Kunjungan Bapak dan Ibu menjadi begitu singkat karena masalah ini. Kurasa, masing-masing saling menjaga hati.“Amak, Rin pamit.” Aku mengulurkan tangan, mengambil tangan Amak untuk kucium.Perempuan itu hanya mengatakan ‘heem’ nyaris tanpa ekspresi. Sesuatu yang menyadarkanku bahwa tidak selamanya orang akan bersikap baik. Apalagi Amak yang terbiasa mudah mendapatkan apa yang dia mau. Tinggal tunjuk ini itu.Mereka adalah orang kaya dan aku hanya menantu dadakan yang dinikahi putranya karena terpaksa. Kesalahan prosedur yang membuat hidupku berkubang air mata.Aku berjalan keluar dan melambai pada ojek yang mangkal di pertigaan. Meski ada beberapa kendaraan pribadi di garasi, itu bukan milik kami. Tidak sepantasnya aku merengek minta diantarkan.Lihatlah, betapa perbedaan stara antara aku dan Bang Sam laksana langit dan bumi.“Baleklah kau cepat, Rin. Jangan lama nian di kampung.” Amak berpesan saat aku sudah berada di boncengan ojek yang akan membawaku ke terminal. Entah. Apakah ia m
Aku menimang hape di tangan dan menimbang, lalu menekan tombol power off untuk mematikan. Biar saja. Sepertinya aku harus menghilang sementara. Aku memutuskan mengistirahatkan jiwa dan raga. Belum genap empat bulan menyandang gelar sebagai istri Bang Sam, aku sudah lelah lahir batin.Aku tidak akan pulang sebelum lelaki itu juga pulang dan menjelaskan dengan gamblang ke mana dia pergi tanpa pamit dan kabar. Penjelasan yang bisa diterima akal.Sungguh mengherankan, teringat Ayuk Fatma yang begitu ceria dan penuh rona bahagia. Tidak pernah sekali pun ia mengeluh atas pernikahannya. Meski tali yang terikat di atas ranjang dan bercak darah itu memberikan penjelasan sebaliknya.“Istirahat, Rin. Kamar sudah ibu siapkan." Ibu tiba-tiba nongol dan berdiri di sampingku.“Bentar, Bu. Pengen selonjoran dulu di sini”"Jangan dipikirkan nian. Dak baek ibu hamil pikirannya kosong.""Iya, Buk. Tenang bae lah."Ibu kembali masuk ke ruang tengah setelah memberitahu dan menasehatiku. Sudah menjadi kebi
Selepas makan malam, Bapak memanggilku. Menanyakan banyak hal sekaligus memberi wejangan ada sebagian yang bisa kujawab meski selebihnya banyak yang aku sembunyikan. Tidak ingin kedua orang tua ini mencemaskan keadaan anaknya. Sulung yang diharapkan menjadi suluh dan lanjaran buat adiknya, justru terjebak dalam pernikahan yang luar biasa … absurd.“Jadi, belum ada kabar dari laki kau itu, Rin?”“Belum, Pak.”Bagaimana mau dapat kabar jika hape saja aku matikan. Aku hanya berusaha untuk tidak berharap banyak, sebab harapan yang terlalu tinggi kemudian terhempas, hanya akan menimbulkan luka menyakitkan“Kalau macam itu, istirahat kau dulu di rumah.”“Rin pulang ke kost bae, Pak. Sayang tinggal satu semester dan lagi nyusun skripsi. Lulus nantik, Rin bisa balek kerja.”“Siapa yang nak ngurus kau di sana?”“Tenang. Kost tu dak cuma satu kamarlah. Banyak orang. Cewek galo. Dak mungkin mereka tutup mata kalau Rin minta tolong. Nantik kalau sudah melahirkan lah payah pula nak lanjut kuliah.
Kuletakkan sebiji buah naga itu di meja dan menatapnya dengan linangan air mata. Seleraku menguap lagi. Aku hanya bisa duduk dan tergugu. Barangkali, sebaiknya aku menghilang dari kehidupan laki-laki beranak tiga itu. Lalu kepala dipenuhi wajah Amanda, Zain, dan Zidan. Mereka yang terkena imbas, bocah-bocah piatu yang kehilangan ibu. Juga bayi di dalam garbaku. Menjauh berarti anak yang kukandung juga akan kehilangan ayah dan ketiga bocah itu akan kehilangan seorang ibu, sekali lagi.Aku masih termenung ketika pintu kamar ibu terbuka dan membuatu aku terlonjak. Beliau keluar sambil menggelung rambut dan heran saat menyadari aku masih duduk sendiri di ruang tamu.“Belum tidur, Rin?”“Gerah, Bu. Belum bisa tidur.”“Iya. Di rumah ni mana lah ada AC macam di rumah mertuamu.”Aku tergagap mendengar jawaban ibu. Perlakuan dan keanehan Bang Sam berdampak pada sikap ibu yang menjadi sedikit sinis.“Bukan macam itu. Kipas angin kan ada. Rin memang memang belum mengantuk.”“Rasa-rasa ada mobil
Aku mendorong motor dari pinggir jalan dan memarkirkan ke halaman samping agat tidak mengagetkan. Aku melangkah masuk dari pintu dapur saat kulihat Ayuk Siti yang biasa membantu di dapur melihatku dengan sedikit terkejut.“Balek, Rin?” tanyanya dengan sedikit terkesiap.Aku mengangguk dan menempelkan jari di bibir memintanya jangan berisik. Namun, ia menahanku saat kaki hendak melangkah ke kamar utama.“Kenapa?” tanyaku heran.“Nantik bae masuknya. Ada amak dan bapak Yuk Fatma di depan.”“Ngapain?”Yuk Siti menggeleng cemas dan tidak menjawab.Baru sesaat kami sama-sama terdiam, terdengar obrolan penuh tekanan dari ruang depan.“Macam mana jadi ni? Anak aku mati, lakinya menghilang, bini barunya minggat. Apa jadinya cucu aku nantik?!”Aku menggigit bibir bawah dan saling pandang dengan Yuk Siti. Lelaki itu datang kembali untuk meradang. Dia selalu ada di saat yang tidak tepat, kemudian menyelesaikan segala sesuatu dengan kemarahan. “Dia lagi?” tanyakku pada Yuk Siti. Heran. Perempuan
“Sudah ada kabar tentang Sam?” lanjutnya sambil melangkah ke dapur. Aku mengikutinya.“Belum.”Amak mendesah resah. Ia duduk di dipan dekat kolam dan water wall yang setia mengalir, ditingkahi bunyi gemericik yang menenangkan. Meski hatiku tetap gundah.“Kau macam santai nian Sam dak balek.” Tatapan Amak tajam menghujam jantungku.“Rin dak tahu harus gimana, Amak. Abang banyak menimpan rahasia.” Aku menghela napas. “Orang yang bantu Abang waktu ditangkap polisi tempo hari, ada Amak kenal? Barangkali kita bisa mencari informasi dari orang itu.”Amak berdehem cepat dan bangkit. Pura-pura tidak mendengar pertanyaanku.“Cabe yang hijau sudah direbus, Ti?”Ayuk Siti yang sedang sibuk memcuci sesuatu di sink menoleh dan tergopoh mengaduk sesuatu di panci.“Sedang di rebus, Mak.”“Lekaslah. Sebentar lagi Abak balek dari kantor.”Aku memerhatikan kejanggalan laku perempuan itu. Ia terlihat sibuk yang dibuat-buat. Bagaimana dia menyingsingkan lengan baju dan bersiap menggiling cabai yang Ayuk
Canda dan gelak tawa itu terdengar lagi. Membuatku rindu akan suasana sebelum tragedi kematian seniorku itu. Aku adalah bagian dari anak-anak kost yang bebas, menjalani hidup seringan kapas, tanpa tanggung jawab dan beban berlebihan. Lima hari kerja, dua hari kuliah. Jika mendapat jatah jaga malam, siangnya aku balas dendam. Tidur sepanjang hari seperti kelelawar.Jika perut meminta haknya, tinggal berjalan ke warung nasi depan, atau janjian makan di tempat lain jika bosan, menyesuaikan gaji yang kuterima setiap bulan. Selebihnya disisihkan untuk keperluan kuliah.Jika ada senior yang memiliki tempat praktik dan kekurangan tenaga, aku akan dengan suka rela membantu dan mendapat upah lelah.Just that simple.Lalu sekarang, inikah pernikahan yang orang-orang katakan indah itu?Aku keluar setelah melipat mukena dan sajadah. Dua orang penghuni kamar lain seketika histeris mengetahui aku sudah pulang.“Ayuk Airiiin!” jerit mereka bersamaan.Keduanya lantas bangkit dan berlari menyongsongku
Hape di tangan kutatap dengan nanar dan memencet nomor Bang Sam sekali lagi dan lagi, tetapi tidak ada respon kali ini.Siapa perempuan itu? Si rambut pirang? Apa mungkin? Ah, tidak. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Dia, toh, datang ke rumah untuk mencari setelah Bang Sam saat laki-laki itu sudah menghilang beberapa hari.Otakku kembali riuh oleh pertanyaan-pertanyaan yang menyerang dengan masif. Tangisku tumpah sudah. Mengumpat dan mengutuki diri, menyesali diri kenapa tadi harus menghidupkan hape dan berinisiatif meneleponnya. Bang Sam memang masih hidup, tetapi teka-teki dan rahasia yang dia simpan semakin membingungkan dan berputar-putar menyesaki kepala.Kutatap nanar hape yang masih berpendar dengan air mata yang memburam, lalu memencet tombol blokir.Cukup. Cukup sudah aku berhubungan dengan laki-laki sialan itu.**Tiap hari, Ibu menelepon, mengirim pesan, dan melakukan panggilan video. Beliau pasti mengkhawatirkan keadaanku. Ada beberapa pesan juga dari Amak, betapa beliau m