Pagi hari datang. Athena terbangun karena suara alarm di ponselnya. Ia memijat kepalanya yang terasa berat, dirinya kurang tidur semalem karena memikirkan semua masalah yang baru-baru ini ia hadapi.
Athena beranjak dari kasur dan segera membersihkan tubuhnya untuk bersiap berangkat ke sekolah. Memikirkan sekolah, Athena teringat dengan Ares yang mengatakan akan menjemputnya pagi ini. Karena itu Athena mempercepat aktivitasnya.
Beberapa menit kemudian, Athena sudah siap dengan seragamnya. Ia segera mengeringkan rambutnya dengan hair dryer dan melilit surai hitam itu dan mengikat cepol seperti biasa. Athena juga mengoleskan bedak tipis, dan menggunakan pelembab bibir tanpa warna. Setelah berkaca sekali lagi dan merapikan anak rambutnya, Athena segera turun ke bawah dengan tas sekolahnya.
“Nana? Udah siap? Masih jam 6 pagi.” Elva melihat Athena menuruni tangga.
“Iya, Ma. Aku mau bikin bekal dulu.”
“Sarapan dulu,
Gimana menurut kalian bab ini? Boleh banget untuk dikasih kritik dan saran ya! Semoga kalian betah dan nggak bosen baca The Reason Why! <3
Bel istirahat berbunyi. Banyak murid yang berhamburan keluar kelas dan cepat-cepat menuju kantin karena kalau tidak, akan mendapat antrean yang panjang dan padat. Sidney sudah hafal kalau Athena akan membawa bekal dan lebih memilih belajar sambil menyantap makan siang di kelas, mengingat ujian tryout sebentar lagi.“Na, gue kantin dulu. Lo mau nitip sesuatu?”Athena menggeleng. Kemudian Sidney mengangguk, dan segera menuju kantin agar bisa dengan cepat kembali ke kelas. Sahabat yang sudah menemani Athena 6 tahun itu mempunyai firasat kalau Ares akan mencari sensasi lagi di kantin atau di kelasnya.Dan benar saja, ketika Sidney pergi ke kantin, Ares masuk ke dalam kelas Athena dan mengejutkan gadis itu yang sedang fokus membaca modul pelajaran sambil mengunyah roti lapisnya.“Hai!”Athena sedikit terlonjak, ia menoleh ke samping dan mendapati Ares dengan senyuman yang menampilkan deretan gigi rapinya. Itu adalah pert
“Ng—nggak mungkin.” Ares menatap Athena bingung. Ia memegangi dadanya dan mundur beberapa langkah. Athena yang juga masih membatu tidak bisa melakukan apapun selain jatuh tersimpuh di lantai. Ia bahkan tidak berani menatap mata Ares. Lelaki bernama lengkap Ares Adiwangsa itu melihat Athena yang jatuh terduduk. Ia maju satu langkah, namun Athena dengan refleks menghindarinya. “Ana…” “Lo, maksud lo… apa?” Ares tampak berusaha mengatur napas dan juga detakan jantungnya. Matanya sulit fokus karena tidak bisa menerima apa yang baru saja ia sadari. “Gue cuma mau cari tahu—” Krieett… Pintu ruang sound system dibuka dari luar. Sidney berdiri di depan pintu dengan napas yang memburu seperti telah berlarian. Matanya langsung menangkap Athena yang sudah terduduk di lantai, ia mendekat dengan wajah khawatir. “Nana!” Sidney memegang kedua bahu Athena, “Na? Lo nggak apa-apa?” Sidney juga mengecek kondisi Ath
Kelas seminar berakhir. Para murid tidak langsung keluar dari aula. Banyak dari mereka yang meminta foto bersama dengan Adikara atau bahkan meminta tanda tangannya. Dari kursi paling belakang Athena hanya bisa memperhatikan. Dan ia menyadari bahwa kepopuleran keluarga Wangsa memang sebegini besarnya. Namun tidak sedikit juga yang menampilkan wajah masam dan saling berbisik selama Adikara memberikan materi seminarnya. Mungkin karena banyak juga yang mengenalnya sebagai ayah kandung dari Ares Adiwangsa.“Gue yakin. Ada maksud di balik ini semua.”Sidney tiba-tiba berucap ketika telah selesai merapikan alat tulisnya. Pandangannya lurus pada Adikara yang saat ini sedang berbincang dengan beberapa guru mereka, ada Pak Kepala Sekolah juga di sana. Banyak murid yang sudah keluar dari aula dan hanya menyisakan beberapa saja termasuk Athena dan Sidney.“Kenapa lo mikir gitu?”“Baru-baru ini kan gosip miring tentang Ares dan keluargany
Seakan langit tahu bahwa pertahanannya sudah runtuh, satu demi satu tetes hujan membasahi jalan. Athena yang memutuskan untuk turun dari mobil Ares dan berjalan di sepanjang trotoar kota hujan, sedikit merasa menyesal. Seragamnya basah seiring dengan rintik hujan yang semakin deras. Gadis itu menepi di salah satu halte untuk berteduh. Tubuhnya sedikit gemetar merasakan angin dingin di tengah hujan, juga karena air matanya yang sedari tadi tidak bisa dihentikan.Athena mendapat tatapan iba dari orang yang melewatinya. Jalanan kota Bogor tetap ramai meski hujan semakin deras. Athena mengeluarkan ponselnya untuk menelepon Sidney. Dering pertama dan kedua tidak mendapat respon, dan pada dering ketiga teleponnya diangkat.“Sid…”“Na? Kenapa? Lo di mana?”“Gue di halte.”“Halte? Halte mana? Terus Ares di mana?”“Sid… cepet ke sini… gue takut diculik.&rdquo
Keesokannya, Athena tetap berangkat sekolah bersama dengan Sidney. Meski awalnya Sidney menyuruh Athena untuk izin, tapi gadis itu memaksa tetap ingin sekolah karena tidak boleh tertinggal pelajaran ketika mendekati ujian. Karena itulah Sidney semalam menyuruh Alfred untuk mengantarkan seragam batik dan seragam olahraga Athena. “Tadi pagi abis sarapan lo langsung minum obat, kan?” Sidney bertanya begitu mereka memasuki gerbang sekolah. Athena mengangguk dan mereka melanjutkan perjalanan sampai ke kelas. Ketika mereka masuk ke dalam kelas dan duduk di kursi masing-masing, seorang murid yang mengenakan jas OSIS masuk ke kelas mereka. “Permisi, Sidney?” Athena dan Sidney menoleh serempak ke ambang pintu. “Iya?” Murid laki-laki itu melangkah lebih dalam. Ia melemparkan senyum manis pada Athena dan juga Sidney, lalu menyerahkan amplop putih ke arah Sidney. “Ini surat dispensasi buat, lo. Karena acara PENSI sebentar lagi, setelah pel
Athena perlahan membuka matanya. Aroma obat-obatan dan antiseptik menyapa indra penciumannya. Ia masih setengah sadar sambil berusaha membaca situasinya saat ini. Suara dua orang yang terdengar seperti sedang berdebat membuatnya menoleh ke samping.Athena menyadari dirinya berada di UKS sekolah ketika matanya menangkap tiga orang yang sedang berdiri tidak jauh dari ranjangnya saat ini. Satu mengenakan syal ciri khas anak PMR, dan dua lagi dengan seragam batik sekolahnya.“Perawat Klinik bilang dia stres dan dehidrasi, kayaknya emang butuh istirahat yang cukup.” kata murid yang mengenakan syal PMR.“Dia udah minum obat tadi pagi, gue udah suruh dia buat nggak usah sekolah tapi dia nggak mau ketinggalan pelajaran.” Athena bisa melihat Sidney menundukan kepalanya sambil berkata lirih.“Kalau lo tahu dia sakit, harusnya lo larang dia dengan keras biar nggak usah ke sekolah. Lo juga milih dispen, ninggalin dia dan ngebiarin dia ik
Hera keluar dari ruang operasi disambut oleh Eros. Wanita paruh baya itu sedikit terkejut menatap Eros dengan wajah yang tampak kesal juga kedua tangan yang bersidekap di depan dadanya. Hera melepas topi operasi dan maskernya. “Ada apa Dokter Eros? Anda perlu bicara dengan saya?” Mendengar sapaan formal Hera, Eros segera menurunkan tangannya dan tersenyum tipis, “Bisa kita bicara di ruangan Anda, Dokter Hera?” Hera menatap sekitar, memberikan senyum ramah pada rekan Dokter yang melewati mereka, juga pada suster yang menyapanya. “Silakan.” Kemudian Hera berjalan lebih dulu dan Eros mengikuti. Saat sampai di ruangannya, Hera bisa mendengar helaan napas dari Eros. “Kenapa? Kencan buta gagal lagi?” Tanya Hera, berubah informal karena sudah berada di ruangannya. Wajah Eros semakin tidak enak untuk dipandang. Lelaki yang merupakan adik kandung Hera itu melemparkan tubuhnya pada sofa di ruangan Hera. “Kayaknya kencan buta yang
Ares terdiam selama beberapa saat. Sementara Dita dan rekannya kembali membaca berkas-berkas, juga menyimak sebuah video rekaman dari black box mobil di sekitar tempat kecelakaan Ariel. Adikara dan Malik meninjau berkas kasus penculikan yang pernah dilakukan oleh Samsul.Beberapa menit kemudian, pintu ruangan terbuka. Hera berdiri di ambang pintu bersama seorang pria paruh baya yang dikenal sebagai Dokter Anwar.“Mama?” Ares terkejut.Hera melirik pada Ares sekilas lalu pandangannya menyapu ruangan. Hera berjalan mendekat ke kursi Adikara, kemudian duduk pada kursi kosong di sebelahnya.“Selamat sore, Dokter Anwar.” sapa Adikara.Ares yang baru sadar akan kehadiran Dokter Anwar menoleh cepat ke arah pria paruh baya yang sudah dipersilakan duduk oleh Hera di sebelah Ares.“Apa lagi ini?” wajah Ares berubah datar, “Kenapa Mama bawa Dokter Anwar?”“Kita bahas itu di rumah ya,