"Kau sungguh pembohong yang handal."Zhura menutup bibir Azhara dengan tangannya. Setelah memastikan Nenek Manira dan Kakek Maral benar-benar keluar dari yurt itu, dia pun segera menarik dirinya dari hadapan Azhara."Jangan bicara keras-keras, bagaimana kalau mereka mendengarnya?" sembur gadis itu. Zhura sudah menceritakan sebuah kisah melankolis di mana selain tidak punya tempat tinggal, dia juga mempunyai kakak yang penyakitan. Kalau Nenek Manira dan Kakek Maral mendengar ucapan Azhara, bisa-bisa mereka akan meragukan Zhura."Hei," panggil Azhara yang hampir tenggelam dalam lautan emosi, "kau sungguh tak ingin kembali?"Karena Azhara menanyakannya, sekarang Zhura jadi memikirkannya. "Jika kau khawatir aku akan kabur, maka tidak. Jangan khawatir, karena aku tetaplah gadis suci. Kau sudah tahu, 'kan? Aku pergi untuk mendapatkan penawar racun. Tidak sepertimu, perjalananku sejauh ini mempunyai tujuan yang jelas. Jadi, jangan coba-coba mempengaruhiku. Dengan atau tanpa petanya, aku akan
Suara hewan-hewan malam terdengar jelas di tengah keheningan. Azhara berdiri bak patung di tengah ruangan yurt, menatap kosong ke udara. Dia masih bergeming di sana, setidaknya sejak Nenek Manira dan Kakek Maral mengantarkan mereka ke tenda ini. Raut enggan terpampang jelas di wajahnya yang pucat. Sepertinya pemuda itu masih belum menerima keputusan Zhura untuk singgah di sini.Di tempatnya, Zhura masih menggotong barang-barangnya ke sana sini. Setelah semua barangnya tertata rapi, ia mulai sibuk menggelar karpet tidur di lantai. Bahan karpet yang tebal membuat gadis itu kesulitan, bahan tebal tentu saja memiliki berat yang besar. Namun, dengan usaha ekstra akhirnya dia berhasil mengaturnya menjadi alas tidur. Dengan tambahan selimut hangat dan bantal bulunya, kini tempat tidur yang sempurna pun tercipta."Sampai kapan kau mau berdiri di sana?" Ia berbalik, menatap pemuda perak itu seraya mendelik. Zhura sadar kekakuan di antara mereka tidak boleh dibiarkan lebih lama. Dengan letih ia
"Seorang gadis muda memberikan uang padaku, dia menitipkan kuda ini dan memintaku menjaganya.""Apa kau ingat wajahnya?" tanya Inara memastikan."Aku ingat dia bermata hijau dengan rambut cokelat kemerahan, ada gelang Arbutus di tangan kanannya, " jawab pria elf di depannya dengan raut berpikir. "Benar, dia Zhura!" Sebelumnya Inara dan Valea membatalkan pelarian mereka dan memutuskan untuk mencari Zhura. Namun, mereka begitu heran saat melihat kuda Valea yang dibawa Zhura ada di tempat penitipan hewan. Bukankah ia bilang ingin menemui Azhara? Tapi sepertinya gadis itu memutuskan untuk melakukan perjalanan lain dengan kudanya sendiri. Sebenarnya ke mana dia pergi?"Apa dia mengatakan sesuatu tentang pergi ke suatu tempat?" tanya Valea mendesak."Tidak."Apa yang akan kita lakukan sekarang?" Inara mengembuskan napasnya yang menjadi berat. Tak adanya hawa yang bisa ia rasakan dari Zhura m menandakan bahwa temannya itu sudah pergi jauh. Saat mereka sibuk berpikir, para prajurit istana le
"Dia dikirim ke sana dan tidak pernah kembali ke sini. Entah apa sekarang ia masih hidup atau tidak. Menyadari bahwa dia tidak akan pulang ke sini, kadang-kadang membuatku marah. Tidak tahukah mereka bahwa gadis-gadis juga punya perasaan, kehidupan, impian dan juga orang-orang yang menunggu kepulangan mereka di rumah?"Azhara menunduk, wajahnya tersembunyi di balik selendang hitam di kepalanya. Zhura yang tidak mempunyai rencana untuk mendengarkan kenyataan sedemikan rupa, tak dapat berkata apa-apa."Tapi, itu sudah berlalu, semuanya sudah terjadi. Aku pun bisa tenang untuk enam belas tahun ke depan sebelum pemilihan gadis lagi. Aku penasaran dengan gadis-gadis yang terpilih di periode ini, mereka pasti sedang sangat ketakutan karena pemberangkatan yang semakin mendekat," tambah Yara.Azhara yang mendengar itu mendongak, melirik ke arah di mana kira-kira Zhura berada."Takut atau tidak, itu belum pasti. Yang jelas mereka pasti berjuang dengan sekuat tenaga, bagaimana pun itu adalah ti
Mereka berjalan beriringan menuju ke pemukiman. Sebenarnya jaraknya tidak jauh, tapi jalanan yang terjal membuat mereka harus mengeluarkan tenaganya dua kali lipat untuk melewatinya. Azhara tidak mengatakan apapun dan bungkam saat Yara yang digendongnya tak berhenti berbicara. Di belakang, Zhura tampak kepayahan. Sesekali gadis itu berhenti untuk membenarkan posisi dua keranjang di punggungnya. Angin yang sejuk menerpa tak lagi terasa karena seluruh perasaannya kini panas.Keadaan ramai menyambut mereka di padang rumput. Orang-orang sudah menata yurt mereka dengan indah, sementara sisanya ada menyiapkan berbagai kebutuhan untuk perayaan."Bibi, ini sayurannya. Kakak Lailla yang memanennya. Dia benar-benar bersemangat!" ungkap Yara menunjuk dua keranjang berisikan sayur-mayur, menarik turunkan alisnya pada Zhura."Wah, terima kasih, Nak. Kau sangat baik!" Ibu-ibu di bagian dapur tampak tersenyum ramah dan hangat."Tidak masalah, saya senang bisa membantu. Yara juga sangat bersemangat."
Zhura sedang sibuk menggambar ulang peta yang diambil oleh orang-orang Shar menggunakan sisa-sisa ingatannya. Meskipun tidak rapi, tapi asalkan ia paham cara membaca jalur-jalurnya, maka itu sudah cukup. Ketika ia hampir menyelesaikan petanya, Yara tiba-tiba datang dan memaksa Zhura menggulung kembali kertasnya."Kakak Vi!" Yara membungkuk kelelahan, menunjuk ke luar tenda seraya terengah-engah. Bibirnya yang kecil terbuka lebar meraup udara ke dalam paru-parunya. Zhura bangkit dan berlari ke luar. Segera setelah itu, ia terpana. Tidak disangka, banyak sekali orang yang memenuhi penjuru padang, sepertinya perayaan sudah dimulai. Pantas saja ia terus mendengar suara bising sejak tadi."Tunggu dulu, aku belum selesai menjelaskan!" Yara menyusul dengan tertatih. "Kakak Vi ikut pertandingan pacu kuda! Dia ada di sana!""Apa? Bagaimana bisa dia melakukannya?" Zhura mengambil tangan Yara dan mengajaknya berlari. Yara yang tak siap akan tarikan hampir terjungkal."Gila, kau seperti singa! La
Inara turun dari kereta kuda yang membawanya dan dua tabib lain dari istana. Dengan pakaian khas seperti halnya tabib-tabib lain, dia terlihat sangat percaya diri dengan penyamarannya. Nyatanya, ini adalah kali pertama ia menyusup, tentu saja ia masih awam soal aksi seperti ini. Jelas ada keraguan di hatinya, tapi gadis elf itu memiliki lebih banyak keyakinan untuk mengungkapkan kebenaran. Terlebih lagi, semua ini ia lakukan demi Zhura. Jika dalangnya belum ditemukan, maka keamanan temannya itu masih terancam."Ini ruangan Anda." Seorang pelayan mengantarkan Inara ke ruang istirahat. Masing-masing tabib punya satu ruangan."Terima kasih."Setelah membantunya menata barang-barang, pelayan itu undur diri. Inara mempunyai jadwal memeriksa tiga jam lagi, jadi dia masih mempunyai waktu luang. Meskipun begitu, dia tidak bisa menggunakan kesempatan itu untuk bersantai. Seperti yang diperintahkan Tabib Ma, ia harus melaporkan semua hal yang bisa ia temukan di paviliun ini. Gadis elf itu memba
Malam perayaan dilaksanakan, orang-orang Wiyyam serentak keluar dari tenda dan berkumpul beratapkan langit. Sebagian perlombaan baru selesai saat matahari tenggelam, tapi keseruan masih terus berlanjut. Di penjuru pemukiman ini, anak-anak kecil masih saja sibuk kejar-kejaran penuh canda tawa. Api unggun besar pun dinyalakan di tengah padang sebagai penghangat. Meskipun dengan penerangan seadanya itu, acara berjalan begitu meriah.Banyak makanan, permainan, dan pertunjukan membuat padang rumput ini terlihat seperti pasar malam. Kini, Zhura sedang berkumpul bersama orang-orang mengelilingi api unggun. Tepat di sisi kanannya, ada Azhara yang duduk menyembunyikan wajah. Mereka semua bercakap-cakap riang, duduk melingkar seraya berbagi cerita. Cahaya dari nyala api di tengah membuat semua orang menjadi merah."Apa ini?" Zhura mencium minuman di gelasnya, terasa hangat dengan aroma kelapa."Jangan khawatir, itu bukan anggur." Kakek Maral menjawabnya, "Ini adalah minuman khas suku Wiyyam. Na