“Kau semangat nian, laju dak nampak lagi ada orang lain di ruangan ini.”Dia tersenyum kikuk meski kemudian mengulurkan tangan. Bau parfum yang lembut seketika menguar dari tubuhnya. Membuatku teringat wejangan ustadz di surau bahwa tidak boleh seorang perempuan memakai wewangian yang sampai tercium orang lain apalagi lawan jenis.Secara langsung itu seperti bentuk undangan yang menggoda syahwat. Dan kurasa … itu ada benarnya.“Dini, Yuk. Karyawan di kantor Abang.”Dengan terpaksa aku menyambutnya dan menyadari bahwa telapak tangan perempuan yang menyebut namanya Dini itu dingin dan gemetaran.“Di kantor biasa manggil Abang juga?” tanyaku penuh selidik.Dia terbatuk meski akhirnya mengangguk.“Formal sekali.” Sengaja kuberi tekanan saat mengatakan itu sambil melirik laki-laki yang duduk di ranjangnya dengan tatapan kaku, ke arahku.“Ayuk sakit juga?” tanyanya mengalihkan kecanggungan di antara kami. Melihat selang infus yang bertengger di tanganku, harusnya dia tidak perlu bertanya.“
Saat kembali ke kamar, sepanjang jalan air mataku sudah berkejaran menuruni pipi. Rasanya aku ingin mengumpati diri sendiri. Padahal harusnya aku tidak sebodoh ini dan memperturutkan emosi. Percuma aku memelototi diktat-diktat tebal dan hapal bagian-bagian penting di luar kepala. Sia-sia saja menghabiskan quota untuk membaca bermacam jurnal online ter-update, kemudian memberikan konseling kepada pasien, kalau mengurus diri sendiri saja aku tidak becus.Harusnya aku tidak usah peduli pada sekeliling yang juga tidak memedulikanku. Harusnya aku fokus pada diri sendiri, sebab periode emas pertumbuhan dan perkembangan ini tidak akan terulang dua kali.Peduli setan sama makhluk bernama Samsuari! Harusnya itu yang aku lakukan dan tekankan dalam hati.Namun ternyata, praktek di lapangan tidak semudah teori. Masing-masing keluarga memiliki masalah komplek yang berbeda. Tidak semudah itu.“Maafkan Mama, Nak,” ucapku berkali-kali sambil mengelus perut yang masih rata. Ingin rasanya aku berteri
Masih dengan riuh yang sama di dalam dada, aku menuju kamar mandi dan duduk pada kloset yang tertutup. Begini nian rasanya menjadi pencuri. Perbuatan yang hanya menimbulkan kecemasan dan rasa tidak nyaman.Berbagai aplikasi percakapan dan media sosialnya kubuka. Beberapa nama perempuan dengan wajah-wajah cantik yang menghiasi profile picture-nya terpampang di bagian paling atas, tetapi tanpa percakapan. Bang Sam pasti sudah menghapusnya.Mana yang harus aku curigai? Kutatap perempuan-perempuan itu sekali lagi. Wanita berambut emas yang menyambangi rumah ibu tempo hari ada di bagian paling atas, Kajol KW, atau tiga nama lain yang terbaca asing sebab aku tidak mengenalnya. Siapa di antara mereka berlima yang perlu diwaspadai sebagai pelukis tanda merah di dada Bang Sam?Ku-screenshoot nama dan alamat mereka, kemudian mengirimnya ke hapeku. Kemudian, aku beralih ke sosial media Bang Sam, tidak ada yang mencurigakan. Dia hanya memamerkan kendaraan dan kegiatannya dalam bekerja.Setelah
Ayuk Siti sedang menebah permukaan ranjang saat aku masuk. Sementara Amanda terdengar berceloteh di dalam boksnya. Kehidupan penuh drama ini akan kembali dimulai. Teringat pesan Ibu tempo hari ketika menjenguk, agar aku tidak menjadi perempuan dewasa yang pengecut. Bahwa aku harus menyelesaikan masalah ini. Bentuk konsekuensi sebab telah menerima Bang Sam dan anak-anaknya. “Ibu dan Bapak ada di belakangmu jika ada apa-apa.” Pesan Ibu sebelum pulang.“Abang Zain ke mana?” tanyaku saat bocah kecil itu menungguku untuk duduk.“Abang main keluar sama temannya.”“Sepedaan?”Ia mengangguk.“Zidan dak ikut?”“Zidan nungguin Tante bae.”Sederhana saja kalimat itu, tetapi membuatku tersentuh.“Papa juga balek, nah.” Kuingatkan bocah itu, lalu melirik Bang Sam yang baru masuk membawa tas pakaian.“Papa biarin bae lah,” bisiknya lirih.Biarin bae, katanya? Dahiku mengeryit. Rasanya aku tidak salah dengar, tetapi bocah itu seperti tidak peduli papanya pulang. Seingatku, dia dan abangnya juga ant
"Abaang! Sini dulu!" Tetapi dia tetap melangkah pergi.Tingkah Bang Sam membuatku mati-matian meredam emosi yang menjalari dada. Lihat saja nanti. Kalau bukti nyata itu ada di tangan, kita tunggu apa yang akan kulakukan.Aku mengatur napas dan kembali ke ranjang, berbaring di sisi Zidan yang tidur tenang. Mencoba berdamai dengan pikiran agar bisa terlelap.Namun, celoteh Amanda yang berubah menjadi rengekan, membuatku terpaksa bangkit dan mendekati boks bocah itu. "Lapar? Mau susu?"Mata beningnya yang seketika melihatku itu, membuat kemarahan sedikit luruh. Perlahan kubuatkan dia susu, lalu memberikannya. "Baca bismillah," ucapku dan dia balas dengan tawa lebar. Tidak boleh seperti ini. Harus ada yang dibenahi. Orang kaya seperti mereka harusnya tidak melakukan apa-apa sendiri. Tidak ada sesiapapun di rumah ini kecuali seorang pembantu dan sopir yang Abah bawa dari rumah utama.Ayuk Siti sibuk di dapur dan melakukan semua pekerjaan rumah, sampai Amak harus turun tangan membantu.
"Itu ... anu ...." Muka Amak merah padam saat menjawab pertanyaan memdadak yang kuajukan.Melihat Amak gelagapan seperti maling tertangkap, aku kembali mencecar dengan pertanyaan baru."Jadi Amak tahu rumah ini sudah digadaikan? Amak juga tahu, Abang harus membayar bunga besar setiap bulan?"Amak terdiam. Wajahnya cemas sambil menatapku. "Amak juga tahu Abang pergi ke mana waktu itu?"Kali ini, perempuan berwajah mulus oleh skincare mahal itu menggeleng cepat. Meski kerutannya tetap terlihat."Kalau itu Amak dak tahu, Rin. Sumpah!""Itu kenapa Amak maksain diri buat bantu Abang Sam di sini?"Amak kembali terdiam sesaat sebelum melanjutkan. "Iyaa. Tapi tolong, jangan kasih tahu Abah.""Gimana ceritanya dak kasih tau Abah, Amak? Macam mana kalau rumah ini di sita sama rentenir itu? Satu milyar bukan perkara uang sedikit. Sementara cicilan tiap bulan hanya buat membayar bunga. Sampai kapan macam itu terus?"Bau pengar yang menguar diselingi suara Ayuk Siti mengaduk di wajan semakin men
Uang sekolah, jajan bocah-bocah, biaya dapur, bensin, gaji Ayuk Siti. Kenyataan yang membuatku geleng-geleng kepala. Pantas saja, meski menikah dengan anak orang kaya, Ayuk Fatma tetap bekerja, meski menjadi bidan di rumah sakit swasta dengan gaji yang tidak seberapa."Berapa persen memangnya bunga bank itu?""Tiga setengah persen.""Flat?""Iya."Inalillahi. Berarti Bang Sam ngasih makan pemilik bank jahanam itu tiga puluh lima juta perbulan. Untuk sebuah perusahaan kecil seperti itu memang cukup membuat Bang Sam kepayahan. Belum termasuk operasional perusahaan termasuk membayar karyawan.Pantas saja, dia terlihat tidak berharga di depan Abah. Kerja siang malam tidak ada hasilnya "Abang mau begini terus?""Abang belum punya jalan keluar, Dek. Ke mana nyari uang sebanyak itu untuk menebusnya."Kepalaku penuh. Berpikir jalan mana yang harus aku tempuh untuk membantu laki-laki payah di depanku ini."Jual mobil.""Hah?""Jual mobil Abang itu.""Mana ada mobil seken seharga satu milyar,
"Biar apa, Kak?" tanyaku. Benar-benar tidak paham dengan kelakuan kakak kelas sekamarku itu."Biar cepat hilang bekasnya.""Bisa memangnya pakai bawang?""Tiga hari hilang," jawab Kak Ani penuh percaya diri."Makanya punya pacar, Rin. Biar ada pengalamanmu." Kak Desi menimpali.Bagaimana aku akan pacaran jika keadaanku paling menyedihkan? Sebagai anak asrama yang sekolah di bidang kesehatan, bisa membayar uang kuliah tanpa menunggak saja sudah merupakan kesyukuran yang luar biasa.Ekonomi orang tua yang pas-pasan tetapi bercita-cita tinggi, membuat Bapak dan Ibu harus banting tulang, membagi rezeki untuk biaya sekolah anak-anak dan kebutuhan makan.Alih-alih berpakaian modis seperti teman-teman yang gaul dan banyak kenalan, aku justru mengandalkan beasiswa dan jungkir balik belajar agar nilaiku bisa dijadikan garansi, untuk tetap menerima dana hibah hingga tamat kuliah.Aku juga harus bermanis-manis dan serajin mungkin di lahan praktik agar lebih dulu diajari sama kakak pegawai. Memij