"Itu ... anu ...." Muka Amak merah padam saat menjawab pertanyaan memdadak yang kuajukan.Melihat Amak gelagapan seperti maling tertangkap, aku kembali mencecar dengan pertanyaan baru."Jadi Amak tahu rumah ini sudah digadaikan? Amak juga tahu, Abang harus membayar bunga besar setiap bulan?"Amak terdiam. Wajahnya cemas sambil menatapku. "Amak juga tahu Abang pergi ke mana waktu itu?"Kali ini, perempuan berwajah mulus oleh skincare mahal itu menggeleng cepat. Meski kerutannya tetap terlihat."Kalau itu Amak dak tahu, Rin. Sumpah!""Itu kenapa Amak maksain diri buat bantu Abang Sam di sini?"Amak kembali terdiam sesaat sebelum melanjutkan. "Iyaa. Tapi tolong, jangan kasih tahu Abah.""Gimana ceritanya dak kasih tau Abah, Amak? Macam mana kalau rumah ini di sita sama rentenir itu? Satu milyar bukan perkara uang sedikit. Sementara cicilan tiap bulan hanya buat membayar bunga. Sampai kapan macam itu terus?"Bau pengar yang menguar diselingi suara Ayuk Siti mengaduk di wajan semakin men
Uang sekolah, jajan bocah-bocah, biaya dapur, bensin, gaji Ayuk Siti. Kenyataan yang membuatku geleng-geleng kepala. Pantas saja, meski menikah dengan anak orang kaya, Ayuk Fatma tetap bekerja, meski menjadi bidan di rumah sakit swasta dengan gaji yang tidak seberapa."Berapa persen memangnya bunga bank itu?""Tiga setengah persen.""Flat?""Iya."Inalillahi. Berarti Bang Sam ngasih makan pemilik bank jahanam itu tiga puluh lima juta perbulan. Untuk sebuah perusahaan kecil seperti itu memang cukup membuat Bang Sam kepayahan. Belum termasuk operasional perusahaan termasuk membayar karyawan.Pantas saja, dia terlihat tidak berharga di depan Abah. Kerja siang malam tidak ada hasilnya "Abang mau begini terus?""Abang belum punya jalan keluar, Dek. Ke mana nyari uang sebanyak itu untuk menebusnya."Kepalaku penuh. Berpikir jalan mana yang harus aku tempuh untuk membantu laki-laki payah di depanku ini."Jual mobil.""Hah?""Jual mobil Abang itu.""Mana ada mobil seken seharga satu milyar,
"Biar apa, Kak?" tanyaku. Benar-benar tidak paham dengan kelakuan kakak kelas sekamarku itu."Biar cepat hilang bekasnya.""Bisa memangnya pakai bawang?""Tiga hari hilang," jawab Kak Ani penuh percaya diri."Makanya punya pacar, Rin. Biar ada pengalamanmu." Kak Desi menimpali.Bagaimana aku akan pacaran jika keadaanku paling menyedihkan? Sebagai anak asrama yang sekolah di bidang kesehatan, bisa membayar uang kuliah tanpa menunggak saja sudah merupakan kesyukuran yang luar biasa.Ekonomi orang tua yang pas-pasan tetapi bercita-cita tinggi, membuat Bapak dan Ibu harus banting tulang, membagi rezeki untuk biaya sekolah anak-anak dan kebutuhan makan.Alih-alih berpakaian modis seperti teman-teman yang gaul dan banyak kenalan, aku justru mengandalkan beasiswa dan jungkir balik belajar agar nilaiku bisa dijadikan garansi, untuk tetap menerima dana hibah hingga tamat kuliah.Aku juga harus bermanis-manis dan serajin mungkin di lahan praktik agar lebih dulu diajari sama kakak pegawai. Memij
"Kenapa? Abang takut kehilangan aset buat tebar pesona dan merayu cewek Abang di luar sana?" Aku menyerang balik."Cewek apa pula Adek ini?""Lia. Siapa dia?"Ada keterkejutan sesaat di wajah Bang Sam, meski dia tutupi sedemikian rupa."Lia siapa?""Dak usah sok dak kenal. Tanya diri Abang sendiri." Aku mendongak dan menunjuk dada lelaki itu. "Abang yang lebih tau. Lagian, malu, Abang. Umur sudah gaek masih menyusu sama Amak. Jadi uang yang Adek kasih berputar-putar bae dari Amak balik ke Amak? Omong kosong Abang bilang ada duit dari perusahaan untuk operasional rumah.""Memang ada. Tapi dak cukup.""Jadi, sekali lagi Adek tanya, sampai kapan mau macam itu? Anak-anak makin besar, makin banyak."Kali ini Bang Sam terdiam."Jadi benar sangka aku, kau nikah sama Sam karena matre." Amak yang entah datang dari mana sekonyong-konyong menyahut."Maksud Amak apa?" tanyaku heran. Seakan dia tahu pasti apa yang sedang kami perdebatkan."Amak dengar kau nak jual mobil Sam.""Itu sangka Abang, Ma
Kampus yang baru berdiri kurang dari lima tahun itu kini ada di hadapan. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk pulih seratus persen.Aku masuk ke lobi dan celingukan. Tadi sebelum berangkat sudah mengabari Ayu Ami akan datang."Mau ketemu Bu Ami, di mana ya, Pak?"Lewat kaca pembatas ruang yang di beri lubang, aku bertanya pada seseorang yanv berjaga di sana."Sebentar."Laki-laki itu meraih telepon antar ruang dan berbicara dengan seseorang."Bu Ami ada di ruangannya. Sebelah sana, Bu."Dia menunjuk ke sisi kiri bangunan. Ruangan dengan pintu terbuka itu menghadap ke kolam ikan."Baik. Terima kasih, Pak."Aku bergegas melangkah ke arah yang ditunjukkan. Lalu mendapati perempuan berwajah teduh itu sedang memberikan arahan pada dua orang mahasiswi yang duduk di depannya. Ayuk Ami mencoret-coret kertas sambil berkata-kata.Bimbingan skripsi. Kurasa.Ayuk Ami mendongak, tersenyum dan berbisik, "sebentar." Kode yang membuatku mengangguk dan duduk di sudut, pada kursi tamu yang di
Aku hanya perlu membuktikan pada diri sendiri bahwa mampu melakukan apa yang harus dilakukan. Aku tidak akan membiarkan orang lain masuk dan menyakiti. Hanya aku yang punya kontrol atas hatiku, bukan orang lain.Maka kini, aku memilih tidak peduli. Terserah Amak mau ngomong apa.Air dingin yang membasuh seluruh tubuh membuatku sedikit menggigil, kemudian tangan refleks memutar pemanas air dan menyelesaikan ritual mandi. Aku sudah merasa lebih sehat dari sebelumnya. Barangkali semangat itu bangkit karena aku akan kembali bekerja. Harus kusiapkan segala sesuatunya sebelum berangkat. Menyiapkan keperluan Zain, Zidan, dan Amanda. Rasanya ini jauh lebih mudah daripada bekerja di rumah sakit dengan sift jaga berganti-ganti.Selesai salat malam dan subuh, aku bergegas ke dapur. Ayuk Siti sudah sibuk sendiri di depan kompor.Aku menghela napas berkali-kali, sebab mencium aroma tumisan selalu memancing mual. Pun begitu, kukuatkan dan meyakinkan hati bahwa aku bisa melaluinya."Lah bangun, Ri
"Di sini?""Iyaa."Bu Ami yang serta-merta nongol dari balik pintu membuatku tersenyum lega. Sebab, mulut rasanya gatal ingin menanyakan di mana Reri kenal Bang Sam. Jika keceplosan, barangkali satu pintu yang bisa kumasuki untuk menyelidiki lewat perempuan ini bakal tertutup."Ayok! Saya tunjukkan tempatnya." Bu Amy mengajakku.Aku berdiri dan mengucapkan terima kasih pada Bu Reri.Sekali lagi, aku harus bertemu dengan tangga. Hal yang sering memicu tegang di perut. Namun sebab sudah terlanjur, aku tidak boleh mundur. Ruangan yang lebar dengan bilik-bilik tertutup korden biru muda menyapaku. Hawa dingin, patung tengkorak, lemari-lemari besar berisi instrumen, tumpukan laken, dan bermacam barang-barang praktikum seolah mengucapkan salam. Melihatnya saja sudah membuatku pusing.Mulai hari ini, aku harus mulai familiar dengan nama semua alat dan letaknya. Bu Ami menyerahkan padaku dua buah buku, memberikan arahan singkat tentang apa saja yang harus kulakukan, kemudian berlalu. Menin
Membuat satu tempat laundry di dekat kampus ini sepertinya ide bagus juga.Aku hanya perlu mencari data berapa jumlah mahasiswa dan bagaimana selama ini mereka mencuci. Aku bangkit dan mengumpulkan semangat. Mengabaikan hubunganku yang rumit dengan Bang Sam, aku harus bisa berdiri dengan kokoh agar tidak dipandang sebelah mata oleh Amak dan dunia.Kata-kata perempuan sepuh itu menyakitkan sekali. Seolah-olah memang aku yang menjebak putranya. Sungguh nista. Kaki perlahan menuruni undakan. Rasa tegang di perut mulai reda. Aku hanya perlu membangun sugesti positif bahwa tidak ada yang akan menyakitiku jika jiwaku tidak mengizinkannya. Meski sulit.Meski kadang aku gagal melakukannya. Dedaunan aglonema yang berjajar rapi di dalam pot yang menghiasi sisi sepanjang lorong lantai bawah, terangguk-angguk dibelai angin. Seolah memberitahu bahwa semua akan baik-baik saja. Seorang mahasiswi melintas. Lekas aku memanggilnya. "Dek!"Dia berhenti dan mendekat."Iya, Kak?"Aku tersenyum dan m