Kedua pria yang duduk berseberangan itu, sama-sama bersedekap, tegak. Mereka saling pandang untuk beberapa saat, lalu menatap Elok yang duduk pada kursi di antara keduanya.Salah satu pria itu pun menggeleng. “Aku bukan nggak bisa mundur, El. Tapi, aku nggak mau mundur. Antariksa, nantinya mau aku hadiahkan ke Rindu setelah dia lulus kuliah. Dan kita, sudah punya kesepakatan sebelumnya.”Elok menautkan jemarinya lalu meletakkan di puncak kepala. Membuang napasnya pelan, karena negosiasi dengan Dewa ternyata berjalan alot. Sementara pria yang duduk di sisi kirinya, masih terdiam seolah memikirkan sesuatu. Elok sengaja membawa pria itu, agar bisa membantunya membujuk Dewa.Namun, Elok ternyata belum menemukan titik terang sama sekali.“Mundurlah dari Antariksa, El.”Akhirnya, pria yang sedari tadi hanya diam membuka mulut. Akan tetapi, Elok masih belum bisa mundur sesuai dengan usulan pria itu.“Banyu, aku nggak bisa mundur dari sana,” sahut Elok masih meletakkan kedua tangan di atas ke
“Aku setuju.”Elok menghela panjang ketika Dewa baru menyapa saat mengangkat panggilan telepon darinya. Belum ada 1 x 24 jam, Elok sudah memberi keputusan pada Dewa. Pada akhirnya, Elok menyerah. Kepalanya sudah tidak sanggup lagi memikul beban yang begitu memusingkan. Belum lagi, ia harus menghadapi Restu yang sudah menempati ruang tepat di depan mata.Ternyata, mental Elok tidaklah sekuat itu ketika dihadapkan dengan masalah dari berbagai arah.“Ayo kita pakai jalan belakang,” lanjut Elok masih berada di dalam mobil pada parkiran gedung Antariksa. “Tapi dengan satu syarat. Seperti kata Banyu, cuma sebatas intimidasi dan nggak lebih.”“Kirimi aku semua daftar pemegang saham di Antariksa,” pinta Dewa tanpa mau berbasa-basi. “Lengkap, dari nama, alamat, jabatan atau profesi mereka di luar, dan nomor telepon. Kamu tinggal duduk manis, dan serahkan semua sama aku.”Elok gugup. Bahkan, kedua tangannya saat ini sudah terasa beku. Tidak pernah sekali pun terbersit dalam benak Elok, ia akan
Sudah 15 menit Restu berdiri di bibir pintu ruang kerjanya, dan selama itulah ia melihat Elok bolak balik tanpa menoleh padanya. Restu masih belum bisa menebak-nebak, apa isi kepala Elok. Apa rencana wanita itu, sehingga akan mengajukan surat pengunduran diri dengan tiba-tiba.“Heh!” seru Restu memanggil Kiya dari tempatnya berdiri. “Kamu!”Merasa tidak ada orang lain lagi di tempat tersebut kecuali dirinya dan Restu, Kiya pun mengangkat wajah. “Bapak manggil saya?”“Ya! Kamu!” Restu kembali berseru sambil menenggelamkan tangan kirinya ke saku celana. “Kamu juga mau mengundurkan diri?”Kiya menatap Restu yang selama ini tidak pernah menganggapnya ada, untuk beberapa saat. Kemudian, Kiya mengangguk. “Saya sudah ajukan surat resign barusan.”“Berapa kamu dibayar Elok sampai bisa setia seperti itu?”“Banyak.” Tidak ingin lagi melanjutkan pembicaraannya dengan Restu, Kiya kembali menunduk untuk membaca lagi daftar beban kerja yang akan ditinggalkannya.“Kamu pindah ke Jurnal?” Restu mulai
Di sinilah akhirnya. Elok berada di sebuah ruang VIP rumah sakit, karena Harry langsung menghubungi ambulans ketika mendapati dirinya pingsan di ruang kerja. Sungguh berlebihan, tapi Elok sudah tidak bisa berbuat apa-apa.“Aku cuma pingsan,” kata Elok sambil duduk bersandar pada ranjang pasien. “Nggak perlu sampai diinfus begini.”“Badanmu panas tinggi, El,” seloroh Harry yang duduk tepat di sebelah ranjang pasien. Karena status Harry masih suami Elok, maka tidak ada satu pun orang di Antariksa yang berani mencegahnya membawa sang istri ke rumah sakit. Apalagi Restu yang sangat tidak bersahabat dengannya. “Kita masih nunggu hasil lab sebentar lagi.”Elok segera menyentuh dahinya sendiri. Sudah dua hari ini, Elok memang merasa tidak enak badan. Namun, karena terlalu banyak hal yang dipikirkan maka ia sudah tidak memedulikan kondisi tubuhnya.“Ambil cuti, dan istirahat,” sambung Harry seraya menggenggam jemari Elok yang kembali terjatuh di sisi tubuh. “Sebentar lagi Kasih datang sama ma
Joana merasa tegang sendiri. Ia tidak pernah menduga, jika menantunya dikelilingi dengan beberapa pria tampan yang saat ini sedang menjenguk Elok dalam waktu yang hampir bersamaan.Saat Joana datang bersama Kasih, ia dikejutkan dengan seorang pria bernama Restu. Dengan songongnya pria itu duduk di samping Elok, tapi Harry tampak diam saja. Bahkan, Restu sudah mengenal Kasih dan mereka bisa berbicara dengan akrab.Tidak lama berselang, ada lagi seorang pria yang datang dengan membawa dua kotak brownies. Pria matang, dengan kharisma yang tidak bisa terelakkan sama sekali. Jika tidak salah, Joana pernah melihat pria itu di rumah sakit.Lantas, seorang pria berwajah baby face dengan senyum manis nan ramahnya, juga hadir tidak lama kemudian. Joana saja sampai tidak bisa berkata-kata lagi.“Pulanglah kalian semuaaa,” desah Elok yang terlampau lelah, melihat keempat pria yang tampak bersitegang di dalam ruang rawat inapnya. “Aku capek, dan mau istirahat.”Restu, dan Lex.Mereka memang sudah
“Baru gejala, tapi tetap disuruh bed rest.” Elok menjelaskan penyebab ia sampai masuk rumah sakit pada sepasang suami istri yang menjenguknya malam ini. “Asam lambungku juga naik, tekanan darahku rendah, jadi, yaaa, begitulah. Harus istirahat total.”“Untungnya bukan hamil,” sahut Banyu lalu mendapat pukulan pelan di tangannya oleh sang istri.“Ya, kalau hamil, kan, nggak papa juga,” balas Damay sambil mengusap perutnya yang sudah sangat besar. “Kan ada suaminya.”Banyu dan Elok saling pandang, tapi mereka tidak mengucap satu patah kata pun. Seolah saling mengerti satu sama lain, Banyu pun mengangguk samar dan kembali ke topik obrolan mereka.“Maksudku, kalau hamil ditambah gejala tipes, kan, repot.” Karena Damay tidak tahu menahu tentang masalah Elok dengan Harry, maka Banyu membelokkan obrolan mereka. Ibu hamil yang satu itu, harus benar-benar dijaga perasaannya karena Banyu tidak ingin Damay terlalu dibebani banyak pikiran.“Eia, Nyu.” Elok juga kompak mengalihkan pembicaraan merek
“Siang, Pak Adi.”Yang disapa segera mendongak dan memasukkan ponselnya ke dalam saku kemeja. Adi memberi senyum lebar, lalu berdiri untuk menyalami pria itu. “Siang, Lex. Ada perlu sama, El?” tanya Adi melihat Lex membawa sebuah bingkisan di tangannya.Lex mengangguk seraya menjabat tangan Adi. “Ya, ada masalah terkait gugatan perceraian bu Elok yang harus saya bahas sebentar.”“Santai, Lex, santai,” ujar Adi seraya terkekeh dan menepuk lengan Lex beberapa kali. “Kita lagi nggak di dalam ruang sidang. Jadi, nggak usah tegang, nggak usah formal.”“Saya nggak tegang,” Lex meluruskan persepsi Adi dengan cepat. “Dan ini sudah santai, Pak.”Kekehan Adi semakin keras. “Kalau sudah santai, kenapa anak saya masih dipanggil dengan sebutan ibu?”“Karena … orang-orang di luar sana juga manggil ibu, ke bu Elok,” jelas Lex ikut terkekeh meskipun merasa serba salah. “Dan bu Elok juga klien saya.”Sudahlah. Adi tidak ingin memperpanjang masalah panggilan untuk putrinya. Mau apapun sebutannya, selam
“Papaaa?”Kedua mata Elok sudah melebar, dengan bibir dan geligi yang terkatup sangat rapat. Jika Adi bukanlah papanya, Elok sudah pasti akan melempar semua sumpah serapah detik itu juga karena malu. Bisa-bisanya sang papa bertanya seperti itu pada Lex, padahal proses persidangan Elok saja belum berlangsung.Apa sebenarnya yang ada di pikiran Adi saat ini?Tatapan Elok kemudian tertuju pada Lex yang tampak mematung, dan terlihat serba salah karena perkataan Adi barusan.“Mas Lex, saya minta—"“Jangan tegang, Lex,” sahut Adi tersenyum miring dari kejauhan. “Namanya juga bercanda. Tapi aku serius dengan pertanyaan tadi?”Elok menoleh cepat pada sang papa. “Papaaa, nggak ada bercanda yang serius?”“Kita adain kalau begitu,” balas Adi dengan entengnya. “Gimana, Lex?”Awalnya, Adi memang berniat bercanda dan hanya iseng dengan pertanyaan yang ia lontarkan. Namun, melihat situasi yang tercipta setelahnya, Adi jadi ingin mengetahui jawaban dari Lex dengan serius. Tiba-tiba saja, Adi jadi mem