Di terbelalak sesaat sebeliLaki-laki yang tampak rapuh setiap kali tersudut itu tertunduk dengan posisium akhirnya menunduk, masih mencangkung di depanku.“Bukan begitu ceritanya, Sayang. Nanti Abang jelaskan di rumah. Please. Abang malu kalau teman-teman Adek mendengar masalah rumah tangga kita.”Betapapun kami berusaha memelankan suara, bocah-bocah perempuan di dalam pasti ingin tahu dengan apa yang terjadi. Kenapa aku pindah dan Bang Sam menjemput kemudian hari. Bagaimana pun aku berusaha menutupi, keretakan itu sudah terjadi. Siapa saja akan mudah melihatnya.Reni cs beberapa kali terdengar kasak-kusuk dan mondar-mandir mengintip. Bayangan mereka sesekali tertangkap ekor mata meski pintu yang tertutup korden posisinya ada di sampingku duduk.“Masalah rumah tangga kita? Abang yang bermasalah. Bukan kita.”“Adeek.”Dia kembali menumpukan kedua tangannya pada sofa di sisi kiri kananku. Mengunciku sekali lagi.“Toloong. Ayo, kita pulang. ”Aku menggeleng dan balik menatapnya.“Lalu, p
Berarti sudah dua jam laki-laki keras kepala itu ada di sana. Teras yang dilingkup beberapa rumah warga dan menyisakan jalan setapak yang hanya muat dilewati satu motor, membuat tempat itu terlindung dari pandangan orang-orang yang melintas hanya sesekali.Bagi keluarga yang datang berkunjung dengan kendaraan roda empat, mereka hanya bisa memarkirkan kendaraan di tepi jalan, menumpang pada pemilik warung makan langganan anak-anak kost atau masjid yang ada di seberang jalan.Aku mendengkus kesal. Amarah yang baru saja lerai kembali terpantik, bersama sedikit rasa iba yang lindap begitu saja. Tampias hujan yang membasahi lantai teras pasti membuat celana Bang Sam lembab. Udara dingin, menjadikan semuanya menjadi lengkap.Entah kenapa kekhawatiran itu datang begitu saja.Meski demikian, aku menguatkan hati untuk tidak goyah. Bang Sam harus belajar menyelesaikan masalah bukan dengan memasang tampang memelas.Keberadaannya kini jadi sangat mengganggu pikiranku, mengganggu kenyamanan penghu
Bang Sam menggeliat. Meregangkan badan dan telentang. Perlahan matanya terbuka, lalu menatapku.“Astaghfirullah!” Sekali lagi aku beristighfar. “Ngapain, coba?” tanyaku tidak habis pikir.Perlahan, Bang Sam duduk dan menelengkan kepala ke kiri dan ke kanan. Gimana tidak pegal? Dia yang terbiasa tidur di kasur empuk kualitas nomor satu, tiba-tiba berbaring lesehan berselimut angin malam nyaris tanpa alas. Semalaman.“Kan, lah Abang bilang, dak nak balek kalau adek dak ikut balek,” jawabnya tanpa tekanan, seolah-olah yang dia lakukan adalah sebuah kewajaran.“Masuk! Subuh dulu.”Mau tidak mau aku sedikit menurunkan ego. Jangan sampai perseteruan suami istri ini menjadi konsumsi publik dan Abah kena getahnya, menjadi buah bibir seantero kota.Selekasnya, Bang Sam bangkit dan melenggang masuk, meninggalkan rasa jengkel pada perempuan yang berdiri mematung, masih di depan pintu. Sehingga aku terpaksa mengikutinya meski mulut mencucu.“Yang mana?” Dia berbalik, menyadari tidak tahu pintu ya
Pada jam bezuk pertama, ruang rawat inap yang kutempati seketika ramai. Amak, Abah, Bapak, dan Ibu datang bersamaan. Serantang masakan rumah mereka bawa serta. Gulai tauco dan lontong ketupat yang Ibu bawa memancing selera makanku kembali. Aku bangkit dengan air liur yang mendadak terbit, setelah berkali-kali gagal makan dengan baik. Beruntung morning sickness-ku ini masih dalam batas wajar.“Kapan kau balek, Sam?” tanya Ibu sambil sibuk mengiris lontong ke dalam piring.“Kemarin petang, Buk.”“Dia cuma singgah ke rumah sebentar, laju pergi lagi. Pagi-pagi nelpon aku, katanya Airin masuk rumah sakit. Paniklah kami serumah.” Amak yang kini menanggapi. “Laju kami kabari Mamak Airin,” lanjutnya.Jadi, saat kukatakan minggat dari rumah, ternyata ampuh membuat Bang Sam pulang. Dia hanya mampir sebentar dan langsung mencariku ke kost-an.Bukankah lebih bijak menjaga yang masih utuh daripada merangkai yang sudah jatuh? Bentuknya mungkin sama tetapi retakan itu tidak akan hilang. Selamanya.
“Kau semangat nian, laju dak nampak lagi ada orang lain di ruangan ini.”Dia tersenyum kikuk meski kemudian mengulurkan tangan. Bau parfum yang lembut seketika menguar dari tubuhnya. Membuatku teringat wejangan ustadz di surau bahwa tidak boleh seorang perempuan memakai wewangian yang sampai tercium orang lain apalagi lawan jenis.Secara langsung itu seperti bentuk undangan yang menggoda syahwat. Dan kurasa … itu ada benarnya.“Dini, Yuk. Karyawan di kantor Abang.”Dengan terpaksa aku menyambutnya dan menyadari bahwa telapak tangan perempuan yang menyebut namanya Dini itu dingin dan gemetaran.“Di kantor biasa manggil Abang juga?” tanyaku penuh selidik.Dia terbatuk meski akhirnya mengangguk.“Formal sekali.” Sengaja kuberi tekanan saat mengatakan itu sambil melirik laki-laki yang duduk di ranjangnya dengan tatapan kaku, ke arahku.“Ayuk sakit juga?” tanyanya mengalihkan kecanggungan di antara kami. Melihat selang infus yang bertengger di tanganku, harusnya dia tidak perlu bertanya.“
Saat kembali ke kamar, sepanjang jalan air mataku sudah berkejaran menuruni pipi. Rasanya aku ingin mengumpati diri sendiri. Padahal harusnya aku tidak sebodoh ini dan memperturutkan emosi. Percuma aku memelototi diktat-diktat tebal dan hapal bagian-bagian penting di luar kepala. Sia-sia saja menghabiskan quota untuk membaca bermacam jurnal online ter-update, kemudian memberikan konseling kepada pasien, kalau mengurus diri sendiri saja aku tidak becus.Harusnya aku tidak usah peduli pada sekeliling yang juga tidak memedulikanku. Harusnya aku fokus pada diri sendiri, sebab periode emas pertumbuhan dan perkembangan ini tidak akan terulang dua kali.Peduli setan sama makhluk bernama Samsuari! Harusnya itu yang aku lakukan dan tekankan dalam hati.Namun ternyata, praktek di lapangan tidak semudah teori. Masing-masing keluarga memiliki masalah komplek yang berbeda. Tidak semudah itu.“Maafkan Mama, Nak,” ucapku berkali-kali sambil mengelus perut yang masih rata. Ingin rasanya aku berteri
Masih dengan riuh yang sama di dalam dada, aku menuju kamar mandi dan duduk pada kloset yang tertutup. Begini nian rasanya menjadi pencuri. Perbuatan yang hanya menimbulkan kecemasan dan rasa tidak nyaman.Berbagai aplikasi percakapan dan media sosialnya kubuka. Beberapa nama perempuan dengan wajah-wajah cantik yang menghiasi profile picture-nya terpampang di bagian paling atas, tetapi tanpa percakapan. Bang Sam pasti sudah menghapusnya.Mana yang harus aku curigai? Kutatap perempuan-perempuan itu sekali lagi. Wanita berambut emas yang menyambangi rumah ibu tempo hari ada di bagian paling atas, Kajol KW, atau tiga nama lain yang terbaca asing sebab aku tidak mengenalnya. Siapa di antara mereka berlima yang perlu diwaspadai sebagai pelukis tanda merah di dada Bang Sam?Ku-screenshoot nama dan alamat mereka, kemudian mengirimnya ke hapeku. Kemudian, aku beralih ke sosial media Bang Sam, tidak ada yang mencurigakan. Dia hanya memamerkan kendaraan dan kegiatannya dalam bekerja.Setelah
Ayuk Siti sedang menebah permukaan ranjang saat aku masuk. Sementara Amanda terdengar berceloteh di dalam boksnya. Kehidupan penuh drama ini akan kembali dimulai. Teringat pesan Ibu tempo hari ketika menjenguk, agar aku tidak menjadi perempuan dewasa yang pengecut. Bahwa aku harus menyelesaikan masalah ini. Bentuk konsekuensi sebab telah menerima Bang Sam dan anak-anaknya. “Ibu dan Bapak ada di belakangmu jika ada apa-apa.” Pesan Ibu sebelum pulang.“Abang Zain ke mana?” tanyaku saat bocah kecil itu menungguku untuk duduk.“Abang main keluar sama temannya.”“Sepedaan?”Ia mengangguk.“Zidan dak ikut?”“Zidan nungguin Tante bae.”Sederhana saja kalimat itu, tetapi membuatku tersentuh.“Papa juga balek, nah.” Kuingatkan bocah itu, lalu melirik Bang Sam yang baru masuk membawa tas pakaian.“Papa biarin bae lah,” bisiknya lirih.Biarin bae, katanya? Dahiku mengeryit. Rasanya aku tidak salah dengar, tetapi bocah itu seperti tidak peduli papanya pulang. Seingatku, dia dan abangnya juga ant