"... Aku ditempatnya bukan lagi cinta .... "
~ Masih Aru ~
Masihkah hatinya terluka jika aku dekat dengan perempuan lain?
Masihkah hatinya terbakar jika aku dirayu-rayu orang lain? Dan aku akan mengetahuinya sebentar lagi, saat api ini mulai menyulut di hatinya.
"Uhh, ada yang kangen-kangenan dan bikin iri aja nih" sela Andre menimpali, "Kapan kita akan brangkat?"
"Sekarang?" Quin melirik meminta persetujuan dan pendapatku.
"Kau tidak lelah?"
Quin menggeleng.
"Bagus. Aku juga sudah mulai bosan hanya terkurung disini. Kalau begitu sebaiknya kita bersiap. Aku akan ke kamar dan bersiap" Andre bersemangat, tak ingin mengulur waktu lagi.
"Kurasa, aku juga akan melakukan hal yang sama. Aku dulua ya, Ra"
Kembali kami terlinggal berdua saja.
"Jadi kau merencanakan pergi naik motor BONCENGAN dengannya? Kenapa? Agar kalian bisa
"... Apa terbang dengan dalih menghibur sahabat yang patah hati adalah tindakan teman baik ... "~ Ara ~Aku mengantongi kembali ponselku, setelah telp Arnold selesai.Aku menghempas nafas penuh beban yang menyesaki ku. Terlebih saat ingat Quin terus saja mengatakan hal-hal yang bernada merayu pada Aru. Kedekatan mereka, percakapan mereka selalu memicu keruh dalam suasana hatiku, dan aku tetap tidak bisa bertindak lebih jauh untuk menyelamatkan diriku dari rasa getir yang menikam itu, selain hanya menyembunyikannya secara pribadi dalam ruang diamku.Aku menatap hampa sejenak pada ruang terbuka yang biasanya ramai diisi puluhan manusia tapi kini mendadak sunyi seperti ruang dalam diriku juga. Lantas pikiranku serasa dicuri oleh waktu yang sudah berlalu beberapa menit lalu, membeku dalam pikiranku."Kau bisa istirahat disini. Klo kau butuh baju kau bisa mengambil dari lemariku" aku men
"... Didepanku saja kau berani bermesra, bagaimana bila tanpa pengawasku ... " ~ Masih Ara ~ Kami akhirnya berhenti disalah satu rumah makan bercita rasa Timur Tengahnya yang berada di Bussaroh street. Diantara banyaknya kedai makan disini, Quin lebih memilih restoran Turki sebagai pilihan untuk singgah. Aku dan Andre tak keberatan soal itu, sebab kami bisa makan apa saja. "Kalian sering kemari?" Quin bertanya padaku juga Aru. "Disini?" "Kesini?" Suaraku dan Aru beradu kompak. "Tidak. Kami biasa makan di rumah. Tapi jika lagi malas masak ya beli" Quin menatapku dengan wajah tanya. Seakan kalimatku itu tak bisa dia terima dengan mudah. "Apartemen masing-masingkan?" tanya Quin curiga dan Aru mengangguk cepat. "Kau bisa masak sekarang? Kenapa aku baru tahu" bisiknya pada Aru. Aku menangkap Aru melirikku sejenak. "Kemandirian mengajarkan
"... Aku seperti pendatang dari planet lain dalam memahami absurdnya mereka ..." ~ Ara ~ Kampung Glam ialah salah satu diantara beberapa pemukiman tertua yang ada di Singapura. Dulunya tempat ini, oleh Sir Thomas Raffles, merupakan kawasan yang diperuntukkan bagi orang melayu arab dan orang bugis tinggal. Tapi kini lebih dikenal sebagai kawasan wisata yang kèce dan instagramable, karena punya spot foto yang cantik menarik. Kami menyusuri jalanan Haji Lane yang selalu ramai didatangi para pelancong lokal maupun internasional. Aku dengan Andre berjalan didepan, sementara Quin dan Aru dibelakang kami. Mereka selalu terlihat mengobrol dengan akrab dan ser, sementara aku dan adikku hanya diam menikmati sekitar tanpa banyak komentar dan suara. Kami bahkan tidak terlihat akrab, apalagi bersaudara. Langkah kami sebentar-sebentar berhenti karena tidak bis
"... Bukan putus yang menyebabkan cinta itu hilang tapi kebohongan ..." ~ Aru ~ Aku terhenyak kaget juga merasa takut saat Ara mendorong kursi dan seketika berdiri dengan wajah tak bahagianya. Kurasa dia mulai kesal dan perlahan kehilang kendali dirinya sendiri. Dan semua mata di meja ini jadi mentapnya. "Ahh, perutku sakit. Sorry, aku tak lagi bisa menahan diri untuk kentut. Aku ke kamar kecil dulu" Ara pergi setelah berhasil meraih tas kecilnya. Dia berhasil membuatku dan Andre terpingkal-pingkal, namun Quin haya terkikik ringan mendengarnya. Tapi aku menduga, dia pasti cemburu. Karena itu, kamar kecil adalah tempat sempurna untuk bersembunyi, menjeda dan memperbaiki krisis dalam dirinya. Aku selesai makan, Andre dan Quin juga menyudahi makan mereka setelahku. Tapi Ara belum juga kembali sejak tadi. Apa jangan-jangan dia sakit perut sungguhan?
"... Ikatan ini bukan tentang hati ..." ~ Aru ~ Aku kehilangan jejak mobil Ara beberapa menit kemudian setelah keluar dari area parkir. Aku sangat yakin mereka masih mengikuti dibelakang motorku saat keluar dari parkiran tadi. Kurasa, mobil Ara menghilang setelah melalui lampu merah itu. "Kau lihat mobil Ara?" "Huh?" Quin tidak jelas mendengar. "Mobil Ara, kau lihat?" "Ara menyalib mu didepan tadi" "Oh ya? Aku tidak melihat?" "Kau terlalu asyik mengobrol denganku sepertinya, makanya tidak lihat" "Mungkin" aku lantas menepi, "Dia bilang mau kemana tadi?" "Botanic Garden kan? Dia tidak bilang padamukah, mau kemananya?" "Tidak. Tadikan dia masih bingung antara ke Orchard atau− Coba aku hubungi dia, ohh− " Aku cepat meralat karena lupa belum mengganti nama kontak Ara diponselku. "Kau saja yang hubungi dia, sementar
"... Kekompakan mereka, toxic pikiran ... " ~ Ara ~ Aku bolak-balik melihat ponsel, tapi belum ingin membalas pesan-pesan Aru. Biarkan saja dia tahu kalau aku sedang marah padanya. "Kau dimana? Aku kehilangan jejak mu dan tidak bisa mengikuti mu" aku membacanya sekali lagi. "Aku di taman Haw Par Villa jika kau mau menyusul kemari" Aku tidak ingin menyusul jika hanya untuk melihat wajah bahagia itu membakar perasaanku. Maaf, aku tidak bisa dan tidak mau! Aku sangat kesal padanya, hingga membiarkan adik ku berselfie sendiri. Hanya agar dia tidak mengendus rasa patah hati dan kecewa ku akan Aru. "Klo kau mau kesini silahkan, tapi aku tak akan menyusul mu" kirim. Aku lantas beralih melihat foto-foto ku dan memutuskan untuk mengupload beberapa foto ke story ku. Namun sebelum itu, aku lebih dulu membuka kotak DM yang masuk. Itu d
"... Cemburu itu racun pikiran ... " ~ Ara ~ Aku dan Andre pulang lebih awal. Aku kehabisan mood baikku hari ini dan membawa dia pulang dengan alasan tidak enak badan. Beruntung dia tidak banyak bertanya dan menurut saja. "Sya, I'm so down and sad right now" aku mengirimi Tasya pesan. Aku butuh teman curhat, berhap dia bisa menenangkan hati gundahku yang tak menentu karena masih terbayang-bayangi oleh sikap romansa Aru dan Qiun sedari tadi. Seperti halnya saat masih disekitar area masjid Sultan tadi, sehabis mereka selesai ibadah. Mereka keluar dengan wajah senang, berbagi obrolan-obrolan yang tak bisa ku dengar. Saat Quin selesai mengenakan kembali sepatunya dan Aru menyusul duduk disebelahnya hendak meminta minum. Dengan sigap Quin mengeluarkan botol minum dari tasnya. Dan yang semakin membuat sebal, kenapa juga dia harus membukakan tutup botolnya sementara dari p
"... Kaulah penawar hati yang terkena racun-racun cinta ... " ~ Aru ~ Aku tahu dia pasti sedang tersiksa dengan rasa cemburunya itu, tapi dasar Ara keras kepala, dia tetap saja tidak mau mengakuinya. Memang apa susahnya bilang 'ya, aku cemburu' sesimpel itu saja dan aku akan dengan senang hati menyudahinya. Jangan mengira aku tidak tahu dengan setiap perubahan sikapnya itu. Seberapa banyak dia ingin menyangkalnya, jejak sakit itu tetap terlihat disana. Meskipun wujudnya juga samar, tapi tetap saja tertinggal disana. Di wajah itu. Jika memang dia tidak cemburu, tentu saja dia tak akan membunyikan klakson mobilnya dengan keras dan kasar, lalu memilih untuk melarikan diri dariku daripada tetap berada didekatku. Aku tahu betul apa yang membuatnya tidak tahan lagi. Dia melihatku yang tanpa sengaja hampir bersentuhan muka dengan Quin. Dia pasti shock dengan itu, bahkan