Studio syuting.
Camile kebingungan, perasaan itu terus membuncah. Ia bahkan melangkah cepat sehingga terdengar stiletonya berbenturan dengan lantai marmer begitu keras dan cepat.
BRAK!
Ia membuka ruang rapat dekat studio dengan kasar. Napasnya memburu cepat, dres putihnya kontras dengan lipstick merah darah yang ia poleh di bibir tebalnya.
“Di mana Drew! Kenapa kalian menyembunyikan dia!” maki Camile dengan sorot mata menatap bergantian ke semua orang yang ada di ruangan itu. Dave menatap Camile sembari tertekeh sinis.
Dave beranjak, “urusan kita sudah selesai, terima kasih dan saya mewakili Drew, meminta maaf atas ketidak nyamanan ini. Selamat siang.” Pamit Dave. Ia berjalan dengan pandangan angkuh melewati Camile yang berbalik badan cepat untuk mengejar Dave.
“Berhenti Dave! Di mana aku sembunyikan calon suamiku!” teriaknya bak wanita gila yang baru putus cinta. Dave menghentikan langka
“Ini anakmu, Drew,” bibir Jena bergetar saat mengatakan hal itu. Drew menatap dengan sorot mata lain.“Tapi yang kulihat, Maden, ia sepertinya—““Drew! Kau jangan berpikir aku tidur dengannya atau berselingkuh dari mu! Kau tidak waras jika berpikir seperti itu kepadaku!” Maki Jena, ia kesal, karena sudah menjelaskan dengan rinci, tapi Drew seakan ragu dengan kejujurannya. Nancy merangkul bahu Jena, wanita itu juga sudah melepaskan gaun pengantin, berganti dengan pakaian sebelumnya.“Siapa pengirim foto-foto itu?” tanya Toby dengan serius. Drew memejamkan mata.“Camile,” jawabnya.“Apa dia mengancammu?” kini Hannah yang bertanya. Drew mengangguk.“Ia akan menyebarkan video saat aku dan Jena di atas ranjang juga, video aku dan Camile saat kami pertama kali ber-setu-buh.” Drew mengusap kasar wajahnya. Jena terkejut. “Karirku akan selesai, dan akan be
Jena duduk di ranjang kecil kamar hotel yang ia sewa untuk tempat tinggalnya, ia merapikan pakaian seadanya yang ia punya. Ia akan pergi, namun sebelumnya, ia akan bertemu Maden di taman kota. Air matanya sudah tak menetes lagi, ia harus kuat, dan bertekad membesarkan anaknya seorang diri, tanpa Drew.Langkah kaki Jena begitu lebar dan cepat, ia melihat Maden sudah duduk menunggunya di kursi besi taman kota. Pria itu beranjak, tersenyum penuh bahagia untuk menyambut wanita itu. Jena mengatur napasnya sejenak sebelum berbicara dengan Maden, mereka berdiri berjarak.“Jena, ada apa?” tanya Maden yang mencoba mendekat namun Jena menghalau dengan telapak tangan terangkat.“Apa maumu, Maden?” tanya Jena ketus dengan tatapan tajam.“Maksudmu?” Maden tampak bingung.“Drew mendapatkan foto saat aku di Mansion milikmu, saat kau memelukku di balkon, mengusap perutku, dan meniup mataku yang terkena debu tapi seolah kau
Wanita itu berjalan menyusuri trotoar sudah hampir dua jam, keluar masuk kafe juga restoran, mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya yang sedang hamil. Tak mudah, hal itu sudah pasti. Boston sangatlah ramai, hilir mudik manusia yang sibuk berkegiatan, membuat Jena hanya bisa memilih untuk duduk di kursi taman, sisa uang di dompetnya hanya seratus dollar, otaknya berpikir keras bagaimana cara agar ia bisa mendapatkan pekerjaan, juga tempat tinggal. Tak mungkin ia berada di hotel lagi, walau hotel murah. Tak bisa berlama-lama duduk, ia kembali beranjak, kini berjalan ke arah timur, di mana terdapat sederet kompler pertokoan sederhana dengan nuansa klasik dominan warna putih. Jena melangkahkan kaki ke sana. Ia mengusap perutnya. “Semoga di sana, ada pekerjaan untuk ibumu ini, ya sayang, kau harus kuat, kita akan makan nanti,” ucapnya sembari terus berjalan. Pintu kaca itu bertuliskan Rose bakery. Jena mendorong pintu, terdengar suara lonceng kecil di atas pintu yang
Jena masuk ke dalam kamar berukuran kecil itu, hanya ada ranjang, meja kecil di sebelah ranjang, dan kamar mandi. Lemari pakaian pun tidak ada. Marisol pamit untuk pulang, kamar yang di sewa Jena itu berada di apartemen kecil dan bangunan lama namun masih kokoh, cukup padat menang, terdiri dari tiga lantai dengan total kamar ada lima belas, atau masing-masing lantai terisi lima kamar. Jena membuka jendela dengan menggesernya ke atas. Ia menempati lantai dua. Angin malam masuk ke dalam kamarnya, membuat sirkulasi udara lancar dan segar. Jena menyalakan kipas yang tertempel di langit-langit kamar. Sangat sederhana, tapi ia tak masalah. Ranjang sudah ia rapikan dengan sprei baru yang diberikan pemilik bangunan. Wangi parfume laundry membuat Jena rileks, dengan biaya sewa murah, kebersihan terjaga, ia sangat beruntung. Kamar mandi pun ada air hangatnya, ia semakin tersenyum lebar. “Ayo nak, kita mandi, Ibumu begitu lelah, kita tutup jendelanya dulu ya.” Jena seperti oran
Jena selesai merapikan uang hasil gerai pizza berjualan satu hari itu dan menyerahkan ke Luigi. Seperti biasa, mereka akan berkumpul di dapur setelah gerai tutup. Jena meluruskan kakinya sembari menggigit satu buah apel yang diberikan Victor, remaja itu sudah datang dan diperbolehkan masuk melalui pintu belakang.“Victor, kau senang mendapat tempat tinggal baru? Jaga Nyonya Jena, ya,” pinta Luigi yang sibuk memasukan uang ke brankas di dekat lemari es dapur.“Iya, Paman, tapi aku tidak boleh memanggilnya Nyonya, tapi Kakak, karena ia belum terlalu tua.” Celetuk Victor. Semua orang tertawa. Pintu dapur terbuka lagi, Rose kali ini yang masuk, ia membawa keranjang berisi roti.“Kalian semua, bawa roti-roti ini ya, dan, Jena, khusus untukmu, ada rasa butter yang menjadi kesukaanmu bukan?” kedua mata Rose menatap Jena lalu beralih ke Victor.“Victor! Halo, ‘Nak, bagaimana kabar anak remaja ini. Kau juga ya, bawa
“Kau tidak punya cita-cita?! Bohong,” sungut Jena saat ia dan Victor baru keluar dari toko sepatu yang disarankan Marisol. Mereka tak hanya membeli sepatu, tapi juga membeli beberapa baju baru untuk Victor sekolah, yang lebih resmi seperti kaos kerah warna polos, jaket, juga celana jeans, karena, baju yang diberikan Pedro, itu untuk dipakai harian.“Kak, kita duduk di sana, kau tampak lelah, aku akan membelikanmu minuman di toko itu, kau mau apa? Jangan kopi yang jelas, ya.”“Kenapa?” tanya Jena bingung.“Aku membaca buku diperpustakaan, katanya, jika ada orang hamil, tidak boleh meminum kafein banyak-banyak, akan mengganggu janin. Betul kah?”“Sok tahu, anak kecil.” kekeh Jena namun mengangguk kemudian. Ia memberikan uang sepuluh dollar kepada Victor, remaja itu segera berlari ke kedai yang menjual aneka minuman. Jena menatap belanjaan miliknya dan Victor, ia tersenyum, lalu mengusap perutnya ya
Maden duduk di kursi seorang diri, menunggu seseorang yang sudah ia buat janji bertemu di lokasi itu. Suara pintu terbuka terdengar, tiga orang masuk, namun hanya satu yang duduk berhadapan dengannya dan satu meja. Tatapannya begitu penuh kesal, selain karena Maden yang duduk di hadapannya, namun, karena gerak wanita itu tak bisa bebas.“Baju ini menyiksaku, Maden, kau… bisa kan, membantuku keluar dari tempat sialan ini!” bentak Camile dengan tampilan tak lagi seperti Camile tiga bulan lalu, saat ia sudah merancang semua rencana busuk untuk mendapatkan Drew, juga memisahkan Jena dari pria itu.“Camile, apa ini akhir dari semuanya?” tanya Maden yang tampak masih waras dibandingkan Camile yang memang, sudah dua minggu berada di rumah sakit jiwa itu. Selain berita pernikahannya yang hancur dan batal dengan Drew, juga, karena perusahaan keluarganya hancur dengan sekali serangan berita dari Toby – ayah Drew – yang tak terima jika a
Hari berganti minggu, hingga bulan, kini, Jena sudah berada di Boston selama lima bulan. Ia juga mampu menyewa apartemen sederhana dengan dua kamar, sesuai janjinya kepada Victor yang begitu menjaganya. “Kak, kita ke dokter jam berapa? Aku tak sabar ingin melihat keponakanku.” Victor baru saja keluar kamar setelah mengerjakan tugas sekolahnya di hari sabtu. “Jam sebelas. Bersiapkan Vic, aku juga akan bersiap.” Jena merapikan pakaian yang baru saja ia setrika di sudut ruangan. Victor mengangguk, ia masuk kembali ke kamarnya, berganti memakai celana jeans karena sebelumnya ia hanya memakai kaos dan celana pendek. Jena menatap pantulan dirinya di cermin, perutnya sudah membuncit, ia mengusap pelan, tersara ada yang bergerak di dalam perutnya. Jena tersenyum. “Sedang apa kau di dalam sana, sayang, empat bulan lagi kita akan bertemu, kuat ya, kita berjuang bersama,” ucapnya. Ia termenung, mendadak pikiran jika anaknya tak akan memil