Masih dengan riuh yang sama di dalam dada, aku menuju kamar mandi dan duduk pada kloset yang tertutup. Begini nian rasanya menjadi pencuri. Perbuatan yang hanya menimbulkan kecemasan dan rasa tidak nyaman.Berbagai aplikasi percakapan dan media sosialnya kubuka. Beberapa nama perempuan dengan wajah-wajah cantik yang menghiasi profile picture-nya terpampang di bagian paling atas, tetapi tanpa percakapan. Bang Sam pasti sudah menghapusnya.Mana yang harus aku curigai? Kutatap perempuan-perempuan itu sekali lagi. Wanita berambut emas yang menyambangi rumah ibu tempo hari ada di bagian paling atas, Kajol KW, atau tiga nama lain yang terbaca asing sebab aku tidak mengenalnya. Siapa di antara mereka berlima yang perlu diwaspadai sebagai pelukis tanda merah di dada Bang Sam?Ku-screenshoot nama dan alamat mereka, kemudian mengirimnya ke hapeku. Kemudian, aku beralih ke sosial media Bang Sam, tidak ada yang mencurigakan. Dia hanya memamerkan kendaraan dan kegiatannya dalam bekerja.Setelah
Ayuk Siti sedang menebah permukaan ranjang saat aku masuk. Sementara Amanda terdengar berceloteh di dalam boksnya. Kehidupan penuh drama ini akan kembali dimulai. Teringat pesan Ibu tempo hari ketika menjenguk, agar aku tidak menjadi perempuan dewasa yang pengecut. Bahwa aku harus menyelesaikan masalah ini. Bentuk konsekuensi sebab telah menerima Bang Sam dan anak-anaknya. “Ibu dan Bapak ada di belakangmu jika ada apa-apa.” Pesan Ibu sebelum pulang.“Abang Zain ke mana?” tanyaku saat bocah kecil itu menungguku untuk duduk.“Abang main keluar sama temannya.”“Sepedaan?”Ia mengangguk.“Zidan dak ikut?”“Zidan nungguin Tante bae.”Sederhana saja kalimat itu, tetapi membuatku tersentuh.“Papa juga balek, nah.” Kuingatkan bocah itu, lalu melirik Bang Sam yang baru masuk membawa tas pakaian.“Papa biarin bae lah,” bisiknya lirih.Biarin bae, katanya? Dahiku mengeryit. Rasanya aku tidak salah dengar, tetapi bocah itu seperti tidak peduli papanya pulang. Seingatku, dia dan abangnya juga ant
"Abaang! Sini dulu!" Tetapi dia tetap melangkah pergi.Tingkah Bang Sam membuatku mati-matian meredam emosi yang menjalari dada. Lihat saja nanti. Kalau bukti nyata itu ada di tangan, kita tunggu apa yang akan kulakukan.Aku mengatur napas dan kembali ke ranjang, berbaring di sisi Zidan yang tidur tenang. Mencoba berdamai dengan pikiran agar bisa terlelap.Namun, celoteh Amanda yang berubah menjadi rengekan, membuatku terpaksa bangkit dan mendekati boks bocah itu. "Lapar? Mau susu?"Mata beningnya yang seketika melihatku itu, membuat kemarahan sedikit luruh. Perlahan kubuatkan dia susu, lalu memberikannya. "Baca bismillah," ucapku dan dia balas dengan tawa lebar. Tidak boleh seperti ini. Harus ada yang dibenahi. Orang kaya seperti mereka harusnya tidak melakukan apa-apa sendiri. Tidak ada sesiapapun di rumah ini kecuali seorang pembantu dan sopir yang Abah bawa dari rumah utama.Ayuk Siti sibuk di dapur dan melakukan semua pekerjaan rumah, sampai Amak harus turun tangan membantu.
"Itu ... anu ...." Muka Amak merah padam saat menjawab pertanyaan memdadak yang kuajukan.Melihat Amak gelagapan seperti maling tertangkap, aku kembali mencecar dengan pertanyaan baru."Jadi Amak tahu rumah ini sudah digadaikan? Amak juga tahu, Abang harus membayar bunga besar setiap bulan?"Amak terdiam. Wajahnya cemas sambil menatapku. "Amak juga tahu Abang pergi ke mana waktu itu?"Kali ini, perempuan berwajah mulus oleh skincare mahal itu menggeleng cepat. Meski kerutannya tetap terlihat."Kalau itu Amak dak tahu, Rin. Sumpah!""Itu kenapa Amak maksain diri buat bantu Abang Sam di sini?"Amak kembali terdiam sesaat sebelum melanjutkan. "Iyaa. Tapi tolong, jangan kasih tahu Abah.""Gimana ceritanya dak kasih tau Abah, Amak? Macam mana kalau rumah ini di sita sama rentenir itu? Satu milyar bukan perkara uang sedikit. Sementara cicilan tiap bulan hanya buat membayar bunga. Sampai kapan macam itu terus?"Bau pengar yang menguar diselingi suara Ayuk Siti mengaduk di wajan semakin men
Uang sekolah, jajan bocah-bocah, biaya dapur, bensin, gaji Ayuk Siti. Kenyataan yang membuatku geleng-geleng kepala. Pantas saja, meski menikah dengan anak orang kaya, Ayuk Fatma tetap bekerja, meski menjadi bidan di rumah sakit swasta dengan gaji yang tidak seberapa."Berapa persen memangnya bunga bank itu?""Tiga setengah persen.""Flat?""Iya."Inalillahi. Berarti Bang Sam ngasih makan pemilik bank jahanam itu tiga puluh lima juta perbulan. Untuk sebuah perusahaan kecil seperti itu memang cukup membuat Bang Sam kepayahan. Belum termasuk operasional perusahaan termasuk membayar karyawan.Pantas saja, dia terlihat tidak berharga di depan Abah. Kerja siang malam tidak ada hasilnya "Abang mau begini terus?""Abang belum punya jalan keluar, Dek. Ke mana nyari uang sebanyak itu untuk menebusnya."Kepalaku penuh. Berpikir jalan mana yang harus aku tempuh untuk membantu laki-laki payah di depanku ini."Jual mobil.""Hah?""Jual mobil Abang itu.""Mana ada mobil seken seharga satu milyar,
"Biar apa, Kak?" tanyaku. Benar-benar tidak paham dengan kelakuan kakak kelas sekamarku itu."Biar cepat hilang bekasnya.""Bisa memangnya pakai bawang?""Tiga hari hilang," jawab Kak Ani penuh percaya diri."Makanya punya pacar, Rin. Biar ada pengalamanmu." Kak Desi menimpali.Bagaimana aku akan pacaran jika keadaanku paling menyedihkan? Sebagai anak asrama yang sekolah di bidang kesehatan, bisa membayar uang kuliah tanpa menunggak saja sudah merupakan kesyukuran yang luar biasa.Ekonomi orang tua yang pas-pasan tetapi bercita-cita tinggi, membuat Bapak dan Ibu harus banting tulang, membagi rezeki untuk biaya sekolah anak-anak dan kebutuhan makan.Alih-alih berpakaian modis seperti teman-teman yang gaul dan banyak kenalan, aku justru mengandalkan beasiswa dan jungkir balik belajar agar nilaiku bisa dijadikan garansi, untuk tetap menerima dana hibah hingga tamat kuliah.Aku juga harus bermanis-manis dan serajin mungkin di lahan praktik agar lebih dulu diajari sama kakak pegawai. Memij
"Kenapa? Abang takut kehilangan aset buat tebar pesona dan merayu cewek Abang di luar sana?" Aku menyerang balik."Cewek apa pula Adek ini?""Lia. Siapa dia?"Ada keterkejutan sesaat di wajah Bang Sam, meski dia tutupi sedemikian rupa."Lia siapa?""Dak usah sok dak kenal. Tanya diri Abang sendiri." Aku mendongak dan menunjuk dada lelaki itu. "Abang yang lebih tau. Lagian, malu, Abang. Umur sudah gaek masih menyusu sama Amak. Jadi uang yang Adek kasih berputar-putar bae dari Amak balik ke Amak? Omong kosong Abang bilang ada duit dari perusahaan untuk operasional rumah.""Memang ada. Tapi dak cukup.""Jadi, sekali lagi Adek tanya, sampai kapan mau macam itu? Anak-anak makin besar, makin banyak."Kali ini Bang Sam terdiam."Jadi benar sangka aku, kau nikah sama Sam karena matre." Amak yang entah datang dari mana sekonyong-konyong menyahut."Maksud Amak apa?" tanyaku heran. Seakan dia tahu pasti apa yang sedang kami perdebatkan."Amak dengar kau nak jual mobil Sam.""Itu sangka Abang, Ma
Kampus yang baru berdiri kurang dari lima tahun itu kini ada di hadapan. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk pulih seratus persen.Aku masuk ke lobi dan celingukan. Tadi sebelum berangkat sudah mengabari Ayu Ami akan datang."Mau ketemu Bu Ami, di mana ya, Pak?"Lewat kaca pembatas ruang yang di beri lubang, aku bertanya pada seseorang yanv berjaga di sana."Sebentar."Laki-laki itu meraih telepon antar ruang dan berbicara dengan seseorang."Bu Ami ada di ruangannya. Sebelah sana, Bu."Dia menunjuk ke sisi kiri bangunan. Ruangan dengan pintu terbuka itu menghadap ke kolam ikan."Baik. Terima kasih, Pak."Aku bergegas melangkah ke arah yang ditunjukkan. Lalu mendapati perempuan berwajah teduh itu sedang memberikan arahan pada dua orang mahasiswi yang duduk di depannya. Ayuk Ami mencoret-coret kertas sambil berkata-kata.Bimbingan skripsi. Kurasa.Ayuk Ami mendongak, tersenyum dan berbisik, "sebentar." Kode yang membuatku mengangguk dan duduk di sudut, pada kursi tamu yang di