#104Wajah Tasya seketika berubah pasi saat melihat apa yang dirinya lihat di sosial media miliknya. Orang-orang yang dikenal pun banyak yang mengirimkan pesan pribadi ke akun Tasya di saat yang bersamaan."I–ini …." Suara Tasya bergetar. Wajahnya semakin pucat seolah tidak dialiri darah.Angga kebingungan melihat ekspresi aneh adiknya pun bertanya dengan nada khawatir. "Kamu kenapa, Sya?" tanyanya."Bang, a–aku … apa yang kutakutkan terjadi, Bang." Usai berkata seperti itu, Tasya menangis sejadi-jadinya.Ia bahkan melempar ponsel Angga agar menjauh darinya. Tasya histeris."Ga, kenapa toh adikmu? Dia lihat apaan sampai histeris gitu?" tanya Bu Intan mendekati ranjang Tasya yang berguncang-guncang karena Tasya histeris, bahkan kakinya menendang-nendang apa pun yang ada di dekatnya."Entah, Bu. Angga juga nggak tau kenapa bisa begini," sahut Angga asal. Ia pun meraih ponselnya untuk memeriksa apa yang sesungguhnya terjadi pada Tasya."Sya, Sya. Jangan begini, Nak. Eling, nyebut, Nak…."
#105Bu Intan dan Syahna sudah sampai di rumahnya dengan menaiki taksi. Keduanya lalu berjalan beriringan menuju ke rumah masing-masing. Syahna pergi ke rumah Angga dengan membawa serta Jelita. Sedangkan Bu Intan sendiri membawa langkahnya masuk ke rumahnya.Rasanya ia sangat rindu dengan ranjang empuk yang ada di dalam kamarnya itu sebab kemarin ia bermalam di sofa rumah sakit. Dan esok harinya, pinggangnya langsung saja terasa sakit dan nyeri."Syah, kalau kamu butuh apa-apa, atau kalau kerepotan mengasuh Jelita, kamu datang aja ke rumah ya. Saya mau istirahat dulu sekarang, meluruskan punggung," ujar Bu Intan berpesan pada Syahna yang hendak melangkahkan kakinya masuk ke rumah."Iya, Bu. Terima kasih," sahut Syahna seraya mengukir senyum manisnya. Jelita tampak menggeliat di pelukan Syahna.Bu Intan sebenarnya heran, karena sejak tadi tak mendapati kehadiran Aluna. Seolah-olah Aluna tidak ada di rumah. Ia pun hanya dapat menggerutu kesal sebab, menantunya itu benar-benar keterlalua
#106"Syah, Syahna! Kamu di mana?" Bu Intan setengah berteriak memanggil nama Syahna. Tanpa permisi, ia langsung nyelonong masuk ke dalam rumah putranya dan mencari keberadaan Syahna. Memang begitulah Bu Intan, wanita itu memang anti untuk mengetuk pintu ketika ingin masuk ke rumah Angga.Ia pun lantas mencari ke setiap sudut ruangan, sambil terus berteriak memanggil nama Syahna. Akhirnya, tak lama berselang Syahna terdengar menyahut panggilan dari Bu Intan."Ya, Bu. Sebentar," sahutnya setengah berteriak. Syahna tampak keluar dari dalam kamar mandi sambil menggendong Jelita yang rupanya baru selesai mandi. Bocah kecil berwajah lucu itu tampak segar dengan handuk bermotif jerapah pink yang membalut tubuh mungilnya. "Iya, Bu, ada apa?" tanya Syahna langsung menghampiri Bu Intan yang berdiri tak jauh dari sofa ruang tamu."Kamu habis mandiin Jelita?" Bu Intan malah menanyakan sesuatu yang sudah ada jawabannya."Iya, Bu," sahut Syahna sambil mengangguk. Sebenarnya pertanyaan itu suda
#107"Re, angkat teleponnya!" gumam Mona frustrasi saat sahabatnya itu tak kunjung menerima telepon darinya.Padahal ada hal penting yang ingin disampaikan pada sahabatnya itu. Dan itu mengenai Roy. Mona juga menyesal karena terkesan menyepelekan peringatan bahkan nasehat yang diucapkan oleh Rere tempo hari saat ia mendapat misi untuk menyebarkan video vul**gar Tasya dari Roy."Ya Tuhan …! Apa Rere benar-benar marah ya sama aku?" gumamnya lirih. Ia terus bertanya-tanya dalam hatinya mengenai keberadaan sahabatnya itu.Ia bahkan menduga kalau Rere marah padanya setelah perdebatan mereka.Rere memang dari awal sudah menyarankan pada Mona untuk tak pernah melakukan perintah Roy. Akan tetapi, Mona tak mau mendengarkan nasehat sahabatnya itu. Dan lebih takut dengan ancaman yang berasal dari Roy sehingga ia nekat melakukan perintah Roy. Dan kini, Mona menyesal.Ia tak menyerah dan mencoba untuk menghubungi sahabatnya lagi. Ia menelepon entah untuk yang ke berapa kalinya sampai nada tersambu
#108Aluna melangkahkan kakinya dengan gontai. Menyeret kopernya perlahan meninggalkan rumah Angga. Ia menatap pedih saat, mobil Angga berlalu dan meninggalkannya sendirian. Tanpa sedikitpun memedulikannya yang teronggok di jalanan.Ia bingung, marah, merasa kalut, dan kesal secara bersamaan. Aluna selalu merasa jika hidupnya sangatlah sial dan tidak pernah beruntung. Hanya ada satu orang yang dapat diharapkan oleh Aluna, yakni Feri. Hanya Feri satu-satunya harapan baginya untuk masalah peliknya saat ini. Ia berharap Feri akan memberinya solusi yang terbaik.'Ya, kayaknya aku harus menghubungi Om Feri untuk ketemu sekarang,' gumamnya dalam hati.Aluna pun meraih ponselnya dan mencari kontak Feri di sana. Setelah ketemu, lalu dia segera menelepon lelaki matang yang menjadi sandarannya selama ini."Halo, Aluna?" sambut Feri dari seberang sana."Halo, Om, apa kita bisa ketemu?" tanya Aluna sedikit ragu, sebab sekarang ini 'sugar daddy' nya itu pasti sedang sibuk dengan bisnisnya."Sekara
'Akhirnya selesai juga,' gumam Laras dalam hatinya. Ia memandang bangga hasil karyanya merangkai bunga-bunga segar untuk dipajang di ruang tamu.Wanita itu meraih ponselnya dari balik saku apron bermotif bunga babybreath yang masih dikenakannya. Mengambil beberapa potret bunga itu dari berbagai sudut. Ada kebanggaan dan kesenangan tersendiri di hati Laras saat melakukan kegiatan menyenangkan itu. Hanya cara itulah yang dapat membantunya mengusir rasa sepi karena belum dikaruniai buah hati meski sudah lima tahun menikah dengan suaminya.Terdengar pintu di depan rumahnya diketuk dari luar. Laras yang mendengarnya segera menyudahi aktivitasnya memandangi rangkaian bunga di dalam vas yang terbuat dari kaca itu. Ia beranjak menuju ke pintu untuk membukakan pintu."Laras! Buka pintunya!" Terdengar sebuah suara yang sangat Laras kenal dari arah luar. Ia sudah dapat menebak jika suara itu adalah ibu mertuanya.Pintu pun terbuka, dan benar saja dugaannya. Bu Intan, ibu mertuanya sudah berdiri
#2 Calon Adik Madu"Jangan-jangan kamu memang nggak mau hamil dan punya anak, Ras. Mengingat profesimu yang seorang biduan itu!" ketus Bu Intan mendelik tajam ke arah menantunya, Laras.Laras hanya menghembuskan napasnya perlahan. Mencoba lebih bersabar dengan umpatan dan makian yang dilontarkan ibu mertuanya. Mereka sudah kembali pulang ke rumah. Tapi, Bu Intan masih saja mengomeli Laras dengan berbagai macam kata-kata yang tak enak didengar."Pokoknya ibu nggak mau tahu, kamu harus bisa cepat hamil, Laras!" oceh Bu Intan tanpa henti. Mengabaikan perasaan Laras yang pasti akan terluka dengan ucapannya itu. Keduanya kini sudah sampai di depan rumah.Angga memang sengaja membangun rumahnya agar berdampingan dengan rumah ibunya. Sebagai anak sulung dia merasa bertanggung jawab atas kehidupan ibu dan adiknya. Apalagi Tasya yang beranjak dewasa, gadis itu harus mendapat perhatian lebih agar tidak terjerumus pergaula
Angga bergeming, lelaki itu justru membuang pandangannya tanpa berniat membela Laras sedikit pun. Ia memang selalu takut melawan dan membantah ibunya. Hingga ia tak dapat melakukan apa pun saat melihat Laras ditampar oleh ibunya."Aku tetap mau bercerai, Mas!" kata Laras seraya terus mengusap pipi yang ditampar tadi. Sakitnya tak seberapa jika dibanding sakit hatinya karena dikhianati suami dan direndahkan oleh mertuanya.Angga membeku di tempatnya. Ia tak mampu menatap sorot mata penuh luka dari Laras. Hatinya menjadi dilema saat ini. Satu sisi, ia tak mau melepaskan Laras begitu saja. Tapi di sisi lain ia juga ingin memiliki Aluna seutuhnya."Ceraikan saja wanita mandul itu, Ga. Nggak berguna! Biduan murahan!" maki Bu Intan menggebu."AKU TIDAK MANDUL!" sentak Laras cepat. Membuat ketiga orang itu kaget dengan suaranya yang mulai meninggi."Aku akan buktikan kalau aku nggak mandul!" ucap