Setelah lima belas hari tidak bertemu dengan Arsyanendra, Ravania yang sibuk dengan pelajaran – pelajarannya kemudian tidak sengaja bertemu dengan Arsyanendra yang sedang bersantai di taman Istana sama seperti dirinya.
“Yang Mulia. ..”
Ravania memberikan salamnya dengan menundukkan sedikit kepalanya kepada Arsyanendra ketika melihat Arsyanendra sedang duduk menatap langit biru di siang hari.
“Selamat siang, Nona Indhira.”
Arsyanendra yang melihat kedatangan Ravania kemudian membalas salam dari Ravania.
“Lama tidak bertemu, Yang Mulia.”
Ravania kemudian berdiri di samping Arsyanendra dengan menjaga jarak yang pas dan sopan menurut Ravania.
“Lama tidak bertemu juga, Nona Indhira. Bagaimana dengan pelajaranmu, Nona Indhira?”
“Baik, Yang Mulia.”
Arsyanendra yang melihat Ravania berdiri di sedikit jauh dari tempatnya be
Untuk beberapa saat setelah mobil yang ditumpanginya mulai berjalan Ravania yang terkejut dan membeku mendengar jawaban dari Arsyanendra, masih berusaha keras untuk mencerna jawaban dari Arsyanendra. Setelah satu menit lamanya, Ravania akhirnya berhasil membuka mulutnya untuk memastikan jawaban dari Arsyanendra. “Kasino? Kenapa Yang Mulia membawaku ke sana? Apakah keluarga kerajaan boleh datang ke kasino? Terlebih lagi Yang Mulia adalah Raja Hindinia, apakah ini adalah tindakan yang tepat, Yang Mulia?” Arsyanendra mengangkat tangan kanannya dan kemudian menjentikkan jarinya di kening Ravania. “Auuwww. . .” Ravania meringis kesakitan menahan rasa sakit di keningnya akibat jentikkan Arsyanendra. “Reaksimu benar – benar terlambat, Nona Indhira. Butuh satu menit bagi Nona Indhira untuk mencerna ucapanku. Lihat ini. . .” Arsyanendra menunjukkan tas besar yang tadi di letakkannya di antara dirinya dan Ravania. “
Sebelas tahun yang lalu. . . “Ayah. . . .” teriak Arsyanendra yang berlari menuju ke ayahnya. “Ada apa dengan putraku ini?” Pangeran Davendra Balakosa memandang ke arah putra tunggalnya dengan wajah tersenyum. Sementara itu, Arsyanendra Balakosa menatap wajah ayahnya dengan bibir cemberut. “Kenapa ayah mengijinkan Surendra untuk membuang beberapa mainanku tanpa ijin dariku?” “Ehm. . . .” Davendra Balakosa menatap wajah putranya lagi dengan senyuman yang sama. “Sudah waktunya kamu berhenti bermain – main dengan mainan itu, Arsya. Karena mainan itu, kamu terus tidak fokus dengan pelajaranmu sebagai calon putra mahkota. Dengan alasan itu, Ayah menyetujui permintaan Surendra untuk membuang semua mainanmu yang sudah tidak berguna lagi.” “Tapi Ayah. . . mainan itu adalah peninggalan ibu. Ayah tidak bisa membuangnya begitu saja. Ibu tidak banyak meninggalkan sesuatu untukku ketika aku merindukannya.”
Sejak kejadian nahas itu, Arsyanendra akhirnya menyadari bahwa meski Surendra terlihat kejam padanya. Namun dalam hati Surendra. . . Arsyanendra adalah seseorang yang harus dijaganya dengan baik meski itu harus mengorbankan nyawanya sendiri. Arsyanendra pernah bertanya kepada Surendra ketika Surendra berada dalam perawatan akibat cakaran dari harimau itu. “Kenapa kamu tidak lari dan malah datang ke tempatku berada? Kamu bodoh Surendra. Aku melepaskan tembakan itu untuk memberi peringatan kepadamu untuk lari dan bukannya untuk datang ke arahku.” “Saat itu jika aku lari, Yang Mulia yang akan berada dalam bahaya. Beberapa pohon yang berada di sekitar rumah pohon milik Yang Mulia mampu menjadi pijakan bagi harimau itu untuk naik ke atas di mana Yang Mulia berada,” jelas Surendra. “Jadi. . . jika aku menyelamatkan diri saya sendiri, maka Yang Mulia yang mungkin akan berada dalam bahaya. Terlebih lagi. . . lokasi Yang Mulia berada s
Setelah menukar semua chip hasil kemenangan judinya, Arsyanendra dan Ravania kemudian keluar dari area kasino. Dengan membawa tas besar yang berisi banyak uang, Arsyanendra dan Ravania berjalan keluar dari kasino bawah tanah. Melihat kedatangan Arsyanendra yang menyamar sebagai pria tua, Surendra yang sejak tadi bersiaga menunggu kemudian segera mendatangi Arsyanendra bersama dengan mobilnya. “Kenapa lebih cepat dari seharusnya, Yang Mulia?” tanya Surendra dengan menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat Arsyanendra. Arsyanendra melirik ke arah Ravania yang duduk di sampingnya, “Pemandangan yang kami lihat hari ini lebih buruk dari biasanya. Nona Indhira tidak sanggup melihatnya. Apa ada air?” “Ada, Yang Mulia.” Surendra segera memberikan air mineral yang dibawanya sebagai persiapan untuk Arsyanendra. “Ini, Yang Mulia.” “Terima kasih.” Arsyanendra menerima air mineral pemberian Surendra dan memberikannya kepa
“Sesuatu yang buruk?” Ravania mengulangi pertanyaan yang diucapkan oleh kepala desa. “Apa maksudnya dengan sesuatu yang buruk?” “Pasukan kecil milik kaum aristokrat datang kemari dan meminta kami menyerahkan pemuda pemudi yang ada di desa ini untuk dijadikan pekerja oleh mereka. . .” Ravania yang mendengar jawaban dari kepala desa kemudian menatap Arsyanendra dengan wajah heran dan bertanya, “Maksud dari pekerja di sini, jangan katakan kalau itu sesuatu yang sedang aku pikirkan saat ini, Yang Mulia.” Arsyanendra menatap datar ke arah kelompok warga kecilnya yang berjumlah sekitar seratus orang itu dan membalas ucapan dari Ravania, “Sayangnya, apa yang terjadi sama dengan yang ada di dalam pikiranmu, Nona Indhira.” Kepala desa yang mendengar nama peran yang saat ini diperankan oleh Ravania kemudian terkejut dan langsung menggenggam kedua tangan Ravania. “Mungkin Nona Indhira ini adalah anak dari Tuan Abinawa Darmaw
Surendra yang duduk di samping kursi pengemudi dan ikut mendengarkan penjelasan dari Arsyanendra kemudian menolehkan kepalanya ke belakang. “Mohon maafkan saya sebelumnya, Yang Mulia. Tapi sepertinya penjelasan itu terlalu rumit untuk Nona Indhira.” Ravania menganggukkan kepalanya. “Ya, Yang Mulia.” “Benarkah?” Arsyanendra kemudian menatap ke arah Ravania dengan tatapan tidak percaya. “Kalau begitu, Nona Indhira bisa menanyakannya besok kepada Narendra, sepupuku itu. Dalam hal berjudi, dia jauh lebih baik dari aku.” “Benarkah itu,. Yang Mulia? Kukira Tuan Narendra tidak pernah menang dari Yang Mulia.” Ravania memandang Arsyanendra dengan tatapan terkejut dan tidak percaya. “Memang dia lebih hebat dariku, tapi sayangnya keberuntungan milik Narendra kecil sehingga dia tidak pernah dariku meski itu hanya sekali,” ucap Arsyanendra dengan suara datarnya. Ravania yang mendengarkan ucapan Arsyanendr
Ravania yang telah selesai membersihkan dirinya kini berbaring di atas ranjangnya lengkap dengan pakaian tidurnya. Setelah satu jam lamanya berbaring di atas ranjangnya, Ravania benar – benar tidak bisa memejamkan matanya karena pikirannya yang masih melayang – layang karena pertanyaannya yang belum terjawab oleh Arsyanendra. Ravania yang kesal, kemudian membuat keputusan. Ravania bangkit dari tempat tidurnya dan memakai jubah tidurnya dan kemudian berjalan keluar dari kamar tidurnya. Dalam lorong yang sedikit gelap karena kebijakan dari Arsyanendra untuk berhemat menggunakan listrik, beberapa lorong panjang hanya memiliki penerangan yang minim. Dalam keadaan yang sedikit gelap, Ravania kemudian membulatkan tekadnya untuk menemui Arsyanendra dan menanyakan pertanyaan yang membuatnya tidak bisa tertidur. Tok. . . tok. . . “Yang Mulia. . .” Ravania memanggil Arsyanendra dengan suaranya yang sedikit lirih. “Siapa?”
Ini dia. Aku tidak menyangka jika Ravania pernah meragukan jati dirinya sendiri sebagai anak dari keluarga Hargandi. Ini artinya memang ada sesuatu yang terjadi di masa lalu yang tidak diketahui oleh Ayah dan aku. Sebuah rahasia besar yang disembunyikan oleh Tuan Abinawa Darmawangsa mengenai sosok Ravania. Aku tidak pernah percaya jika ada manusia yang memiliki wajah yang mirip bahkan hingga mendekati seratus persen, kecuali mereka memiliki hubungan. “Apa maksud ucapan Nona ini?” tanya Arsyanendra dengan berusaha menyembunyikan rasa penasaran dan bersikap seolah tidak terlalu peduli. “Hanya sebuah desas – desus kecil yang mengatakan bahwa aku bukanlah putri dari keluarga Hargandi. Karena hal itu, aku pernah melarikan diri dari rumah hingga membuat kakakku, Ardizya terluka dan nyaris melukai tangannya yang berharga.” “Ah, pelukis dengan nama Bagram itu bukan?” t