Jena selesai merapikan uang hasil gerai pizza berjualan satu hari itu dan menyerahkan ke Luigi. Seperti biasa, mereka akan berkumpul di dapur setelah gerai tutup. Jena meluruskan kakinya sembari menggigit satu buah apel yang diberikan Victor, remaja itu sudah datang dan diperbolehkan masuk melalui pintu belakang.
“Victor, kau senang mendapat tempat tinggal baru? Jaga Nyonya Jena, ya,” pinta Luigi yang sibuk memasukan uang ke brankas di dekat lemari es dapur.
“Iya, Paman, tapi aku tidak boleh memanggilnya Nyonya, tapi Kakak, karena ia belum terlalu tua.” Celetuk Victor. Semua orang tertawa. Pintu dapur terbuka lagi, Rose kali ini yang masuk, ia membawa keranjang berisi roti.
“Kalian semua, bawa roti-roti ini ya, dan, Jena, khusus untukmu, ada rasa butter yang menjadi kesukaanmu bukan?” kedua mata Rose menatap Jena lalu beralih ke Victor.
“Victor! Halo, ‘Nak, bagaimana kabar anak remaja ini. Kau juga ya, bawa
“Kau tidak punya cita-cita?! Bohong,” sungut Jena saat ia dan Victor baru keluar dari toko sepatu yang disarankan Marisol. Mereka tak hanya membeli sepatu, tapi juga membeli beberapa baju baru untuk Victor sekolah, yang lebih resmi seperti kaos kerah warna polos, jaket, juga celana jeans, karena, baju yang diberikan Pedro, itu untuk dipakai harian.“Kak, kita duduk di sana, kau tampak lelah, aku akan membelikanmu minuman di toko itu, kau mau apa? Jangan kopi yang jelas, ya.”“Kenapa?” tanya Jena bingung.“Aku membaca buku diperpustakaan, katanya, jika ada orang hamil, tidak boleh meminum kafein banyak-banyak, akan mengganggu janin. Betul kah?”“Sok tahu, anak kecil.” kekeh Jena namun mengangguk kemudian. Ia memberikan uang sepuluh dollar kepada Victor, remaja itu segera berlari ke kedai yang menjual aneka minuman. Jena menatap belanjaan miliknya dan Victor, ia tersenyum, lalu mengusap perutnya ya
Maden duduk di kursi seorang diri, menunggu seseorang yang sudah ia buat janji bertemu di lokasi itu. Suara pintu terbuka terdengar, tiga orang masuk, namun hanya satu yang duduk berhadapan dengannya dan satu meja. Tatapannya begitu penuh kesal, selain karena Maden yang duduk di hadapannya, namun, karena gerak wanita itu tak bisa bebas.“Baju ini menyiksaku, Maden, kau… bisa kan, membantuku keluar dari tempat sialan ini!” bentak Camile dengan tampilan tak lagi seperti Camile tiga bulan lalu, saat ia sudah merancang semua rencana busuk untuk mendapatkan Drew, juga memisahkan Jena dari pria itu.“Camile, apa ini akhir dari semuanya?” tanya Maden yang tampak masih waras dibandingkan Camile yang memang, sudah dua minggu berada di rumah sakit jiwa itu. Selain berita pernikahannya yang hancur dan batal dengan Drew, juga, karena perusahaan keluarganya hancur dengan sekali serangan berita dari Toby – ayah Drew – yang tak terima jika a
Hari berganti minggu, hingga bulan, kini, Jena sudah berada di Boston selama lima bulan. Ia juga mampu menyewa apartemen sederhana dengan dua kamar, sesuai janjinya kepada Victor yang begitu menjaganya. “Kak, kita ke dokter jam berapa? Aku tak sabar ingin melihat keponakanku.” Victor baru saja keluar kamar setelah mengerjakan tugas sekolahnya di hari sabtu. “Jam sebelas. Bersiapkan Vic, aku juga akan bersiap.” Jena merapikan pakaian yang baru saja ia setrika di sudut ruangan. Victor mengangguk, ia masuk kembali ke kamarnya, berganti memakai celana jeans karena sebelumnya ia hanya memakai kaos dan celana pendek. Jena menatap pantulan dirinya di cermin, perutnya sudah membuncit, ia mengusap pelan, tersara ada yang bergerak di dalam perutnya. Jena tersenyum. “Sedang apa kau di dalam sana, sayang, empat bulan lagi kita akan bertemu, kuat ya, kita berjuang bersama,” ucapnya. Ia termenung, mendadak pikiran jika anaknya tak akan memil
“Kau yakin, tidak ingin mengetahui kabar Drew?” wanita berkaca mata dengan rambut pirang itu menatap Jena yang duduk di hadapannya pada satu kafe yang ada di dekat apartemen tempat tinggal Jena.“Tidak, aku pikir sudah selesai semua, Abie.” Jena tersenyum ke wanita yang merupakan salah satu orang kepercayaan Drew untuk mengelola restorannya di New York saat itu. Abie yang sudah melahirkan dan kini mewarnai rambutnya menjadi pirang, sempat membuat Jena bingung karena perubahan penampilan itu.“Drew, dia di Barcelona, Jen, dan ia bekerja di dapur salah satu temannya. Tidak lagi menjadi koki hebat dan panas abad ini. Ia menanggalkan semuanya semenjak…, yeah, kau tahu sendiri, bukan.”Jena mengangguk. Ia menatap Victor yang duduk di luar kafe, sesekali menatap ke arahnya untuk sekedar mengawasi.“Apa dia…” tunjuk Abie. Jena terkekeh.“Adik angkatku, Abie, dia bukan… mmm. Siapapu
“Kembalilah orang gila! Jena dan anakmu membutuhkan dirimu, Drew! Bedebah! Bajingan tengik! Tidak punya hati!” Hannah memukul lengan kakaknya bertubi-tubi layaknya samsak tinju. Ia baru tiba di Barcelona lima jam lalu, setelah mendapat alamat tempat tinggal Drew yang Hannah nilai seperti kandang kucing peliharaannya alias kecil. Hannah segera memaki kakaknya yang begitu berantakan.“Anak itu anakmu Drew! Maden sudah mengakui kesalahannya. Dan, Camile masuk rumah sakit jiwa karena depresinya! Kau masih mau mengelak, hah! Apa kau mau aku seret dengan kasar!” kedua mata wanita berambut pirang panjang sebahu itu melotot menatap Drew yang diam menerima pukulan adiknya.“Kau masih tidak percaya, huh!” kini Hannah kembali murka. Drew diam, bergeming menatap adiknya yang berdiri berkacak pinggang di hadapannya yang duduk di atas ranjang.“Abie bertemu Jena di Boston, ia tingga di sana dan bekerja di Luigi’s Pizza sebagai k
Victor berjalan ke arah Luigi’s pizza, dari kejauhan ia me,ihat sosok Drew yang taka sing baginya, ia sudah mencari via internet sosok Drew. Dan, kini, langkah kaki Victor berjalan cepat ke arah pria itu.“Kau! Untuk apa kau ke sini! Mau kau apakan Kakakku, hah!” tangan Victor sudah meremas leher kaos yang kenakan Drew, kepalan tangan Victor bahkan sudah terangkat ke udara. Jena berlari, menahan tangan itu dan memeluk Victor.“Hei… Vic, sudah. Abaikan pria itu. Aku tidak mau adikku memukul orang lain. Sudah… ayo ke dalam, kau belum makan siang, bukan, Paman Luigi membuatkan kita makan siang. Ayo…” ajak Jena tanpa menatap ke arah Drew barang sekilas.“Pergi! Kakakku tidak butuh lelaki yang tidak percaya kepadanya.” Maki Victor dengan sangat emosi.Drew diam, ia menatap sendu. Jena dan Victor berjalan melalui pintu samping, wanita itu jelas menangkan emosi Victor.Victor? Hm, aku rasa
Jena keluar dari unit apartemennya seorang diri, tak bersama Victor karena hari itu, Victor sudah libur sekolah karena sebentar lagi natal. Dari kejauhan, Drew sudah menatap wanitanya itu. Ia kali ini lebih merasa percaya diri setelah Victor memberikan kode atau cara supaya bisa mendekati Jena sebagai permulaan. Langkah kaki Drew mengayun menyusul Jena lebih dekat, tak peduli ia akan dipukul atau ditampar, kali ini rasa percaya dirinya meningkat begitu tajam.“Selamat pagi, cantik,” sapaan Drew membuat Jena terperanjat dengan tangan kanan memegang dada kirinya. Ia menoleh ke belakang, tatapan keduanya bertemu. Drew tersenyum tampan, Jena membuat pandangan lalu kembali mengarah ke depan, ia melangkah sedikit cepat. Dengan cepat, tangan Drew menarik pergelangan tangan Jena.“Jangan bahayakan putraku di dalam sana, dia akan terluka jika cara berjalanmu seperti itu, Jena,” ucapnya. Jena menepis genggaman tangan Drew pada pergelangan tangannya kasar
Tak mudah meminta maaf setelah rasa sakit hati yang dirasakan Jena akibat ucapan yang terlontar dari bibir Drew. Jena menangis terisak sembari membekap mulutnya, ia tak mau jika rekan kerjanya, bahkan, Luigi mendengar tangisnya. Mendadak perutnya nyeri, ia berusaha tenang, tak baik emosinya jika terus tertekan. Dokter sudah pernah menjelaskan hal itu.Setengah jam sudah ia menenangkan diri di dalam kamar mandi, namun, rasa nyeri itu tak kunjung hilang. Jena beranjak, perut dan pinggangnya mendadak terasa nyeri. Ia lalu segera membuka pintu, berjalan perlahan sembari memegangi perutnya.“Ya Tuhan Jena!” pekik Marisol yang baru saja datang dan masuk melalui pintu belakang.“Perutku…,” lirih Jena sembari meringis.“Ayo kita ke dokter, Jen, Paman Luigi, bisa pinjam mobilmu?!” panik Marisol.“Ya, tentu! Ini kuncinya.” Luigi menyerahkan kunci mobil.“Jena… Jena, mari Paman bantu m