kebagian rempah-rempah yang jelek," ujarku seraya terus berjalan menerobos kerumunan ibu-ibu yang tengah memilah bumbu dapur.Yusuf menarik tanganku hingga akhirnya, aku tidak punya celah buat masuk pada kerumunan Emak-emak itu."Diem di sini, aku tidak mau, kaki kamu keinjek ibu-ibu berbadan subur itu. Biar aku yang maju," ujarnya menggulung lengan kemeja yang ia kenakan.Ak
"A," panggilku."Hmm." Yusuf bergumam menjawab panggilanku."Kenapa?" tanyanya kemudian, saat melihatku tak kunjung bicara.Yusuf menarikku hingga aku duduk di sampingnya. Kedua tangan Yusuf melingkar dengan indah di pinggang rampingku.Kini, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Udara pun semakin dingin karena hujan yang sedang mengguyur bumi. Namun, hatiku tetap was-was untuk menyambut datangnya tamu di hari esok."Apa yang kamu pikirkan, Sayang? Kenapa wajahmu terlihat cemas?" ujar Yusuf memindai wajahku dengan kedua telapak tangannya."Tidak ada," kataku berdusta.Yusuf membuang napas kasar. "Sudah aku bilang, jangan memikirkan hal yang belum terjadi. Santai saja. Semuanya akan baik-baik saja. Percaya sama aku."
Sekian menit berdiri dengan melihat suamiku, kini ia berbalik badan melihat ke arahku. Yusuf menganggukkan kepala seraya tersenyum, seolah dia mengatakan kalau dirinya baik-baik saja.Namun, hatiku terlanjut perih melihat perlakuan ayah Yusuf kepadanya. Niat hati ingin menyambut kedatangan mertua, aku urungkan dan aku memilih untuk pergi ke rumah lewat pintu belakang, yang berhadapan langsung dengan pintu belakang restoran pula.Sampai di dapur rumah, aku menumpahkan air mataku sembari duduk di kursi meja makan.Tamparan yang diberikan ayah Yusuf, pasti ada sangkut pautnya dengan pernikahan kami. Mungkin mereka kecewa dan marah, karena putranya menikahi janda kampung seperti diriku ini.Kriieeet .... Pintu belakang terbuka. Yusuf masuk dari sana."Hey, kenapa menangis?" ujarnya m
"Pukul, pukul aku Yusuf. Tampar aku seperti Ayah, tadi menamparmu!" ucap Ayahnya Yusuf dengan mengambil kedua tangan putranya itu."Apa maksud Ayah?" tanya Yusuf."Maafkan aku, Nak. Maafkan Ayah. Ayah terlalu lemah jadi laki-laki. Ayah terlalu bodoh jadi seorang suami."Yusuf memegang kedua pundak ayahnya. Ia membawa pria itu untuk duduk di sampingnya. Aku bergeser untuk memberikan ruang bagi mereka untuk saling berbicara."Arini, sebaiknya kita tinggalkan mereka berdua. Kamu tidak keberatan, bukan?" ujar Mama Salma. Meski ragu, tapi aku mengangguk dan memilih pergi meninggalkan Yusuf dan Ayahnya.Jujur, aku penasaran dan ingin tahu apa yang mereka bicarakan. Ini sangat aneh. Tadi, ayahnya Yusuf terlihat cuek dan tidak peduli pada Yusuf. Bahkan, ia sampai berlaku kasar pada suamiku itu. Namun, setelah kepergian anak da
Kegilaan para pecinta itu memang luar biasa menggebu. Keinginan bersama selalu datang dan tak ingin terhalangi. Maka dari itu, ikatan halal adalah salah satu jalan untuk tidak terbuai dalam dosa. Menjadikan setiap detiknya ibadah yang nyata.Malam ini, kuhabiskan waktu dengan indah bersama pengantinku. Seorang pria tampan yang selalu memberikanku cinta kasih yang tidak pernah aku dapatkan sebelumnya.Saat ia masih terpejam dalam tidurnya, aku menyingkirkan tangan besar yang melingkar di pinggangku. Perlahan, aku bangun dengan memungut pakaian yang berserakan.Suara derit pintu membuatku memejamkan mata. Takut jika bunyinya akan mengganggu tidur mereka yang masih terlelap."Alhamdulilah," lirihku setelah berhasil keluar dari gudang.Aku melanjutkan langkahku hingga berhenti
"Ayah, Arini minta maaf, aku kira ...." Aku tidak melanjutkan kata-kataku dan memilih untuk menundukkan."Hahaha ... kamu lucu sekali Arini, kamu pasti nyari Yusuf, ya? Tadi dia keluar, katanya ingin mengajakmu sarapan."Aku pun ikut tertawa, meski terdengar sumbang. Jujur, rasa malu masih sangat kentara di wajahku saat ini."Kalau gitu, Arin permisi Ayah, maaf sekali lagi," ucapku sembari berjalan mundur.Hah! Memalukan!Untung Ayah lagi baik. Kalau lagi galak seperti pertama datang, habislah aku!Aku mempercepat langkahku menghampiri Yusuf yang ternyata sedang berada di restoran. Kata Ayah, Yusuf mencariku, tapi apa, dia malah duduk santai di sana."Aw!" Yusuf berteriak saat refleks tanganku mencubit pundaknya dengan gemas.Semua orang yang tengah makan melihat ke arah kami. Buru-bu
"Oh, jadi ini yang dititipkan Ayah, padamu?""Ya, ini."Aku menggeleng-gelengkan kepala. Baru kali ini melihat emas batangan berjejer di atas kasur."Ini apa?" Sebuah map berwarna hijau yang aku pegang."Sertifikat rumah yang saat ini Mama dan Ayah tinggali. Hanya itu harta mereka yang belum dikuasi wanita itu. Ayah sengaja menyimpan semua harta sisa miliknya di sini, agar lintah darat itu tidak bisa lagi mengambil apa yang Ayah punya."Tanganku mengambil satu persatu mas batangan. Mengusap, lalu menyimpannya kembali.Baru kali ini aku memegang emas sebesar itu. Rasanya seperti mimpi. Biasanya hanya melihat emas olahan yang dijual di toko perhiasan, kini bisa melihat emas murni dengan graman yang lumayan besar."Jadi, Bunda telah menguasai hart