"... Kaulah penawar hati yang terkena racun-racun cinta ... "
~ Aru ~
Aku tahu dia pasti sedang tersiksa dengan rasa cemburunya itu, tapi dasar Ara keras kepala, dia tetap saja tidak mau mengakuinya.
Memang apa susahnya bilang 'ya, aku cemburu' sesimpel itu saja dan aku akan dengan senang hati menyudahinya.
Jangan mengira aku tidak tahu dengan setiap perubahan sikapnya itu. Seberapa banyak dia ingin menyangkalnya, jejak sakit itu tetap terlihat disana. Meskipun wujudnya juga samar, tapi tetap saja tertinggal disana. Di wajah itu.
Jika memang dia tidak cemburu, tentu saja dia tak akan membunyikan klakson mobilnya dengan keras dan kasar, lalu memilih untuk melarikan diri dariku daripada tetap berada didekatku.
Aku tahu betul apa yang membuatnya tidak tahan lagi. Dia melihatku yang tanpa sengaja hampir bersentuhan muka dengan Quin. Dia pasti shock dengan itu, bahkan
"... Kontradiksi memahamkan kita dengan kaidah baru ..."~ Aru ~Aku membantu Quin menaiki bumboat. Bumboat ialah sejenis tongkang kapal kayu. Aku membawanya kesini agar bisa menikmati indahnya kota dari jalur perairan."Kau bahkan sengaja mem-booking tiketnya secara online?""Aku ingin ini sempurna. Aku juga ingin mengisi kebersamaan ini dengan banyak kenangan indah. Jadi kelak kau tak akan kehabisan stok untuk mendongeng pada anakmu tentang aku""PD BANGET ANDA, YA?" ujarnya sambil tersipu senang, "But I like the way you treat me this well, tho""NOPE! You just like me, tho" candaku, menirukannya kemarin saat di bandara."Dan apa misi mu?""Bersantai menikmati kota modern ini dalam sentuhan keklasikan. Serupa halnya persahabatan kita. Seperti halnya juga masa depan kita""Aku boleh salah paham dengan konsep MASA DEPAN KITA it
"... Aku hanya harus percaya, agar hatiku baik-baik saja ... "~ Ara ~"Then, are you jealous now?" tanya Tasya dalam pesannya."Entah. Hanya merasa ini berat diatasi""Tell me more. Call OK?"Aku bergegas keluar dari kamarku dan mendapati Andre sedang menikmati makan malam simpelnya."Aku kebawah sebentar. Kau tak usah ikut""Siapa juga yang mau ikut" gerutunya."Aku tak lama. Hanya perlu mengobrol dengan− ""Mas Arnold? Ya, silahkan!"Aku memilih tempat dan menghubungi Tasya."Sya...,""Yes, I'm here""Entah kenapa saat mereka bersama aku serasa jadi orang asing yang terasingkan pula. Pesonaku serasa pudar darinya. Dan Quinlah orang yang membuatnya begitu. Aku tidak percaya diri, dan jadi pesimis begini. Dia itu punya girlfriend material yang tak hanya dicari para lelaki tapi juga memikat ba
"... Hug is kinda quick healing ... " ~ Aru ~ Aku mengetuk kamar Quin untuk mengajaknya sarapan. Kamar hotel kami bersebelahan, dan tak butuh waktu lama untuknya bersiap. "Tidurmu nyenyak?" "Lumayan" "De− Ah, dia masih mengganggu mu?" "Seperti saranmu, aku mematikan ponselku agar dia tak menggangguku. Kau masih butuh charger?" "NO. Ponselku terlanjur mati dan aku langsung tidur" Quin menyalakan ponselnya. "Quin...?" cegahku, memintanya menimbang sekali lagi. Mengingat mantannya terus saja mengganggunya hingga dia beruai air mata semalam. Lalu memutuskan untuk menginap di hotel karena malu jika mata bengkaknya diketahui Ara. "Tenanglah. Aku hanya takut klo ibu menelfon, terlebih karena ponselmu juga mati. Mama bisa tak lagi percaya padaku ataupun padamu" "Ohh, ya. Kau benar" "Uhh? Lima panggilan tak terjawab. Ara!
"... Cemburu mendorongku tuk menjauh, tapi logika memintaku berdamai ... " ~ Ara ~ Aru dan Quin kompak mengajak keluar malam ini. Katanya karena mereka ingin mencoba hal baru yang belum pernah mereka lakukan dalam perjalanan liburannya di kota ini. Langkah kami berhenti tepat didepan salah satu toko dipinggiran jalan yang tampak dua orang busker sedang sibuk bersiap disana. Lalu Aru dan Quin saling berbisik dengan wajah malu dan senang mereka, entah membicarakan apa. "Ready?" hanya itu yang bisa ku dengar dari tanya Aru pada Quin. "Yah" "Kalian tunggu disini yah" ujar Aru padaku dan Andre, lantas mereka pergi. Mereka berbincang akrab dengan para buskers itu. Saat Quin masih terlibat pembicaraan dengan mereka, Aru justru menghampiri kami. "Kita mampir dulu disini sejam-dua jam tidak apakan? Ada penampilan spesial malam ini" Aku
"... Banyak hal melemahkan kekuatan, meyakinkan jika itu bukan jalan juang kita lagi ..." ~ Aru ~ - EMPAT JAM EBELUMNYA - Andre terlihat bosan dengan tontonan televisi. Dia berulang kali mengganti canelnya tapi masih belum menemukan tontonan yang cocok, versinya. "Ndre kok sepi, pada kemana?" "Tiaaa, biasalah pacaran. Barusan aja turun. Kau tidak bertemu dengannya?" Aku menggeleng. "Quin?" "Di kamar sepertinya. Kau sudah rindu padanya, Mas?" tanyanya jail. "Aru, bergabunglah denganku" Quin mengajak ku bermain gitar. "Baiklah" "Susah jadi jomblo. Sendirian terus" keluh Andre sok terganggu. "Tapi itu bukan salahku, kan?" bisikku. "Kau bisa gabung klo mau" "TIDAK! Ini waktu kita Quin" protesku pada Quin. Andre terdiam pasyerah. "Selamat menikmati waktu sendirim
"... Dia tak baik sekalipun terlihat baik ... " ~ Ara ~ Aku meninggalkan mereka cukup lama. Daripada membuang waktu melihat kemesraan mereka yang menyiksa dan unfaedah, aku lebih memilih menghibur diri dengan berjalan melihat beberapa toko yang menarik mata. Sudah cukup mereka merusak suasana hatiku, aku tak ingin terpengaruh oleh kedekatan mereka. Jadi aku hanya duduk di depan toko tadi, berharap salah satunya merasa kehilangan dan mencariku. Tapi tak satupun dari mereka yang peduli dan mencariku. "MENYEBALKAN!" "Cemburu, huh?" "Aru??" Aku menoleh pada suara dibelakangku yang membuatku panik tapi juga merasa senang. Akhirnya dia datang mencariku. "Tidak!" aku berbalik, menyelamatkan muka maluku darinya. "Lalu kenapa melarikan diri?" "Aku tidak lari. AKU hanya− " "Tidak suka pertunjukanku?" "Nope. Ak
"... Sometimes being secret is fine ... " ~ Masih Ara ~ Ponsel Quin berbunyi. Sebuah panggilan video dari Zein masuk saat kami sedang sarapan pagi. Mereka sejak pagi sudah ramai di dapur, memasak dengan suara bising sambil bernyanyi. Dan itu jelas mengganggu waktu hening pagiku yang biasanya kugunakan untuk tidur lagi. Namun pagi tadi berbeda, aku harus bergabung dengan mereka suka tidak suka, untuk mengawasi tingkah mereka. "Good morning guys?" sapa Zein. "Morning" jawab Quin ramah. "Kenapa kau menghubungi Quin? Bukan menghubungiku saja, bro?" "Bosanlah dengan mu. Sekali-kali aku juga pengen menelfon temanku yang cantik. Aku lihat ada yang makan-makan enak semalam tapi ngak ngajakin aku" Zein mulai melempar candaannya, "Hey couple. Kapan traktirannya sampai padaku juga?" senyum terkembang dari keduanya yang
"... Ada percik cinta diantara mereka... " ~ Ara ~ Kami semua terjebak di rumah seharian ini, karena gerimis sejak pagi belum juga berhenti dan mobil yang kusewa sudah dikembalikan. Alhasil kami tak kemana-mana seharian ini, hanya di rumah, nobar film dan sekarang di kamar lagi. "Ra, thank you. Aku sudah mengkopi semuanya" Aku menerima kameraku kembali. "Aku malah belum melihatnya" "Oh ya? Ah, Aku tinggal mandi dulu yah" Aku mengangguk. Lalu memeriksa hasil foto-foto juga video rekaman kemarin. Mereka berdua sangat baik bernyanyi. Aku jadi penasaran seperti apa band mereka dulu. Aku penasaran bagaimana Aru dulu diatas panggung, apakah sama seceria ini juga? Ataukah dulu justru dia lebih bahagia? Tapi aku bisa melihat bagaimana Aru menikmati pertunjukan sederhana ini, jika dibandingkan dengan saat ia hanya ber