Share

53. KENA MENTAL

"... Satu-satunya yang tidak bisa ku curi adalah takdir ... "

~ Aru ~

Aku bisa saja masuk tanpa menekan bell seharusnya, tapi aku tidak melakukan itu karena aku menghargai privasi tamu.

"Oh man, aku sudah tidak tinggal lagi disini. Kenapa juga aku masih terus saja menganggap jika ini tempat tinggalku. SIAL! Perasaan itu masih tak mudah pergi dariku rupanya"

Andre membuka pintu, melihat ku dengan wajah senang.

"Mas Aru"

"Hai bro" aku memperlihatkan kantong karton yang berisi makanan,

"Pesan antar makanan datang" aku melucu, Andre senang.

"Kok tahu aku disini, Mas?"

"Kakak mu mengirimiku kesini. Katanya kau bertingkah seperti bayi, dan aku harus menjewermu dengan keras"

"Dasar Tia kurang ajar" gerutunya.

"Jadi kau tidak mau aku disini? Oke, aku pulang"

"Ehh, engak Mas... bukan begitu"

"Klo begitu jaga ucapanmu. Walau bagaimanapun dia kakak mu satu-satunya di dunia ini. Sayangi dia dengan benar, bocah. Jangan terus membuatnya pusing dan jadi cepet menua"

"Haha... kau bisa saja, Mas"

"Cuci tangan mu dan makanlah"

Andre menurut. Dia memang anak penurut sebenarnya, entah kenapa Ara tidak bisa akur dengannya.

"Kau ingin menghabiskan liburan mu kemana saja disini?"

"Kemanapun, asal tidak terkurung dalam rumah sendirian. Membosankan"

"Klo begitu kau bisa jalan ke bawah, ada taman, juga kolam renang. Keluar dari gedung ini, lalu jalan 10 menit kearah kanan kau akan menenukan swalayan. Kenapa harus memilih mengurung diri disini sendirian?"

"Mas kau kan tahu, aku punya masalah dengan bahasa disini. Bahasa Inggis ku tidak cukup baik, itulah kenapa aku tidak pergi kemana-mana"

"Gunakan saja bahasa Indonesia. Sedikit-sedikit ada juga yanng paham. Tapi bukannya kini kau makin berani, huh?" dahinya jadi berkerut karena sulit memahami kalimatku.

"Kau berani kesini sendiri, mana mungkin turun kelantai bawah saja kau tidak berani? Jangan buat kemajuanmu jadi sebuah kemunduran lagi dong!"

"Tidak. Aku belum memiliki kemajuan apapun. Aku masih penakut. Dan lagi, aku tidak kesini seorang diri. Ada Mas Arnold mengantarku kesini kemarin"

"Ar-no?" nyeri rasanya mengetahui hal semacam itu.

"Maksud Mas Aru, Mas Arnold kan?"

"Tunangannya Ara?"

"Dan sekaligus calon suaminya, dong! Namanya bukan Ar-noh tapi Arnold. Kau mengenalnya juga, Mas?"

CALON SUAM-MI?? kata satu itu membuatku jadi kena mental.

Aku tidak mengira jika hubungan mereka menjadi semakin seserius ini. Aku malah sibuk berharap agar mereka segera putus, setiap harinya. Bukan semakin serius seperti ini.

JADI HUBUNGAN MEREKA SUDAH NAIK SATU LEVEL MENUJU KESERIUSANKAH?

OH, YA TUHAN. MENGAPA DIDEKAT KELUARGA ARA HATIKU TERUS SAJA MERASA SAKIT.

"Mas?"

"Hah? Oh ya, tentu aku tahu siapa dia. Jadi dia yang mengantar sampai sini?"

"Ya, Ibu yang menyuruhnya"

"Sekalipun Ibumu tidak menyuruhnya dia pasti otomatis mau!" gerutuku pelan, "Lalu dimana dia sekarang?"

"Sudah pulang. Dia menginap semalam, lalu jalan bersama melihat-lihat kota di pagi harinya, baru siangnya dia pulang"

Seluruh aliran darahku terasa mendidih kini. Badanku memancarkan aura panas. Aku merasa kena mental dengan kalimat jujur Andre yang sederhana.

Jadi beberapa hari aku menghindari temu dengannya, dia jadi semakin berani seperti ini.

Ara, mengapa kau begitu brengsek?!!!

Calm down Aru! Kau lupa sudah putus? Dan ini bukan lagi hunianmu. Jadi kau tak harusnya mendidih begini.

"We're done Aru. We're done!" bisik sebuah suara dari dalam diriku.

"Kau bilang kau lapar. Makanlah!"

"Tapi setelah ini kau akan mengajak ku jalan, bukan?"

"Kau mau kemana?"

"Cari pacar mungkin?"

"Kau belum punya?"

"Kayak Mas Aru punya ajah" sindirnya.

Sial, itu juga menyodok hatiku. Terlebih hubungan dekat ku dengan Ara juga tak punya wajah kejelasan. Kita bukan pacar, bukan juga musuh. Teman juga bukan.

"Kau meremehkan ku, bocah?"

"Jangan MEMANGGILKU BOCAH LAGI. Aku sudah mimpi basah, tau!"

"WAOUH. Jadi kau sudah baliqh, huh?"

"Mmm, ya tentu. Secantik siapa pacarmu, Mas?" aihnya berbicara.

"Secantik bidadari dengan sayap hitam. Dan perhatiannya...? Perhatiannya juga seperti emak-emak. Peluknya...? Bahkan sehangat selimut berbulu domba"

Andre terkikik.

"Kau sedang memuji atau sebaliknya sih? Lucu banget kau ini Mas!"

"Mumpung dia ngak dengar!" lirihku.

"Ku harap itu bukan Tia"

"Dan KENAPA ITU harus DIA?" sinisku balik menghajar.

"Aku tak ingin kau patah hati. Dia sdah dimiliki. Dan kau tak pernah terlihat bersama orang lain selain dengan dia. Maksudku, aku belum pernah melihat pacarmu. Kau bisa tunjukkan fotonya?"

"Kau LUCU! KAU pikir pacarku ARTIS? Harus ku PAMERKAN semua orang?!"

"Ku harap itu buka kebohongan dan sangkalan mu belaka!"

"KAU PIKIR AKU ini penjahat yang suka bohong sana - bohong sini, heh? Lagi pula apa untungnya aku berbohong padamu? ITU TIDAK akan MEMBUATKU KAYA JUGA! Sudahlah. Aku ke kamar kecil dulu" Aku beralih pergi.

"Tidak adik, tidak juga kakaknya, sama saja pandai memberikan luka" gerutuku lirih memasuki kamar mandi.

Aku membasuhkan air ke mukaku dengan kesal untuk mengusir berat dari dalam diriku.

Jadi apa ini semua jawab dari tanya raguku? Apa ini rahasia yang Ara bagi dengan Tasya? Ini jugakah yang coba dia jelaskan padaku waktu itu?

"Tinggalkan Ara atau lukamu akan semakin parah, Aru!" kalimat Tasya terdengar lagi di kepalaku.

Inikah isyarat yang coba Tasya jelaskan jika aku tak bisa mencuri takdirnya?

Percakapan dihari yang kacau waktu itu dengan Tasya kembali mengulang lagi dalam kilas balik pikiranku.

.....

"Boleh aku tahu sesuatu tentang Arnold?"

Seketika wajah santai Tasya berubah jadi serius. Dan akupun terbawa serius.

"Kau mengenal kita semua dengan baik. Jadi aku berharap dengan bertanya objektif padamu tentangnya, itu akan memberikan pencerahan baru bagiku dalam memandang dan mensikapi kesulitan yang kuhadapi ini"

"I hope so" jawab Tasya.

"Sya, apa dia berasal dari keluarga yang baik?" aku mengawali tanya pertamaku.

"Ya. Semua keluarganya bersih. Tak ada yang pernah masuk perjara atau terkena kasus buruk. Keluarganya terkenal taat beribadah. Mereka rajin ke Gereja. Itu yang ku tahu"

Sekalipun silsilah keluargaku juga baik dan bersih, tak seorangpun dari kami yang pernah masuk penjara juga. Tapi aku masih merasa kalah. Karena tempat dan cara ibadah kami berbeda. Ara tak bisa memenangkan aku untuk hal ini. Dan aku tahu itu sejak awal.

"Lalu apa lebihnya dia dariku, Sya?"

Tasya menyeringai ringan sejenak.

"Dia mapan, sopan, dan punya iman yang sama dengan Ara. Kkau tidak, Ru!"

Benar. Itulah kenapa hubungan ini terasa begitu sulit dipertahankan. Itulah kenapa benteng ini begitu sulit dijebol. Itulah kenapa, aku tak punya dukungan dari siapapun. Termasuk dari Zein, juga Tasya.

"Andai kata kau harus menilai dari sudutmu memandang..." aku merasa berat, jadi mengambil jeda sejenak. 

"Apa yang memberatkan Ara memilih dia dari pada memilihku?"  

Ini pertanyaan yang cukup sulit untuk diterima dengan lapang seharusnya. Ini tidak mudah, jadi aku menguatkan mental menerimanya.

Tasya melepas pikiran beratnya dari pertanyaan itu dan menjawab tanyaku. 

"Kau tahu. Kau pasti tahu jawabnya Aru. Kurasa kau ragu membenarkannya, jadi kau bertanya ulang padaku. Jelas sekali jika itu karena keluarga Ara. Semua yang memberatkan pilihannya untuk memilihmu adalah keluarganya. Rasa patuh Ara pada orang tuanya dan sikap baktinya pada Papa-Mamanya adalah hal yang tidak bisa iya tentang serta-merta, walaupun Ara juga memikirkan perasaan mu tapi dominasi kuasa orang tuanya akan dirinya lebih besar daripada kuasa akan cintanya padamu"

Embun mataku mulai datang lagi, memeningkan kepala. Yah, aku tak bisa mengalahkan mereka. Mereka adalah cinta pertama Ara yang sesungguhnya, yang tak bisa diganti dengan cinta-cinta dari yang lainnya. 

"Kau baik?" Tasya mulai menyadari kegetiranku makin berat dan dalam. 

Aku mengangguk.

"Tidak apa-apa"

Setelah menarik udara dari rongga hidungku dan menegarkan kembali perasaanku. Aku melanjutkannya lagi. 

"Menurut mu adakah hal yang tak bisa ku curi dari Arno? Apa yang tak bisa ku curi darinya?"

Tasya tersenyum masam sebelum menjawabku. Entah itu senyum karena  iba padaku atau karena tegelitik geli.

"Kau bukan pencuri Aru. Apa yang ingin kau curi? Kau bukan pencuri, Ru!"

"Lalu apa itu Ar-noh?" potongku sewot.

Tasya malah tertawa lepas medengar sindiran itu kutujukan pada Arnold. 

"Meski aku tidak berada diposisimu saat ini. Dan tidak pula memiliki perasaan yang serumit seperti perasaan mu. Tapi kurasa aku bisa memahami tuduhan mu itu, jika dia yang mencuri Ara darimu. Yah, jika saja itu aku, tentu aku pasti tak bisa tinggal diam tanpa membuat kekacauan juga"

Tasya menjeda, mengamatiku sejenak.

"Tapi kau bukanlah aku, Ru. Kau masih menahan diri untuk tetap memikirkan perasaan Ara. Kau takut dia terluka dengan semua tindakan berontakmu, jadi kau memilih diam menahan semua amarahmu sendiri daripada harus menunjukkan semua marahmu ke Ara"

Dia melepas tatapannya dariku.

"Cinta akhirnya mengajarkan mu akan kontradiksi, bukan?" tatapannya kembali beradu padaku.

"Kau harus melemah, disaat sebenarnya kau justru punya kekuatan ekstra besar untuk marah. Dan kau harus menjadi sangat kuat, justru disaat seluruh kekuatan mu menjadi sangat runtuh"

"Jangan mengasihani ku. Sekalipun itu benar. Kau hanya harus menjawab tanyaku dengan benar. Bukan merasa kasihan padaku!"

"Aru... Aru.... Ku harap kau juga bisa setegas ini pada Ara, tidak hanya padaku saja. Jadi kau tak akan terlalu tersakiti oleh sikap plin--plannya" Tasya memprotes, sekaligus memperingati.

"But well... untuk pertanyaan mu tadi. Satu-satunya bagian yang tidak bisa kau curi dari dunia ini adalah takdir hidup seseorang dan waktu, Aru! Seberapa berkuasanya kau, seberapa hebatnya dirimu. Kau tetap tak akan pernah bisa mencuri waktu dan takdir seseorang ketika sudah dipertemukan dalam keserasian"

Aku lemah. Menjadi sangat lemah mendengarnya. Tasya benar. Ada hal yang selama ini aku lupakan, aku tak bisa mencuri takdir dan waktu yang bukan milikku. Termasuk takdir siapa pasanganku kelak, siapa pasangan Ara kelak, dan kapan waktu kita akan menemukan takdir kita masing-masing.

Nyeri dan perasaan berat ini timbul dan berkembang lagi menyesaki dadaku, menyesaki pikiranku, menyesakkan ku. Tapi aku tak bisa berhenti. Aku masih punya banyak pertanyaan lagi untuk diajukan, untuk memenuhi rasa penasaranku yang belum selesai. 

Aku meng-ganda-kan lagi ketegaranku. Bersiap dengan pertanyaan berat ku selanjutnya.

"Sya, beritahu aku..."

Perasaan berat ini menggangguku. Aku sejenak mengukur kekuatan diriku.

'Apa aku siap mengutarakan tanya ini?' 'Apa aku siap mendengar jawabnya?' 'Tapi aku harus bertanya padanya, kan?'

Aku menguatkan diri. Memberanikan diri menghadapi semuanya.

"Apa?"

"Apa yang membuatmu menilai, aku harus meninggalkan Ara waktu itu?"

"Apa yang membuatmu berpikir jika.... Jika Ara lebih pantas hidup bersamanya daripada bersamaku?"

Aku hanya harus bersiap,  jika saja...

Mungkin aku akan kena mental lagi menerima jawabnya.

.....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status