Manusia adakalanya mengeluh. Mungkin juga menyesali hidupnya. Mengapa aku ada di tempat ini? Mengapa harus aku yang mengalami semua yang tidak kuharapkan?
Untuk apa semua itu terjadi? Untuk apa aku ada dan hidup jika semua hanya kepedihan? Perlukah dipertanyakan? Karena seringkali jawabnya hanya ditemukan di tangan Sang Ilahi.220496________________________Senyum Dokter Ganteng"Terima kasih, Dokter. Saya jadi cepat sehat. Abis dokternya keren gini." Seorang ibu tersenyum lebar setelah selesai diperiksa seorang dokter muda dan tampan."Besok sudah bisa pulang ya, Bu Fani. Ga usah balik lagi, sehat terus," ujar dokter itu sambil tersenyum manis. Senyumannya menawan dengan mata sedikit lebar dan alis yang tajam."Kalau dokter yang periksa, sakit tiap minggu juga mau saya," kata Bu Fani. Dia tidak bosan memandang dokter berwajah tegas dengan hidung mancung yang bagus itu."Ibu bisa saja." Dokter itu tersenyum lagi."Sampai ketemu lagi, Dokter David." Ibu itu melambai.David Rodriguez Dwika Adiguna, dokter muda yang tampan, menjadi idola para perawat dan pasien. Dikenal ramah dan baik hati. Namun siapa yang tahu, hatinya menyimpan luka teramat dalam. Tunangannya pergi meninggalkan dia, tepat tiga bulan sebelum hari pernikahan mereka dilangsungkan. Hampir dua tahun berlalu, David masih sangat sulit melupakan Listy Fradianti. Wanita yang dia cintai itu telah menjadi model terkenal di ibukota. Karena karir yang dia kejar, Listy rela melepas David, sekalipun hubungan mereka telah berjalan hampir lima tahun."Model baru yang makin naik daun, Listy Fradianti, dikabarkan kini dekat dengan artis senior Boy Winston. Ya, menurut kabar …."David mengangkat wajahnya melihat ke depan, wajah cantik itu kembali berkeliaran di layar kaca. David mengambil remote dan mematikan TV."Baru lihat TV, kamu lagi yang muncul." David kesal juga. Cepat-cepat David memakan habis gado-gado di piringnya.Setelah itu dia pergi mandi dan berangkat tidur. Dia harus ambil waktu istirahat, karena sore akan praktek jam empat sampai jam delapan di klinik, lalu langsung mendampingi salah satu dokter seniornya, melakukan operasi."Aku ga bisa, Dave. Aku punya impian besar di hidupku. Kalau aku di sini, aku ga akan jadi apa-apa. Maaf, kita harus pisah." Masih terngiang jelas di telinga David, Listy memutuskan hubungan mereka."Listy, apa kita harus bubar? Pikirkan lagi. Semua sudah kita rencanakan untuk married tahun ini. Tinggal tiga bulan lagi, Listy." David membujuk Listy. Dadanya terasa carut marut mendengar apa yang Listy katakan."Setelah kita nikah, aku ga akan menghalangi karirmu. Aku bisa paham impian kamu. Kita bicarakan lagi, pasti ada solusi," lanjut David, memandang Listy dengan tatapan memelas."Dave, kalau kita nikah, semua akan berbeda. Kesan model single dan yang sudah ada pasangan itu beda. Kita mungkin memang ga berjodoh. Maafkan aku ... Terima kasih untuk kebersamaan kita selama ini." Dengan lembut, Listy mencium pipi kekasihnya, meletakkan cincin pertunangan di meja, dan meninggalkan rumah David."Listy ...." David terbangun. "Kenapa masih kepikiran terus? Sampai terbawa saat tidur?"Kepedihan karena Listy masih menganga. Banyak gadis cantik mendekat, David tak kunjung ingin beralih. Enggan memulai lagi, karena takut lukanya akan terulang.*****Tangis Gadis KecilDi sisi lain, di luar kota. Di sebuah desa yang indah dan asri.Lintang Widari Margita. Gadis hampir tujuh belas tahun itu menatap makam di depannya. Hatinya galau dan sedih. Air mata menetes di kedua pipinya yang kuning langsat. Dia elus nisan putih ibunya. Pilu, itu yang dia rasakan. Beberapa kali terdengar isakan dari gadis itu. Dia bersimpuh di sisi makam, masih mengenakan seragam SMA. Pulang sekolah, Lintang memang sengaja langsung mengunjungi makam ibunya."Ibu, hampir satu tahun Ibu pergi. Tapi aku tetap sangat kehilangan. Kehidupanku sekarang memang lebih baik. Tapi di rumah itu tidak ada Ibu lagi. Pak Lurah dan Bu Lurah sangat baik padaku dan Wulan. Walau begitu, tanpa Ibu, tetap tidak sama," kata Lintang pelan. Semua kenangan saat masih bersama ibu silih berganti memenuhi kepalanya. Hari-hari itu tidak mungkin akan kembali. Ibu telah pergi untuk selamanya.Kehidupan Lintang bagaikan gelombang laut yang terus bergelora. Ketika dia berusia sepuluh tahun, ayahnya pergi meninggalkan dia dan adiknya Wulan, bersama ibu di desa. Ayahnya menghadapi tekanan berat karena tidak punya pekerjaan setelah mengalami PHK. Situasi yang sulit membuat ayah menjadi pemabuk dan kejam pada anak dan istrinya. Ingin mengubah nasib, dia memilih pergi ke kota.Sejak itu tidak pernah ada kabar lagi tentang ayah. Ibu harus berjuang keras menghidupi kedua putrinya. Namun sayang, kesulitan hidup membuat sakit mendera tubuh ibu. Hingga akhirnya, karena tidak mampu pergi ke dokter, ibu terpaksa menghembuskan nafas, meregang nyawa, dan meninggalkan Lintang dengan Wulan, sendirian. Seorang gadis remaja yang tidak mengenal banyak asam garam kehidupan bersama adiknya, yang baru berusia sepuluh tahun.“Tapi aku janji, Bu, aku akan menjaga Wulan, aku akan melindungi dia. Dia akan baik-baik saja. Ibu jangan kuatir.” Lintang menguatkan hatinya, dia elus lagi nisan putih di depannya itu.Kehidupan terus berjalan. Meratapi nasib tidak akan ada guanya. Dia tidak boleh lemah dan menyerah. Lintang punya mimpi, entah bagaimana dia harus bisa mewujudkan mimpinya itu. Dia akan sekolah hingga selesai, kemudian dia akan bekerja di toko kue. Lintang suka membuat kue. Dia akan belajar di sana agar satu kali nanti dia bisa punya toko kue sendiri. Itu mimpinya, yang adalah mimpi ibunya juga.Setelah puas melepas rindu dan pedih di depan pusara ibunya, Lintang berdiri. Dia merapikan pakaiannya, mengangkat tas dan berjalan pulang. Ada rasa takut mendera saat Lintang semakin dekat dengan rumah Pak Lurah. Telah satu minggu, anak Pak Lurah yang telah selesai kuliah di kota pulang. Harjo Sasmito, panggilannya Mito. Dia bersikap dingin dan kasar pada Lintang dan Wulan. Dari awal dia datang, dengan tegas dia mengatakan tidak suka pada kakak beradik itu.Sekalipun Pak dan Bu Lurah menjelaskan mengapa Lintang dan Wulan tinggal dengan mereka, Mito seolah tidak lega. Dia akan bertindak semaunya bahkan semakin hari semakin kejam saat orang tuanya tidak ada di rumah. Lintang sangat kuatir dengan Wulan. Adiknya itu mulai terus ketakutan jika keluar kamar dan tampak Mito di sekitar mereka. Dua malam terakhir Wulan bahkan mengigau tidak jelas dalam tidurnya dengan tubuh gemetar.“Tuhan, kumohon, lindungi aku dan Wulan.” Lintang mengucapkan doa sambil memandang rumah Pak Lurah yang sudah tampak di depannya.*Dokter baik hati di kota dan gadis kecil yang malang di desa. Mereka tidak akan pernah mengira jika satu kali hidup yang menggulirkan suatu tragedi akan mempertemukan mereka."Tuhan, aku hanya rindu kasih sayang yang tulus. Cinta dari seorang wanita yang Kau berikan untukku. Adakah itu? Jika Kau sediakan seseorang, kirimkan dia padaku." – David.“Mimpiku punya rumah mungil yang cantik dengan seorang pria baik hati yang menyayangiku dan Wulan. Tuhan, jika aku meminta, apakah itu berlebihan?” – Lintang.Seandainya bisa melihat masa depan, ada sesuatu yang lebih indah dari mimpi sederhana nan manis itu …."Lintang! Lintang!" Suara lantang dan keras membuat Lintang melonjak. Seketika dia melepaskan pisau yang ada dalam genggamannya. Untung saja tidak menggores jemarinya saat dia sedang mengupas bawang merah. Lintang memandang Mak Imah. Mereka sedang menyiapkan makan siang di dapur. Pak Lurah dan ibu tidak ada di rumah karena ada urusan di kelurahan. "Sana cepat, nanti dia marah," kata Mak Imah. Wanita tua yang seluruh rambutnya hampir memutih itu menatap Lintang dengan sedikit cemas. Lintang pun memandang Mak Imah sementara jantungnya sudah berdetak begitu cepat. "Lintang!!" Pekikan lantang terdengar lagi dari arah kamar depan. Lintang bergegas meninggalkan dapur, menuju kamar Mito. Dengan hati berdebar Lintang berdiri di depan pintu kamar, tanpa berani memandang pemuda berbadan tegap itu. Pandangan Lintang tertuju ke lantai di bawahnya. Dua bola mata Mito menghujam ke arah Lintang. Gadis itu tidak terlalu tinggi, kulitnya bersih, dan cukup cantik. Rambutnya yang hitam tebal, panja
Lintang melihat Bimo dari jendela dapur dan bergegas menghampirinya. Bimo adalah satu-satunya teman akrab Lintang di sekolah. Dia baru pindah ke desa ini saat mereka masuk SMA. Bimo pemuda yang ramah dan baik. Dia cukup perhatian pada Lintang dan Wulan. Lintang tidak pernah tahu kalau Bimo sebenarnya menaruh hati padanya. "Bim, ayo ikut aku. Kita cari tempat untuk bicara," ajak Lintang. Bimo heran melihat Lintang seperti ketakutan. Bimo mengikuti Lintang yang berjalan cepat menuju pemakaman. Di sana Lintang menangis di atas makam ibunya. "Lin, ada apa?" tanya Bimo yang bingung dengan sikap Lintang. Dia sedari tadi menunggui gadis itu menangis sampai puas. "Aku ga tahan, Bim. Semua berubah, sejak anak Pak Lurah datang. Dia benci padaku dan Wulan. Dia berbuat semau sendiri pada kami,” tutur Lintang. "Mas Mito? Jadi karena Mas Mito?" Bimo terkejut mendengar cerita Lintang. Lintang tak bisa menutup mulutnya. Akhirnya dia mencurahkan kepedihannya karena perbuatan Mito. Walaupun Lintan
Lintang menggeliat. Tangannya menyentuh meja di sebelah tempat tidur dan dia terbangun. Dia melihat jam di meja. Hampir setengah empat pagi. Dia harus cepat bangun, jangan sampai keduluan Mak Imah. Bisa ketahuan nanti. "Lan ... Ulan ... Ayo, bangun." Lintang mengguncang tubuh Wulan. Wulan membuka mata. "Ayo, cepat. Nanti Mak Imah melihat kita," bisik Lintang. Wulan turun dari ranjang memakai sandal dan jaket. Lintang mengangkat ranselnya lalu membuka jendela lebar-lebar. Dia meloncat keluar, kemudian menolong Wulan. Dia mengajak adiknya ke sumur untuk mencuci muka. Selesai itu Lintang mengajak Wulan melangkah meninggalkan rumah. Di depan halaman, masih sempat Lintang memandang rumah itu sebentar, kemudian melangkah lagi. "Ke rumah Bimo dulu. Lalu, kita ikut mobil yang mengantar pedagang ke pasar. Sampai terminal dekat pasar, kita pindah kendaraan lagi," kata Lintang. Mereka cepat-cepat melangkah ke rumah Bimo. Angin dingin terasa menerpa, tapi tak mereka rasakan. Mereka terus saja
Dengan masih gemetaran Lintang mengatur napas. “Iya, maaf, Pak. Maaf …” Lintang membungkuk, lalu cepat-cepat dia menyeberang, sedikit menyeret Wulan. Wulan pun tampak panik dan sedikit pucat karena terkejut dengan kejadian tiba-tiba itu. Sampai di pinggir jalan, Lintang masih sempat menoleh pada pemilik mobil itu yang sudah masuk lagi dalam mobilnya. Pria itu, si dokter muda tampan, kembali fokus dengan kemudi. Tapi dia tidak segera pergi. Dia meminggirkan mobil dan memperhatikan dua gadis itu. Seorang kira-kira berusia tujuh belas tahun, satu lagi sepuluh tahun. Masing-masing membawa tas di punggung. Terlihat lusuh. Mereka jelas tergesa-gesa, sampai tidak begitu memperhatikan jalan. "Hm, mau ke mana mereka? Seperti buru-buru," gumam David. Dia terus memperhatikan keduanya. Gadis yang lebih besar menuntun yang kecil. Rasa iba muncul di hatinya. Melihat kedua gadis itu membuat terenyuh saja. "Banyak sekali orang yang hidup sulit, kalau saja aku bisa berbuat sesuatu," bisik hati Davi
Sudah lewat jam enam pagi. Lintang dan Wulan belum keluar kamar. Mak Imah jadi heran. Biasanya setengah enam paling siang mereka bangun. Mak Imah pergi ke kamar kedua anak itu. Tidak terdengar suara apa-apa dari dalam kamar. Mak Imah memanggil keduanya beberapa kali, tetap tak terdengar apa-apa. Sepi. “Lintang! Wulan!” panggil Mak Imah lagi. Mak Imah membuka pintu kamar. Kamar masih gelap. Tapi bisa terlihat tidak ada siapa-siapa di ranjang. Tempat tidur rapi. Lalu ke mana mereka? Mak Imah membuka pintu lemari pakaian. Masih ada, tapi ... tas mereka tidak ada. Buku-buku ada di meja. Ini masih libur sekolah, tidak mungkin mereka ke sekolah. Mak Imah memastikan lagi lemari pakaian. Coba dia ingat pakaian anak-anak itu. Ya ... berkurang. Beberapa pakaian mereka tidak ada. Mak Imah menoleh lagi ke kasur. Boneka beruang besar Wulan tergeletak di sana. Tapi Mak Imah sudah menangis. Dia tahu dua anak manis itu pergi. Mak Imah lari keluar kamar, menemui majikannya. Pak dan Bu Lurah sedang
Bu Lurah menunggu suaminya di teras, waktu Pak Lurah datang. Wanita setengah baya itu tahu, suaminya tak menemukan kedua putri asuh mereka. Dia pulang sendirian dengan wajah lesu. Pak Lurah duduk di ruang tamu. Dia selonjorkan kakinya. Rasanya pegal berkeliling sepanjang hari mencari Lintang dan Wulan. Dia bahkan meminta beberapa orang untuk membantu mencari mereka. Tidak ada hasil. Bu Lurah makin galau. Hari sudah sore, sebentar lagi gelap. Lintang dan Wulan akan menginap di mana? Mereka tidak punya saudara. "Mito mana?" tanya Pak Lurah. "Dia belum pulang. Entah ke mana saja dia mencari. Kuharap dia berhasil." Bu Lurah menghela nafas. Berat sekali rasanya semua ini. Hari makin gelap waktu Mito datang. Dia juga tak berhasil menemukan Lintang dan Wulan. Wajahnya tampak kusut. Dia kelelahan. "Ndak ada?" tanya Bu Lurah, ikut lesu. Mito menggeleng. Dia pergi ke sekolah Lintang, menanyakan alamat semua temannya. Mito mendatangi setiap rumah teman Lintang satu per satu. Tak ada yang ta
Jam enam pagi. David meninggalkan rumah sakit setelah berjaga malam. Dia merasa lelah dan mengantuk. Secepatnya dia ingin segera tiba di rumah, mandi dan merebahkan badan. Jalanan mulai ramai. Orang-orang memulai aktivitas pagi. Ada yang pergi ke sekolah, kuliah, ke kantor, mungkin ke pasar, dan macam-macam urusan lainnya. Sekian banyak manusia, semua memenuhi jalanan. Ada saja keperluannya, dan tak ada habisnya. Baru sepuluh menit meninggalkan rumah sakit, saat baru melewati lampulalu lintas, David melihat seorang bapak tua di pinggir jalan. Dia kelihatan gemetar. Pucat pula wajahnya. Apa dia sakit? David berbelok, mendekati bapak itu. Dia menghentikan mobilnya dan menghampiri bapak tua yang sedang duduk di pinggir jalan itu. "Selamat pagi, Pak," sapanya. Lelaki tua itu mengangkat kepalanya. Dia terlihat heran ada seorang anak muda tampan di depannya. "Bapak baik-baik saja?" tanya David. "Aku lupa pulang," jawab bapak itu, tampak matanya berk
Jam enam pagi. Lintang terbangun. Dia menoleh ke arah Wulan yang masih tidur. Lintang duduk. Dia tidak melihat Praja dan Rasti. Ke mana mereka?Saat itu pintu terbuka. Praja masuk, menyapa Lintang sambil tersenyum."Dari mana?" tanya Lintang."Dari mandi di kali," jawab Praja. Dia menyimpan ember kecil peralatan mandinya."Bu Rasti?" Lintang menanyakan Rasti."Di belakang, memasak. Buat sarapan." Praja mengambil sepatu dan memakainya.Dia bersiap akan berjualan. Mumpung liburan sekolah, dia punya waktu bekerja lebih banyak, menyisihkan uang untuk keperluan sekolah nanti. Jika sudah kembali sekolah, waktu bekerja akan terbatas. Rasti masuk membawa masakan yang baru selesai dia masak."Ini sarapan sudah siap." Diletakkannya makanan itu di tengah ruangan."Tapi saya belum mandi, Bu. Wulan malah belum bangun," kata Lintang."Ga apa-apa, mandi nanti saja. Cuci muka situ di belakang. Baru ke kali mandi," sahut Praja.Li