Lagi-lagi telepon dari Lorenzo membuat hati Shanaz berbunga-bunga. Ia menggeser tombol hijau pada layarnya. Menghilangkan rasa gugupnya kemudian menyapa Lorenzo. "Halo Tuan." "Kamu sedang apa? Apa aku menganggu pekerjaanmu?" tanya Lorenzo.Shanaz menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Sama sekali tidak Tuan. Tuan menghubungi saya di waktu yang tepat." Celakanya Shanaz malah keceplosan dengan berkata jujur kepada Lorenzo. Menyadari kekeliruannya Shanaz segera membungkam mulutnya sendiri."Bukan, maksud saya–" Bagaimana harus menjelaskannya? Sedangkan Lorenzo di sana sudah meledak tawanya."Hahaha. Jangan dipikirkan," ucap Lorenzo yang tak ingin membuat suasana menjadi canggung."Kebetulan pekerjaan saya semuanya sudah selesai, Tuan. Jadi tinggal bersantai-santai saja." Shanaz tetap merasa tak enak hati dan menjelaskannya. Tak ingin dicap kecentilan menerima telepon dari Lorenzo.Lorenzo manggut-manggut mengerti, meskipun Shanaz tak dapat melihatnya. Ia mengerti Shanaz melakukan itu de
"Kamu ini sudah dewasa Fernando. Sudah berumah tangga, untuk apa bertanya pada orang tua tentang yang terbaik untuk kita," omel Lita panjang lebar.Fernando diam. Tak ada yang bisa Fernando lakukan selain pasrah menghadapi kemarahan dari istrinya. Dia hanya bisa meminta maaf, sekaligus berkata akan berusaha membujuk orang tuanya untuk menyetujui keputusannya. "Aku mohon maafkan aku. Tapi aku janji akan membujuk Ibu dan Ayah agar mau menerima keputusan ini," ucap Fernando."Jangan hanya berjanji, aku tak mau itu. Aku mau bukti," sahut Lita dengan kilatan amarah di matanya.Pertengkaran mereka sempat terhenti, saat seorang wanita datang membawakan sekotak makanan yang dipesan oleh Lita. "Ini ketoprak yang Anda inginkan tadi Nyonya Lita," ucapnya sambil menunjukkan plastik kresek yang ia tenteng."Hmm. Buka lalu suapi aku ya," suruh Lita. Wanita yang diketahui adalah pelayan baru untuk Lita itu mengangguk. "Baik, Nyonya," sahutnya.Dengan cekatan dia menyiapkan makanan untuk Lita, kemu
Selesai dari pertemuannya dengan Fernando di kantin, ibunya Fernando hendak menyusul suaminya ke perusahaan. Ayah Fernando tadi pergi duluan ke perusahaan karena ada rapat penting menggantikan posisi Fernando. Setelah duduk di kursi belakang mobil, Santi menghubungi ke nomor ponsel ayah Fernando.Setelah 3 kali panggilan, akhirnya ponsel ibunya Fernando terhubung dengan nomor ponsel suaminya. "Halo, Bu? Ada apa? Apa kamu sudah pulang dari rumah sakit?" tanya ayah Fernando."Sudah Yah. Ayah sudah selesai rapat belum?" Ibunya Fernando bertanya balik. Namun terdengar nada cemas."Kamu kenapa terdengar cemas seperti itu? Ada apa lagi Bu?" Ayah Fernando jadi ikut khawatir. Takut terjadi sesuatu sesuatu lagi pada anggota keluarganya. Atau mungkin masalah lain."Ayah belum menjawab pertanyaan Ibu tadi. Ibu tidak bisa menceritakannya lewat telepon Ayah," tanya ibunya Fernando mengulang pertanyaan."Ayah sudah selesai. Kalau begitu Ibu langsung ke ruangan Ayah, saja," jawab ayah Fernando."Hmm
Lorenzo dan Shanaz bersitatap. "Kamu siapkan makanan untukku ya. Aku mau bicara dulu dengan Ibu," ucap Lorenzo kepada Shanaz.Shanaz mengangguk mengerti. "Baik, Tuan Lorenzo," sahut Shanaz. Ia kemudian berlalu meninggalkan ibu dan anak tersebut. Sementara itu ibunya Fernando berjalan menuju ke taman yang ada di belakang rumah. Duduk di kursi besi yang dicat dengan warna putih."Apa kabarmu? Kamu tak pernah memberi kabar Ibu selama di luar negeri," tanya Santi menoleh sekilas ke arah Lorenzo."Lorenzo kemarin menghubungi Ibu. Tetapi Ibu tak mengangkat telepon Lorenzo," jawab Lorenzo dengan nada sopan. Dia memang lebih sopan dan berhati-hati terhadap ibunya, ketimbang dengan ayahnya. Seakan tahu batasannya.Santi mencoba mengingat. Ternyata apa yang dikatakan oleh Lorenzo benar. "Mungkin aku sedang sibuk waktu itu," ujar Santi. Lorenzo mengangguk mengerti dan tak mempermasalahkan hal itu. Lalu Santi kembali mengulang pertanyaannya. Bukan karena peduli sungguhan, melainkan hanya ingin m
Fernando keluar dari mobil bersama dengan ibunya. Lalu di mana Lorenzo? Pikir Shanaz. Ia menggelengkan kepalanya. Dia tidak boleh memikirkan Lorenzo terus menerus, atau akan kehilangan kesempatan untuk membalaskan dendamnya."Tolong buatkan kami berdua kopi ya, Nabila. Dan tolong antarkan ke ruang keluarga," suruh Fernando sebelum akhirnya pergi melewati Shanaz bersama dengan ibunya. Shanaz menganggukkan kepalanya. "Baik, Tuan Fernando," sahutnya. Supir pribadi Fernando membuka bagasi mobil, mengeluarkan tas berukuran sedang dari dalamnya. Tas tersebut berisi pakaian kotor Fernando dan istrinya dari rumah sakit. Shanaz yang penasaran kemudian bertanya kepada Pak supir. "Tas apa itu Pak?""Oh, ini tas milik Tuan Fernando dan Nyonya Lita, Mbak Nabila. Di dalamnya ada pakaian kotor mereka dari rumah sakit," jawab supir pribadi Fernando sambil mengangkat tas yang dibawanya.Shanaz mengerutkan keningnya. "Rumah sakit? Memangnya siapa yang sakit Pak?" tanya Shanaz penasaran."Nyonya Lita
"Aku ada di apartemenku, bisakah kamu datang ke sini?" tanya Lorenzo saat sambungan teleponnya sudah terhubung dengan Shanaz.Apartemen? Sejak kapan Lorenzo mempunyai sebuah apartemen? Karena diam Lorenzo mengira Shanaz sudah mengakhiri sambungan teleponnya. "Halo, Nabila? Kamu masih ada di sana? "I–iya Tuan, saya masih di sini. Saya akan ke sana sekarang," jawab Shanaz."Minta tolonglah pada supirku, aku akan kirimkan lokasi apartemenku sekarang," pungkas Lorenzo mengakhiri sambungan teleponnya. Dan Shanaz mengiyakan.Shanaz buru-buru mengganti bajunya, lalu menyahut jaket yang tergantung pada pintu kamarnya, kemudian keluar dari kamar. Berjalan ke halaman depan rumah dan mencari keberadaan supir pribadi Lorenzo. Yang dicari sudah tidur. Dengan pelan Shanaz memanggil nama supir pribadi Lorenzo, namun tak ada respon, karena tertidur sangat pulas.Syahnaz kemudian menepuk pelan lengan Pak supir, tapi masih belum bangun. Shanaz hampir frustrasi. Dia hampir saja menyerah dan memilih unt
"Kamu sampai kedinginan seperti itu karena aku," ucap Lorenzo. "Kalau begitu ayo kita kembali ke apartemenku," ajak Lorenzo.Shanaz mengangguk. Setelah itu ia dan Lorenzo bangkit dari tempat duduknya dan beranjak menuju ke jalan keluar taman. Keindahan taman itu kini tak lagi dapat dirasakan oleh Shanaz. Pipinya sudah menjadi pucat, dan bibirnya membiru dan kering.Melihatnya Lorenzo menjadi tidak tega. Tetapi saat ini dia tak membawa jaket, dan hanya mengenakan kaos oblong dengan lengan panjang. Lorenzo berdecap, dia harus bertanggung jawab atas semua ini, atau wanita yang ada di sampingnya ini akan jatuh sakit karena kedinginan.Lorenzo mendekap tubuh Shanaz dari samping dengan begitu erat. Niatnya untuk mengurangi rasa dingin yang dirasakan oleh , ,wanita itu. Tetapi sebelum itu tentu saja Lorenzo terlebih dahulu. "Nabila, maafkan aku, aku melakukan ini karena tak ingin kamu sakit," ujarnya. Meskipun Lorenzo tak menunggu izin keluar dari mulut Shanaz.Shanaz terkejut dengan perlaku
Terdengar knop pintu diputar, lalu Lorenzo masuk ke dalam apartemen. Shanaz menoleh ke arahnya dan bertanya perihal masakan yang tersedia di atas meja. "Tuan Lorenzo pagi-pagi order makanan dari mana?" tanyanya penasaran."Aku tidak membelinya dari luar. Melainkan memasaknya sendiri tadi," jawab Lorenzo.Shanaz yang terkejut dengan pengakuan Lorenzo tanpa sadar sampai lupa mengatupkan mulutnya. Ekspresi wajahnya yang lucu sampai membuat Lorenzo tak dapat menahan tawanya. "Hahaha. Tolong tutup mulutmu, aku khawatir nanti akan ada lalat yang masuk," ucap Lorenzo membercandai Shanaz.Sontak Shanaz langsung menutup mulutnya. Permukaan wajahnya kini berubah menjadi merah muda karena malu. "Tidak akan ada lalat di rumah sebersih dan serapi ini Tuan," sahutnya."Anda sudah pasti berbohong kan?" tanya Shanaz.Lorenzo pura-pura tidak mengerti. "Sungguh, aku takut mulutmu kemasukan serangga," jawab Lorenzo.Shanaz terkekeh. "Bukan soal itu Tuan Lorenzo. Yang saya maksud tentang masakan ini," je